Logo
>

Airlangga Diminta Waspada Hadapi AS dan Tekanan China

Di tengah tekanan dari pemerintahan Presiden Donald Trump dan potensi retaliasi dari mitra dagang utama seperti China, India, hingga Korea Selatan, pemerintah Indonesia diminta lebih berhati-hati dalam menentukan langkah.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Airlangga Diminta Waspada Hadapi AS dan Tekanan China
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Thomas Djiwandono, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu saat Konferensi Pers Perkembangan Terkini Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia-Amerika Serikat yang diselenggarakan secara daring, Jumat, 18 April 2025. (Tangkapan Layar)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Posisi Indonesia dalam menghadapi negosiasi tarif dagang dengan Amerika Serikat dinilai semakin kompleks. Di tengah tekanan dari pemerintahan Presiden Donald Trump dan potensi retaliasi dari mitra dagang utama seperti China, India, hingga Korea Selatan, pemerintah Indonesia diminta lebih berhati-hati dalam menentukan langkah.

    Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai posisi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai ketua tim negosiasi tidaklah mudah. Pasalnya, tekanan tidak hanya datang dari pihak luar, tetapi juga dari dalam negeri yang menaruh harapan tinggi terhadap hasil negosiasi tersebut.

    “Saya rasa Pak Airlangga itu dalam posisi tidak mudah karena dia menjadi ketua tim negosiasi, yang rakyat Indonesia, Pak Prabowo, menteri-menteri yang lain itu menunggu hasil, terutama rakyat Indonesia,” ungkap Wijayanto dalam acara KeyPoint Kabar Bursa dengan tema Teka-Teki Tarif Trump: Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan?.

    Ia menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan strategi negosiasi demi menjaga posisi tawar Indonesia. Menurutnya, tidak semua informasi bisa dibuka ke publik.

    “Ada informasi yang harus dibagi, tapi tidak boleh semuanya karena ini akan menjadi rahasia tim negosiasi. Kalau itu dibuka, posisi tawarnya rendah. Jadi dalam negosiasi itu kita tidak boleh membuka target kita seperti apa. Makanya kan ketika ditanya tentang targetnya, Pak Airlangga juga menjawabnya diplomatis. Ini memang sesuatu yang dirahasiakan supaya counterpart dari Amerika itu tidak tahu,” lanjutnya.

    Namun, tantangan tidak berhenti di meja negosiasi Amerika. Wijayanto mengingatkan bahwa manuver Indonesia juga diawasi ketat oleh negara-negara lain, terutama China.

    “Nah memang kita harus hati-hati ketika negosiasi dengan Amerika karena China sendiri yang mengeluarkan warning. Kalau ada partner dagang China yang kemudian melakukan deal dengan Amerika yang merugikan China, China akan retaliasi,” kata dia.

    Untuk diketahui, China telah mengeluarkan peringatan keras kepada negara mana pun yang menjalin kesepakatan dengan Amerika Serikat dan dianggap merugikan kepentingan Beijing, siap-siap menerima balasan. 

    Situasi memanas ini memperkuat kekhawatiran akan meluasnya dampak perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, yang bisa menyeret negara-negara lain ke dalam pusaran konflik.

    Peringatan tersebut muncul setelah beredar kabar bahwa Washington tengah menyusun strategi untuk menekan sejumlah negara agar mengurangi hubungan dagangnya dengan China, dengan iming-iming keringanan tarif impor dari AS sebagai gantinya.

    Langkah ini merupakan bagian dari pendekatan pemerintahan Trump, yang mulai aktif menjajaki diskusi dengan para mitra dagangnya, termasuk Indonesia, terkait kebijakan tarif impor AS yang menuai banyak kontroversi.

    Wijayanto pun mengatakan potensi respons serupa juga bisa datang dari India, yang selama ini menjadi mitra dagang penting bagi Indonesia.

    “Termasuk tidak hanya China, India juga bisa melakukan hal yang sama karena trading kita dengan India luar biasa besar dan kita surplus besar banget dengan mereka,” ujarnya.

    Selain itu, Wijayanto juga menyebut kemungkinan reaksi dari Korea Selatan dan Jepang, yang bisa membuat arena negosiasi makin sulit.

    “Korea Selatan, barangkali Jepang juga bisa melakukan hal yang sama. Jadi situasinya makin kompleks, tapi menurut saya makin menarik,” pungkasnya.

    Perlambatan Ekonomi Secara Menyeluruh

    Kenaikan tajam tarif sejak awal tahun 2025 ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), bukan cuma bikin dagang makin mahal. Lebih dari itu, dunia sedang memasuki fase baru, semacam zaman pasca-globalisasi, yang bikin mayoritas negara melambat pertumbuhannya. Amerika Serikat, yang mengobarkan perang tarif sejak Donald Trump balik ke Gedung Putih, disebut akan jadi salah satu yang paling babak belur.

