KABARBURSA.COM — Rencana pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menerapkan kebijakan satu harga LPG 3 kilogram pada 2026 menuai kritik tajam dari kalangan akademisi.
Kebijakan yang diklaim bertujuan menurunkan disparitas harga dan menyalurkan subsidi lebih tepat sasaran ini justru dinilai berpotensi blunder dan memperbesar beban fiskal negara.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai kebijakan satu harga LPG 3 Kg tidak akan menjamin subsidi tepat sasaran, karena konsumen dari kalangan mampu masih bebas membeli LPG bersubsidi.
“Selama pembeliannya tidak dibatasi, orang kaya tetap bisa menikmati subsidi. Ini justru makin membengkakkan beban negara,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com, Jumat, 4 Juli 2025.
Menurut Fahmy, alokasi subsidi LPG 3 Kg saat ini sudah sangat besar, yakni sekitar Rp87 triliun per tahun. Alih-alih membuat distribusi lebih efisien, rencana satu harga ini justru dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan anggaran, terutama karena skema distribusi LPG jauh lebih kompleks dibanding BBM bersubsidi.
“Distribusi LPG tidak seperti BBM yang bisa dikontrol di SPBU. LPG 3 Kg menyebar lewat ribuan agen, pangkalan, sampai pengecer akar rumput. Pemerintah akan kesulitan mengontrol harga tanpa mengorbankan para pelaku usaha kecil itu,” jelasnya.
Fahmy menyoroti bahwa pengecer di tingkat bawah sejauh ini berperan penting dalam menjamin akses masyarakat terhadap LPG 3 Kg, khususnya di wilayah pelosok. Kenaikan harga yang terjadi di tingkat pengecer sebenarnya lebih disebabkan oleh biaya logistik dan margin usaha yang wajar, dan bukan bentuk penyimpangan harga.
“Disparitas harga di lapangan bukan semata bentuk kelangkaan atau penimbunan, tapi karena pengecer butuh menutup ongkos distribusi. Kalau satu harga diterapkan, siapa yang akan tanggung biaya transportasi antar wilayah?” kata dia.
Ia juga membandingkan kebijakan satu harga LPG dengan skema satu harga BBM yang lebih terstruktur karena ditopang oleh SPBU-SPBU Pertamina. Sementara LPG 3 Kg sangat bergantung pada jaringan distribusi informal yang tersebar luas dan tidak bisa dikendalikan pemerintah secara langsung.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa kebijakan satu harga LPG 3 Kg akan diterapkan pada tahun 2026, bersamaan dengan upaya memperketat pengawasan distribusi dan pelabelan pengguna yang berhak.
Namun, ini bukan kali pertama Bahlil mengusulkan kebijakan kontroversial terkait LPG subsidi. Sebelumnya, ia sempat melarang pengecer menjual LPG 3 Kg, yang justru menyebabkan antrean panjang warga di pangkalan dan menuai protes keras dari masyarakat. Presiden Prabowo Subianto bahkan turun tangan dengan menganulir larangan tersebut demi melindungi akses masyarakat kecil terhadap energi bersubsidi.
Fahmy mengingatkan agar kebijakan satu harga LPG tidak dipaksakan tanpa kajian mendalam. Ia mengusulkan pemerintah lebih fokus pada pembenahan sistem distribusi berbasis data penerima yang akurat serta pengawasan terhadap jalur distribusi agar subsidi benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang berhak.
“Kalau tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin kebijakan ini lagi-lagi dibatalkan Presiden, dan ini akan memperburuk kredibilitas Menteri ESDM,” ujarnya.
Usulan kebijakan tersebut dilontarkan Bahlil Lahadalia saat Rapat Kerja bersama Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Rabu 2 Juli 2025 kemarin. Bahlil menjelaskan bahwa regulasi yang tengah disusun adalah revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga LPG tertentu (LPG 3 kg).
Revisi beleid tersebut bertujuan untuk mewujudkan energi berkeadilan dan perbaikan tata kelola serta meningkatkan jaminan ketersediaan dan distribusi LPG tertentu di dalam negeri untuk rumah tangga sasaran, usaha mikro sasaran, nelayan sasaran, dan petani sasaran. Selain itu, regulasi tersebut akan mengatur secara komprehensif mekanisme penetapan satu harga berdasarkan biaya logistik.
"Kami akan mengubah beberapa metode agar kebocoran ini tidak terjadi, termasuk harga yang selama ini diberikan kepada daerah. Kita dalam pembahasan Perpres, kita tentukan saja satu harga supaya jangan ada gerakan tambahan di bawah," ungkap Bahlil dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM.
Bahlil berharap aturan itu mampu menyederhanakan rantai pasok dan memastikan subsidi tepat sasaran ke pengguna yang berhak menerima LPG, sehingga harga di konsumen akhir tidak lagi bervariasi dan secara berlebihan antarwilayah serta sesuai dengan alokasi yang ditetapkan pemerintah, yaitu jumlah konsumsi per pengguna.
Hasil temuan di lapangan, harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditentukan berkisar antara Rp16.000-Rp19.000 per tabung seringkali bisa mencapai Rp50.000. Hal ini memicu pemerintah mentranformasi tata kelola LPG 3 Kg.
Salah satu faktor utama adalah adanya ketidakseimbangan antara anggaran subsidi yang disediakan negara dengan realisasi di lapangan bahkan membuka celah kebocoran kuota dan rantai pasok yang panjang. "Kalau harganya dinaikkan terus, antara harapan negara dengan apa yang terjadi tidak sinkron," ujar Bahlil.
Senada dengan Bahlil, Wakil Menteri ESDM Yuliot menambahkan model penyeragaman LPG 3 Kg satu harga ini akan mereplikasi implementasi program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga. Mekanisme ini diharapkan mampu menyamakan harga di tingkat konsumen akhir, sekaligus meminimalkan praktik penjualan di atas HET.
"Itu nanti untuk setiap provinsi, jadi ditetapkan itu satu harganya. Jadi nanti akan kita evaluasi untuk setiap provinsi," tutur Yuliot.
Selain itu, transformasi subsidi LPG 3 kg menjadi berbasis penerima manfaat turut menjadi fokus utama. Pelaksanaan transformasi ini akan dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.(*)