KABARBURSA.COM – Dua raksasa teknologi China, JD.com dan Ant Group—afiliasi dari Alibaba—diam-diam tengah melobi bank sentral Negeri Tirai Bambu untuk mengizinkan penerbitan stablecoin berbasis yuan. Langkah ini dilakukan guna menahan laju pengaruh dolar AS dalam bentuk kripto yang kian merajalela.
Menurut dua sumber Reuters yang terlibat langsung dalam diskusi internal, JD.com dan Ant mendorong agar stablecoin berbasis yuan lepas pantai (offshore yuan) dapat diterbitkan di Hong Kong. Targetnya adalah memperluas penggunaan internasional yuan dan melawan dominasi dolar di ekosistem keuangan digital global.
Langkah ini muncul di tengah percepatan Hong Kong dan Amerika Serikat dalam merancang kerangka regulasi stablecoin. Keduanya berlomba menjadi pusat gravitasi baru bagi transaksi digital dan sistem perdagangan masa depan.
Jika berhasil, lobi ini akan menandai perubahan besar dalam sikap Beijing terhadap mata uang kripto—yang sejak 2021 resmi dilarang beredar di daratan utama. Lebih jauh, hal itu bisa menjadi titik balik dalam strategi internasionalisasi yuan.
Stablecoin adalah token digital yang nilainya ditambatkan ke aset likuid seperti dolar AS, emas, atau mata uang lain. Berkat teknologi blockchain di belakangnya, stablecoin memungkinkan transfer lintas negara yang cepat, murah, dan 24 jam non-stop. Fitur inilah yang menjadikan mereka ancaman potensial bagi sistem pembayaran konvensional.
Baik JD.com maupun Ant diketahui tengah bersiap menerbitkan stablecoin berbasis dolar Hong Kong dan menanti undang-undang baru Hong Kong berlaku pada 1 Agustus 2025. Namun dalam pembicaraan tertutup dengan People’s Bank of China (PBOC), JD.com menekankan bahwa stablecoin yuan lepas pantai sangat mendesak untuk mempercepat internasionalisasi mata uang mereka.
Pandangan itu juga digaungkan sejumlah pelaku industri. “Ekspansi global stablecoin dolar AS menimbulkan tantangan baru bagi internasionalisasi yuan,” tulis Wakil Ketua Digital China Information Service Group, lewat akun media sosialnya bulan lalu, Wang Yongli, dikutip dari Reuters di Jakarta, Kamis, 3 Juli 2025.
“Ini bisa jadi risiko strategis bila pembayaran lintas negara dengan yuan tidak seefisien stablecoin dolar,” lanjut Wang, yang juga mantan Wakil Direktur Bank of China.
Baik PBOC, JD.com, maupun Ant belum memberikan tanggapan atas permintaan konfirmasi dari Reuters.
Dolar Masih Mendominasi
Pasar stablecoin global memang masih tergolong kecil—sekitar USD247 miliar menurut CoinGecko. Tapi Bank Standard Chartered memprediksi nilainya bisa melonjak jadi USD2 triliun pada 2028. Saat ini, berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), lebih dari 99 persen stablecoin yang beredar ditambatkan ke dolar AS.
Ambisi China untuk menjadikan yuan sebagai mata uang global setara dolar dan euro sudah lama terdengar. Tapi ada ganjalan besar, yakni keengganan mereka melepas kontrol modal yang ketat.
Data SWIFT mencatat, pada Mei lalu, porsi yuan sebagai mata uang pembayaran global anjlok ke 2,89 persen—terendah dalam hampir dua tahun. Sementara itu, dolar AS masih mendominasi dengan pangsa 48,46 persen. “China sudah sampai di titik di mana mereka tak bisa lagi berdiam diri,” ujar Xiao Feng, Chairman operator bursa kripto HashKey yang berbasis di Hong Kong.
Xiao menyebut, makin banyak eksportir China beralih menggunakan stablecoin dolar karena semakin banyak pedagang luar negeri membayar pakai USDT (Tether).
Beberapa eksportir yang diwawancarai Reuters menyebut, kontrol modal dalam negeri, ketegangan geopolitik, dan volatilitas mata uang di pasar negara berkembang mendorong mereka menggunakan stablecoin.
Crypto HK, bursa kripto over-the-counter (OTC) terbesar di Hong Kong, mencatat volume transaksi bulanan USDT dari klien China melonjak lima kali lipat sejak 2021—semuanya untuk kebutuhan penyelesaian dagang.(*)