KABARBURSA.COM - Harga minyak siap terbang, rupiah oleng, dan modal asing bersiap hengkang. Konflik Iran–Israel tak sekadar membakar Timur Tengah, guncangannya merembet ke dompet negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kini terancam dihantam gelombang capital outflow.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyoroti risiko terbesar bagi Indonesia saat ini bukan hanya pada harga minyak, tetapi juga dari potensi derasnya arus modal keluar.
“Pelemahan nilai tukar rupiah sejak awal konflik terjadi karena investor global cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, menuju aset-aset safe haven seperti dolar AS atau emas,” ujar Tauhid secara virtual dalam diskusi bertajuk “Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia”, dipantau di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025
Menurut Tauhid, tekanan terhadap nilai tukar memang sempat mereda setelah adanya gencatan senjata antara Iran dan Israel yang dimediasi oleh eks Presiden AS, Donald Trump. Namun, ia menekankan ketidakpastian global belum sepenuhnya hilang. Yield Surat Berharga Negara (SBN) pun sempat dinaikkan untuk menjaga agar investor tetap bertahan di pasar domestik.
“Pasar keuangan merespons lebih dulu. Yield SBN ditawarkan lebih tinggi sebagai insentif agar investor bertahan. Tapi ini belum tentu cukup jika tekanan geopolitik terus berlanjut,” tegasnya.
Tauhid juga mencatat bahwa pergerakan nilai tukar dan indeks saham (IHSG) tidak selalu berjalan seiring. Meskipun rupiah melemah, IHSG tidak langsung tertekan karena ada faktor domestik yang turut menjaga kepercayaan investor lokal.
Yang juga menjadi perhatian, lanjut Tauhid, adalah kondisi neraca perdagangan Indonesia yang mulai menunjukkan pelemahan. Bahkan sebelum konflik Iran-Israel meletus, surplus dagang Indonesia pada April 2025 sudah menyusut drastis menjadi hanya USD 150 juta.
“Ini karena permintaan dari mitra dagang utama seperti China, India, dan Amerika Serikat melambat. Kalau konflik ini makin meluas, maka kita menghadapi risiko ganda—supply chain terganggu dan permintaan global menurun,” jelasnya.
Gangguan pasokan energi global, terutama dari kawasan Timur Tengah seperti Selat Hormuz, disebut Tauhid sebagai titik rawan utama. Hampir 30 persen pasokan minyak dunia melewati jalur ini. Jika jalur ini terganggu, harga minyak bisa melonjak dan memicu efek berantai di perekonomian.
“Kita sangat rentan. Lonjakan harga minyak akan menambah beban subsidi BBM, memperlebar defisit transaksi berjalan, dan bisa berdampak langsung pada daya beli masyarakat,” kata Tauhid.(*)