KABARBURSA.COM – Amerika Serikat dan Vietnam mencapai kesepakatan dagang pada Rabu, 3 Juli 2025. Salah satu isinya menetapkan tarif 20 persen atas produk asal Vietnam yang masuk ke pasar AS. Di Hanoi, kabar itu sempat disambut lega oleh para pelaku ekspor. Pasalnya, tarif ini jauh lebih ringan ketimbang ancaman tarif balasan sebesar 46 persen yang sempat diumumkan Washington pada April lalu.
Namun, ada duri dalam perjanjian itu. Presiden AS Donald Trump menyelipkan klausul yang menyasar praktik transshipment, yakni barang dari negara lain yang dialihkan jalur ekspornya lewat Vietnam. Untuk jenis barang itu, AS menetapkan tarif lebih tinggi sebesar 40 persen.
Tak ada kejelasan teknis soal mekanisme penerapan tarif transshipment ini. Namun sejumlah analis menilai klausul tersebut berpotensi mengubah peta dagang kawasan Asia.
Jalur Kelabu Barang Kiriman
Secara sederhana, transshipment adalah praktik mengelabui tarif dengan mengirim barang ke negara ketiga, lalu mengubah dokumen asal barang, sebelum diekspor ke tujuan akhir. Sejak memulai perang tarif dengan China awal tahun ini, pemerintahan Trump makin khawatir terhadap peningkatan praktik semacam ini.
Pejabat perdagangan AS menuding sejumlah besar barang asal China dialihkan ke negara Asia Tenggara, kemudian diekspor ke AS dengan tarif lebih rendah berkat manipulasi asal barang. Data resmi soal seberapa masif praktik ini memang belum tersedia. Tapi tren lonjakan ekspor China ke Asia Tenggara dan ekspor Asia Tenggara ke AS dalam beberapa bulan terakhir memberi sinyal bahwa praktik itu bukan isapan jempol.
Laporan MUFG Bank menyebut efek kebijakan tarif ini mungkin terbatas jika AS hanya menindak kasus-kasus yang paling terang-terangan menyimpang. Namun, jika cakupannya lebih luas, implikasinya bisa berat.
Klausul khusus yang menetapkan tarif 40 persen itu mengirimkan pesan tegas bahwa Washington serius menertibkan praktik transshipment. Yang menjadi kegelisahan pelaku usaha adalah definisi ‘transshipment’ dalam konteks kesepakatan ini. Apakah hanya berlaku pada barang yang sekadar transit di Vietnam? Ataukah juga mencakup barang hasil perakitan sebagian yang bahan bakunya berasal dari China?
Rantai pasok negara-negara Asia Tenggara—termasuk Vietnam—selama ini bertumpu pada China. Banyak produk yang komponennya berasal dari China, lalu dirakit di Vietnam sebelum diekspor ke AS. Jika kategori barang seperti ini juga masuk hitungan transshipment, maka tarif 40 persen akan membuka kotak Pandora baru di kawasan.
“Asia sangat tergantung pada impor bahan setengah jadi dari China dan belum punya ekosistem produksi lokal yang kuat,” tulis analis Nomura dalam riset terbaru mereka, dikutip dari South China Morning Post, Jumat, 4 Juli 2025.
Dampak Luas ke Asia
Efek langsung perjanjian dagang AS–Vietnam ini bisa dirasakan seantero Asia. Banyak negara menggantungkan pertumbuhan ekonominya dari ekspor ke pasar Amerika. Nomura memperkirakan, jika struktur tarif saat ini terus bertahan, maka 1,7 persen produk domestik bruto (PDB) Vietnam akan terdampak. Di China sebesar 0,8 persen, Thailand 0,7 persen, serta Korea Selatan dan Malaysia masing-masing 0,6 persen.
Namun, bagi sebagian analis, kekhawatiran terbesar justru bukan pada hitungan PDB yang terpangkas. Mereka melihat klausul transshipment ini sebagai isyarat AS ingin mengikis dominasi China dalam rantai pasok kawasan. “Meski kriteria transshipment belum jelas, peran Vietnam sebagai jembatan ekspor China ke AS akan menurun,” kata Su Yue, ekonom utama China di Economist Intelligence Unit.
Kekhawatiran makin meluas karena negara-negara Asia lain bisa jadi menghadapi tarif baru setelah perjanjian ini. Saat ini, rata-rata tarif dasar yang dikenakan AS ke negara-negara Asia berada di kisaran 10 persen. Jika Washington benar ingin membendung barang China yang dialihkan lewat Asia Tenggara, tarif itu harus naik ke rata-rata 15,5 persen, menurut perhitungan ekonom Nomura, Euben Paracuelles.
Nomura juga mengungkapkan bahwa AS sedang menekan India agar menetapkan aturan local content. AS ingin semua produk asal India memiliki minimal 60 persen nilai lokal agar bisa dianggap “Made in India”. India menawar agar ambangnya cukup 35 persen.
Dalam perang dagang jilid baru ini, bukan sekadar angka tarif yang jadi perhatian. Tapi bagaimana satu klausul bisa menjalar ke seantero kawasan, memaksa negara-negara Asia meninjau ulang strategi ekspornya, sekaligus mempertanyakan seberapa siap mereka berdikari dari China yange merupakan mitra dagang sekaligus pemasok terbesar.(*)