    Trump sendiri sudah menembakkan gelombang demi gelombang tarif sejak dilantik awal Januari. Tak sedikit negara yang membalas dengan tindakan serupa. Dalam laporan triwulanan terbarunya, IMF menyebut tarif impor Amerika kini sudah melampaui rekor yang tercipta di masa Depresi Besar.

    “Sistem ekonomi global yang selama ini kita jalani sedang di-reset. Dunia sedang digiring masuk ke era baru,” tulis penasihat ekonomi IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 22 Apriil 2025.

    Dampak langsung dari kenaikan tarif, kata IMF, adalah perlambatan ekonomi secara menyeluruh. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dipangkas dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen. Penurunan ini bahkan sedikit lebih tajam dibanding saat invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022. Untuk 2026, proyeksi juga diturunkan dari 3,3 persen menjadi 3 persen.

    Meksiko diprediksi bakal jadi yang paling terpukul di antara negara-negara besar yang datanya dianalisis IMF. Awalnya diperkirakan tumbuh 1,4 persen, kini malah dibalik: ekonomi Meksiko bakal menyusut 0,3 persen pada 2025.

    Amerika Serikat juga kena imbas berat. Ekonomi yang sebelumnya diperkirakan tumbuh 2,7 persen pada 2025 kini hanya diproyeksikan naik 1,8 persen. Tahun berikutnya, 2026, hanya naik 1,7 persen—lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar dua koma satu persen.

    China tak luput dari dampak, meski skalanya lebih kecil. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini dan tahun depan diturunkan dari empat koma enam dan empat koma lima persen menjadi empat persen untuk keduanya. Sementara zona euro hanya sedikit tergelincir: dari 1 persen jadi 0,8 persen.

    Trump tetap percaya diri. Pemerintahannya berdalih bahwa tarif yang lebih tinggi akan membawa efek jangka panjang yang positif bagi ekonomi AS. Dengan bea impor yang mencekik, industri manufaktur diyakini bakal bangkit kembali, pabrik-pabrik buka lagi, dan lapangan kerja pun kembali ramai.

    Tapi Gourinchas punya pandangan lain. Ia mengakui bahwa keresahan publik soal hilangnya pekerjaan di pabrik bisa dimengerti. Namun, menurutnya, biang kerok utama bukanlah globalisasi, dan tarif tinggi bukanlah obat mujarab.

    “Kekuatan yang lebih dalam di balik kemunduran ini adalah kemajuan teknologi dan otomatisasi,” tulisnya. “Keduanya pada dasarnya membawa manfaat, tapi juga sangat mengganggu bagi individu dan komunitas.

    Selepas 2026, IMF memperkirakan dampak tarif tinggi akan terus negatif bagi AS. Bisnis-bisnis yang dilindungi oleh tarif akan makin malas bersaing dan tidak didorong untuk berinovasi atau meningkatkan kualitas produknya.

    Semua proyeksi IMF ini dihitung berdasarkan kebijakan tarif yang diumumkan sampai 2 April 2025, tanggal saat Trump mengumumkan tarif tinggi bagi hampir semua mitra dagang AS. Banyak dari tarif ini kemudian ditunda selama 90 hari. Namun IMF menilai penundaan itu tak cukup meredam dampak global, sebab tarif terhadap China justru dinaikkan lebih tinggi, begitu pula balasan dari Beijing terhadap produk AS.

    Tak cuma pertumbuhan yang tertekan, IMF juga menaikkan proyeksi inflasi global, meski hanya sedikit. AS jadi salah satu penyumbang utama kenaikan itu. Tingkat inflasi di Negeri Paman Sam diperkirakan akan naik 1 poin persentase dibanding proyeksi sebelumnya.

    Kenaikan tekanan inflasi ini bikin bank sentral AS, Federal Reserve, makin hati-hati. Rencana menurunkan suku bunga jadi terhambat, dan Trump tak ragu melontarkan kritik. Namun IMF mengingatkan agar bank sentral dibiarkan membuat keputusan moneter tanpa intervensi politis.

    “Kepercayaan pada kebijakan moneter akan sangat penting di mana pun, dan independensi bank sentral tetap menjadi pilar utama,” tulis Gourinchas.

    Lembaga itu juga mewanti-wanti, kalau tarif kembali dinaikkan, pertumbuhan global bisa melambat lebih parah dari perkiraan sekarang. Ancaman lain datang dari stabilitas keuangan yang goyah akibat anjloknya harga saham dan obligasi pasca-pengumuman tarif 2 April. 

    IMF juga melempar peringatan yang lebih besar: era baru ini bisa saja menggeser posisi dolar AS sebagai poros utama sistem moneter global. “Biasanya, dolar AS akan menguat jika kondisi keuangan memburuk tajam. Tapi sistem moneter internasional bisa saja mengalami reset mendadak, dengan dampak besar terhadap peran dolar sebagai pilar utamanya,” tulis IMF. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.