KABARBURSA.COM – Kuatnya pertumbuhan lapangan kerja di Amerika Serikat pada Juni membuat Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), punya alasan tambahan untuk tidak buru-buru menurunkan suku bunga. Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, bahkan memperkirakan ekonomi Negeri Abang Sam masih butuh waktu lama—mungkin setahun atau lebih—untuk benar-benar menyesuaikan diri dengan dampak kebijakan tarif dan manuver ekonomi Presiden Donald Trump.
“Penyesuaian harga dan ekonomi terhadap perubahan kebijakan perdagangan dan dinamika geopolitik bukanlah perubahan satu kali seperti yang digambarkan buku teks ekonomi,” kata Bostic dalam konferensi ekonomi di Jerman, dikutip dari Reuters di Jakarta, Jumat, 4 Juli 2025.
Ia menilai tekanan inflasi bisa bertahan lebih lama dari yang diperkirakan sebelumnya. Karena itu, The Fed memilih bersabar dan menunggu arah yang lebih pasti dari inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kondisi pasar tenaga kerja sebelum melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
Pasar tenaga kerja sendiri tampak masih kokoh. Data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan adanya penambahan 147 ribu lapangan kerja pada Juni, lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Tingkat pengangguran pun turun tak terduga menjadi 4,1 persen. Hal ini memperkuat argumen bahwa perekonomian Amerika belum goyah meski dihantui ketidakpastian arah tarif impor.
Trump sendiri terus mendesak pemangkasan suku bunga secepatnya. Tapi pejabat The Fed bergeming. Mereka menilai tak ada alasan kuat untuk bertindak gegabah, kecuali jika pasar tenaga kerja mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan nyata.
Ketua The Fed, Jerome Powell, menyebut dampak tarif terhadap inflasi mungkin baru akan mulai terasa pada musim panas ini. Data inflasi terbaru dijadwalkan rilis dua pekan mendatang yang bisa menjadi acuan arah kebijakan dalam rapat The Fed pada 29–30 Juli mendatang.
Namun dengan laporan ketenagakerjaan yang lebih kuat dari ekspektasi, peluang pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat mengecil. “Data hari ini sepenuhnya menepis argumen pemangkasan bunga dalam waktu dekat. Tak ada urgensi sama sekali bagi The Fed untuk turun tangan,” kata Kepala Strategi Global di Principal Asset Management, Seema Shah. Ia memprediksi pemangkasan pertama baru akan terjadi pada akhir 2025.
Bostic sendiri masih berpegang pada proyeksi hanya satu kali pemangkasan suku bunga tahun ini. Sedangkan mayoritas proyeksi pejabat The Fed sebelumnya mengarah pada dua kali pemangkasan.
Sejak Desember lalu, suku bunga acuan The Fed bertahan di kisaran 4,25–4,5 persen. Keputusan ini sempat membuat Trump naik pitam. Ia menilai inflasi yang lemah seharusnya jadi alasan kuat untuk memangkas suku bunga tajam, bahkan sampai meminta Powell untuk mengundurkan diri.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang kabarnya tengah dipertimbangkan sebagai pengganti Jerome Powell, menyebut laporan ketenagakerjaan sebagai sesuatu yang “bagus”. “Hingga saat ini kami belum melihat dampak inflasi dari tarif,” katanya.
Dalam wawancara dengan CNBC, Bessent menambahkan, “Kalau The Fed mau bikin kesalahan dengan tidak memangkas suku bunga sekarang, ya silakan saja.” Menurut dia, keputusan itu hanya akan membuat bank sentral akhirnya terpaksa memangkas suku bunga lebih besar—hingga setengah poin—pada September nanti.
Powell sendiri, yang menyatakan niatnya untuk tetap menjabat hingga akhir masa tugasnya pada 15 Mei 2026 mendatang, kembali menegaskan bahwa bank sentral akan “menunggu dan mencermati” sejauh mana tarif akan mendorong inflasi, sebelum mengambil langkah pemangkasan berikutnya.
Pasar tampaknya mulai menerima logika itu. Kontrak berjangka suku bunga menunjukkan para pelaku pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga baru akan dimulai pada September dan diperkirakan hanya dua kali sepanjang tahun ini—lebih sedikit dibandingkan tiga kali yang sempat diantisipasi sebelumnya.
Meski data pekerjaan Juni mencatat lonjakan perekrutan yang mengejutkan, laporan tersebut tetap menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja mulai mendingin. Upah rata-rata naik 3,7 persen secara tahunan, semakin mendekati target inflasi 2 persen yang dikejar oleh The Fed.
Laporan itu juga menunjukkan kebijakan tarif dan dagang pemerintahan Trump mulai membentuk ulang peta ketenagakerjaan. Pekerjaan sektor manufaktur menyusut 7.000 posisi, sementara jumlah pegawai pemerintah federal pun ikut menurun.
Pembatasan imigrasi serta dorongan terhadap deportasi tampak mulai menekan proporsi tenaga kerja kelahiran luar negeri. Yang mencemaskan, lapangan kerja kini terkonsentrasi pada jenis pekerjaan yang makin sempit.
Partisipasi angkatan kerja terus melorot, turun 0,1 poin menjadi 62,3 persen pada Juni, setelah sebelumnya turun 0,2 poin pada Mei. Tanpa penurunan itu, tingkat pengangguran seharusnya naik ke 4,7 persen.
Ekonom Kathy Bostjancic dari Nationwide menyebut laporan ini sebagai “lemah” dan memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 75 basis poin hingga akhir tahun, demi menahan laju perlambatan ekonomi, meskipun ada potensi inflasi temporer dari tarif.
Dalam laporan terpisah, Institute for Supply Management (ISM) mencatat sektor jasa AS tumbuh pada Juni. Namun, komponen ketenagakerjaannya justru melemah. Banyak pelaku usaha masih enggan merekrut karyawan baru—sinyal lain bahwa ketidakpastian kebijakan masih membebani ekonomi AS.(*)