KABARBURSA.COM - Prospek Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia diprediksi tetap cerah. Meski demikian, sektor ini diperkirakan masih akan menghadapi beberapa tantangan besar pada 2025. Analis pasar modal Stocknow.id, Abdul Haq Alfaruqy, mengatakan salah satu hambatan terbesar yang akan dihadapi adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap potensi besar yang dimiliki sektor EBT di tanah air.
"Saat ini kesadaran masyarakat masih minim terhadap potensi EBT terhadap dampak positif jangka panjang yang akan dirasakan," kata Abdul kepada KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 25 Januari 2025.
Selain soal kesadaran publik, Abdul mengatakan keberlanjutan subsidi untuk bahan bakar fosil yang diberikan pemerintah menjadi salah satu penghalang utama dalam pengembangan energi terbarukan. Alih-alih mempercepat transisi energi, subsidi ini justru malah meningkatkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
Soal pendanaan, Abdul menilai masih ada kesenjangan yang jauh untuk EBT dibanding energi fosil. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam merealisasikan target net zero emission pada 2060.
Sebelumnya, energi baru terbarukan diproyeksikan akan terus mengalami pertumbuhan signifikan hingga kuartal pertama 2025. Abdul mengatakan perkembangan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menarik investasi sebesar Rp1.900 triliun hingga Rp2.200 triliun pada tahun ini.
“Di mana sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menjadi salah satu prioritas utama,” katanya.
Abdul menjelaskan optimalisasi sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, angin, panas bumi, dan bioenergi direncanakan untuk mendorong peningkatan investasi sekaligus membuka peluang baru di sektor energi bersih. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM, juga memperluas portofolio energi baru terbarukan dengan memasukkan hidrogen, amonia, dan nuklir ke dalam daftar energi yang dikembangkan.
[caption id="attachment_87054" align="alignnone" width="1920"] Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) yang dikelola oleh PT Arkora Hydro Tbk (ARKO). Fasilitas ini merupakan bagian dari upaya ARKO dalam memanfaatkan energi terbarukan di Indonesia. Foto: Dok. ARKO.[/caption]
Menurut Abdul, langkah ini selaras dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060. Sebab itu, ia menilai sektor energi terbarukan masih memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan di tahun 2025.
Selain itu, ia juga mencatat investasi di sektor ini menunjukkan pertumbuhan menjanjikan hingga akhir 2024. Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi di subsektor EBTKE pada 2024 mencapai Rp24,03 triliun. “Tetapi, angka ini masih berada di bawah target yang ditetapkan sebesar USD2,6 miliar,” kata Abdul.
Abdul mengatakan pemerintah Indonesia aktif masih cukup aktif menarik investasi asing di sektor energi terbarukan. Pada November 2024, misalnya, Indonesia dan China menandatangani kesepakatan senilai USD10 miliar yang berfokus pada energi hijau dan teknologi.
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, investasi di sektor EBTKE di Indonesia mencapai USD1,5 miliar, atau sekitar Rp23,3 triliun, atau tumbuh sebesar +3,1 persen Year on Year.
Peluang Besar yang Masih Tertinggal
[caption id="attachment_87037" align="alignnone" width="639"] Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pakkat yang dikelola oleh Encana Energy. Fasilitas ini merupakan bagian dari upaya perusahaan dalam mengembangkan energi terbarukan di Indonesia, berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan energi bersih bagi masyarakat dan industri. Terlihat tim teknisi berada di depan bangunan utama PLTA dengan latar belakang aliran air terjun yang mendukung operasional pembangkit listrik. Foto: Dok. KEEN.[/caption]
Perubahan iklim telah menjadi pendorong utama bagi banyak negara di dunia untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential mencatat tahun 2023 sebagai tonggak penting, di mana investasi global di sektor energi terbarukan melampaui energi fosil. Kapasitas pertumbuhan energi terbarukan mencapai hampir 50 persen atau sekitar 510 GW sehingga menjadikannya laju tercepat dalam dua dekade terakhir.
