KABARBURSA.COM - Negara dengan konsumsi energi terbesar di dunia, China, dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk memangkas impor batu bara berkualitas rendah. Keoutusan ini dinilai sebagai bagian dari strategi menekan emisi karbon sekaligus mengelola pasokan dalam negeri yang melimpah.
Mengutip Bloomberg, China Huadian Corp., yaitu salah satu pembangkit listrik raksasa di Negeri Tirai Bambu tersebut, memproyeksikan total impor batu bara China tahun 2025 hanya akan berada di angka 400 juta ton. Ini jauh di bawah rekor tahun lalu sebesar 543 juta ton.
Prediksi Huadian bahkan lebih konservatif dibandingkan perkiraan awal China Coal Transportation and Distribution Association yang memperkirakan impor 2025 mencapai 525 juta ton.
Penurunan tren ini mulai terasa, di mana per Mei 2025 impor batu bara termal China sudah turun selama tiga bulan berturut-turut secara tahunan, menurut analis asosiasi, Li Xuegang.
Secara regional, Asia sempat mencatat volume impor batu bara termal tertinggi dalam lima bulan terakhir pada Mei lalu, yaitu mencapai 74,12 juta ton.
Namun secara tahunan, volumenya masih terkoreksi 5,3 persen. Untuk periode lima bulan pertama tahun ini (5M25), penurunan tercatat mencapai 7 persen secara tahunan menjadi 346,96 juta ton, berdasarkan data Kpler.
Bagi Indonesia, kabar ini jelas bukan angin segar. Apalagi mengingat beberapa emiten batu bara lokal memiliki eksposur signifikan ke pasar China dan menjual batu bara kalori rendah, yang biasanya dihargai dengan indeks ICI4 (kalori 4.200 GAR).
Emiten seperti PTBA, KKGI, INDY, dan BYAN berpotensi terdampak. Sebagai gambaran, KKGI menggantungkan 32 persen volume penjualannya ke China pada 2024, sementara INDY sebesar 35,8 persen, BYAN 20 persen, dan PTBA sekitar 3,4 persen.
Saham Batu Bara Tetap Bagi Dividen Tinggi
Terlepas dari tekanan ekspor, sejumlah emiten batu bara tetap menunjukkan komitmen bagi hasil. PT Bukit Asam (PTBA), misalnya, mengumumkan dividen tahun buku 2024 sebesar Rp3,8 triliun atau Rp332 per saham. Dengan dividend payout ratio sebesar 75 persen, yield-nya mencapai 11,1 persen, salah satu yang tertinggi di pasar saat ini.
Aneka Tambang (ANTM) juga menyusul dengan pembagian dividen senilai Rp3,6 triliun atau Rp151,77 per saham, yang berarti seluruh laba bersih 2024 dibagikan kepada pemegang saham. Dividend yield-nya terhitung sebesar 4,8 persen.
Sementara itu, Hartadinata Abadi (HRTA) membagikan dividen sebesar Rp21 per saham (yield 3,3 persen), dan Summarecon Agung (SMRA) menyetujui dividen Rp9 per saham (yield 2,1 persen).
TPIA dan Strategi Divestasi Siam Cement
Pergerakan signifikan juga terjadi di saham TPIA. Siam Cement, melalui SCG Chemicals, mengumumkan sedang mempertimbangkan untuk menjual 10,57 persen kepemilikannya di Chandra Asri Pacific.
Langkah ini menjadi bagian dari strategi untuk mengurangi beban utang dan mengalihkan modal ke peluang bisnis baru. Hingga kini, rencana divestasi ini masih dalam tahap pertimbangan dan nilai transaksinya belum ditetapkan.
ASII Tertekan, ADHI Masih Lesu
Dari sektor otomotif, Astra International (ASII) mencatatkan penurunan penjualan mobil secara wholesales sebesar 17 persen YoY pada Mei 2025. Angka ini lebih dalam dibandingkan penurunan seindustri yang berada di angka 15 persen. Market share ASII pun tergerus ke level 56,9 persen, turun dari posisi 57,9 persen tahun lalu.
Di sektor konstruksi, Adhi Karya (ADHI) masih harus berjuang keras. Hingga Mei 2025, emiten pelat merah ini baru mencatat kontrak baru senilai Rp2,6 triliun, hanya sekitar 10 persen dari target tahunan.
Angka ini juga anjlok 72 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini disebut karena penyesuaian anggaran infrastruktur oleh pemerintah.
Jadi, saat ini pasar tengah dihadapkan pada berbagai sentimen kompleks: tekanan ekspor batu bara ke China, potensi divestasi strategis di sektor petrokimia, dividen jumbo dari emiten tambang, dan dinamika penjualan di sektor otomotif dan konstruksi.
Investor perlu mencermati dengan saksama perkembangan ini sebagai bagian dari strategi alokasi portofolio di tengah cuaca pasar yang kian dinamis.
Apakah ini momentum rebalancing, atau justru peluang untuk akumulasi sektor tertentu? Waktu akan berbicara. Namun yang pasti, seleksi saham berbasis data tetap menjadi kunci di tengah banyaknya ketidakpastian.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.