Namun, laporan tersebut menyimpulkan Indonesia belum mampu mengikuti tren ini. Selama tujuh tahun terakhir, investasi energi terbarukan di Tanah Air cenderung stagnan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, investasi energi terbarukan pada 2023 hanya mencapai USD1,5 miliar (sekitar Rp22,8 triliun) dengan tambahan kapasitas baru sebesar 574 MW.
Jika menilik data, Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil. Dari 2018 hingga 2023, tambahan kapasitas listrik nasional mencapai 21 GW, di mana 18,4 GW berasal dari energi fosil dan hanya 3,2 GW dari energi terbarukan. Investasi untuk sektor minyak, gas, serta batu bara masih mendominasi, sementara energi baru dan terbarukan belum menjadi prioritas.
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, potensi energi terbarukan Indonesia, khususnya tenaga surya dan angin, sangat besar. Sayangnya, potensi tersebut belum termanfaatkan optimal. Pada 2023, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya Indonesia hanya bertambah 574 MW dari total potensi 3.293 GW—setara 0,017 persen.
Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki kapasitas energi surya dan angin sebesar 19,5 GW, diikuti Thailand dengan 3,13 GW, dan Filipina dengan 3,02 GW.
Target Bauran Energi Terbarukan 2025 Dipangkas
[caption id="attachment_99179" align="alignnone" width="1800"] Gedung Kementrian ESDM Thamrin. foto: Kabar Bursa/abbas sandji[/caption]
Pemerintah kembali memangkas target bauran energi baru terbarukan (EBT) untuk 2025 menjadi 16 hingga 17 persen. Sebelumnya, target tersebut telah direvisi dari 23 persen menjadi 17 hingga 19 persen pada awal 2024.
Menurut Kepala Balai Besar Survei dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (BBSP KEBTKE) Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Harris, porsi bauran EBT nasional saat ini masih di bawah 14 persen dan diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan signifikan hingga akhir 2024.
“Tahun depan mungkin hanya di 16 hingga 17 persen, jadi belum bisa mencapai 23 persen,” ujar Harris dalam diskusi bertema Developing National Energy Security, While Driving Indonesia’s Green Economy di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa, 18 Oktober 2024.
Target awal bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN). Pemerintah berencana menyesuaikan target tersebut melalui revisi aturan agar lebih realistis.
“Sebelum 20 hari ini, mudah-mudahan bisa ditetapkan Kebijakan Energi Nasional menggantikan PP 79/2014 yang sudah akan diganti,” kata Harris.
Pada awal tahun 2024, pemerintah telah merevisi target bauran EBT untuk 2025 menjadi 17 hingga 19 persen. Perubahan ini diselaraskan dengan peta jalan transisi energi yang menargetkan porsi bauran energi primer EBT mencapai 19 hingga 30 persen pada 2030. Untuk 2060, targetnya mencapai 70 hingga 72 persen.
“Pada 2060 ditargetkan energi terbarukan mencapai porsi 72 persen. Tentu masih ada energi fosilnya, tetapi energi fosil yang rendah emisi seperti gas,” kata Harris.
Pemerintah juga merencanakan penerapan teknologi penyerap karbon agar ketahanan dan kecukupan energi lebih optimal. Harris menegaskan, target jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045 dan net zero emission (NZE) pada 2060 telah dirinci dalam peta jalan yang mencakup penggantian energi fosil dengan sumber energi terbarukan.
Selain itu, pemerintah akan mendorong pengurangan ketergantungan terhadap minyak dengan beralih ke energi listrik dan bahan bakar nabati sebagai bagian dari strategi permintaan energi.
“Program besar yang akan kita capai dan laksanakan untuk mengawal Indonesia menuju NZE di masa depan. Indonesia sudah berkomitmen dalam Perjanjian Paris 2016, dan kini juga sudah ada regulasi untuk NZE 2060,” kata Harris.(*)