KABARBURSA.COM - PT Daaz Bara Lestari Tbk mencatatkan kinerja keuangan yang impresif pada kuartal pertama 2025. Dalam laporan laba rugi konsolidasi yang berakhir pada 31 Maret 2025, emiten yang bergerak di sektor batu bara ini berhasil mencetak lonjakan pendapatan yang signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pendapatan perusahaan tercatat sebesar Rp3,08 triliun, naik drastis dari Rp1,94 triliun pada kuartal pertama 2024. Pertumbuhan pendapatan ini memberikan fondasi kuat bagi laba kotor yang juga meningkat tajam, menjadi Rp240,9 miliar dari sebelumnya Rp157,8 miliar.
Namun, peningkatan pendapatan ini diiringi oleh beban pokok pendapatan yang ikut melonjak ke angka Rp2,84 triliun, mencerminkan tingginya biaya produksi atau pembelian batu bara yang harus ditanggung. Meski begitu, selisih positif antara pendapatan dan beban pokok berhasil menjaga margin laba kotor di level kompetitif.
Di sisi efisiensi operasional, PT Daaz Bara Lestari Tbk menghadapi tantangan. Beban usaha naik menjadi Rp34,6 miliar dari Rp23,76 miliar, sementara beban keuangan membengkak signifikan menjadi Rp40,1 miliar dibandingkan Rp25,93 miliar di kuartal yang sama tahun sebelumnya.
Lonjakan beban ini disinyalir berasal dari peningkatan pinjaman atau bunga utang yang membebani arus kas. Selain itu, beban pajak final dan pendapatan lain-lain bersih turut memberi tekanan terhadap laba operasional.
Meski beban-beban tersebut cukup signifikan, perusahaan tetap mampu mencatatkan laba sebelum pajak sebesar Rp157,5 miliar, melesat dari Rp103,9 miliar pada kuartal I tahun lalu. Setelah dikurangi beban pajak sebesar Rp23,7 miliar, laba bersih tahun berjalan yang berhasil dibukukan mencapai Rp133,8 miliar.
Angka ini mencerminkan pertumbuhan laba bersih sebesar lebih dari 46 persen dibandingkan kuartal I 2024, di mana laba bersih saat itu hanya Rp91,3 miliar.
Dari sisi distribusi laba, mayoritas keuntungan diperoleh pemilik entitas induk sebesar Rp96,9 miliar, sementara sisanya sebesar Rp36,9 miliar menjadi bagian kepentingan non-pengendali.
Dengan kinerja yang solid tersebut, laba per saham (EPS) PT Daaz Bara Lestari Tbk tercatat meningkat menjadi Rp49 dari sebelumnya Rp45,48 pada periode yang sama tahun lalu, menunjukkan prospek pertumbuhan yang menjanjikan bagi para pemegang saham.
Secara keseluruhan, laporan keuangan kuartal pertama 2025 mencerminkan perbaikan signifikan dalam hal pendapatan dan laba bersih. Meski tekanan dari sisi beban usaha dan beban keuangan masih terasa, perusahaan tetap mampu menjaga profitabilitas yang solid.
Kinerja ini menjadi indikator positif bahwa strategi ekspansi atau efisiensi operasional yang dijalankan mulai menunjukkan hasil. Dengan pertumbuhan top-line dan bottom-line yang kuat, PT Daaz Bara Lestari Tbk berpotensi mempertahankan momentum positifnya di kuartal-kuartal berikutnya, terutama jika mampu menekan beban dan meningkatkan margin.
Kinerja yang mengesankan ini tentu memberikan sinyal positif bagi investor dan pasar, memperkuat persepsi bahwa saham PT Daaz Bara Lestari Tbk patut diperhatikan dalam portofolio sektor energi, khususnya batu bara.
Harga Batu Bara Tembus Level Psikologis, Artinya?
Harga batu bara kembali menguat signifikan dan menembus level psikologis USD100 per ton pada perdagangan Selasa waktu setempat, 29 April 2025 atau Rabu WIB, 30 April 2025. Mengacu pada data Refinitiv, harga batu bara tercatat naik 1,46 persen ke posisi USD100/ton dibandingkan sehari sebelumnya yang berada di level USD99/ton.
Kenaikan ini memperpanjang tren positif yang telah terjadi selama lima hari beruntun sejak 23 April, menjadikan batu bara sebagai salah satu komoditas energi dengan performa paling impresif dalam sepekan terakhir.
Dalam lima hari terakhir, harga batu bara telah mencatatkan apresiasi sebesar 6,7 persen atau hampir 7 persen, setelah sebelumnya sempat terpuruk hingga minus 6,4 persen. Pemulihan harga ini tidak hanya menjadi kabar baik bagi investor dan emiten pertambangan batu bara, tetapi juga menegaskan bahwa energi fosil ini masih memiliki peran vital dalam peta energi global meski transisi menuju energi terbarukan terus digalakkan.
Pendorong utama di balik kebangkitan harga batu bara ini tidak lepas dari dinamika global, khususnya yang melibatkan China. Meskipun negara tersebut telah menyatakan komitmen dalam forum internasional untuk menghentikan dukungan terhadap proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri sejak 2021, kenyataannya pembangunan proyek baru justru masih berlangsung di sejumlah negara berkembang.
Menurut laporan Global Energy Monitor (GEM), hingga kini perusahaan-perusahaan asal China terlibat dalam 88 persen dari total kapasitas pembangkit batu bara baru di negara-negara anggota baru BRICS.
Sebanyak 7,7 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara baru kini sedang dibangun, dan mayoritas proyek tersebut berada di Indonesia. Fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana komitmen transisi energi dari salah satu ekonomi terbesar dunia.
Meski demikian, China juga aktif dalam mendukung kapasitas pembangkit energi bersih, tercermin dari proyek tenaga angin dan surya yang sedang dikembangkan di beberapa negara BRICS baru. Tercatat, sekitar 947 megawatt (MW) dari proyek tenaga surya dan 601 MW dari tenaga angin sedang dibangun dengan dukungan China.
Anggota baru BRICS—yakni Indonesia, Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Malaysia, Thailand, Uganda, Uzbekistan, dan Nigeria—menjadi fokus utama dari investasi China, terutama dalam sektor energi. Total kapasitas pembangkit berbasis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara) yang sedang dibangun di negara-negara ini mencapai 25 GW. Di sisi lain, kapasitas pembangkit dari tenaga angin dan surya hanya berjumlah sekitar 2,3 GW, menunjukkan dominasi proyek berbasis hidrokarbon yang masih sangat besar.
Hampir dua pertiga dari seluruh proyek pembangkit yang sedang dikembangkan di blok BRICS baru dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan milik negara asal China. Menurut Global Energy Monitor, ini menjadi sinyal kuat bahwa negara-negara berkembang masih sangat tergantung pada dukungan eksternal dalam membangun infrastruktur energi, dan sering kali arah kebijakan energi mereka dipengaruhi oleh negara-negara mitra, terutama dalam hal pendanaan dan teknologi.
Namun, GEM juga memperingatkan risiko jangka panjang dari strategi ini. Ketergantungan terhadap energi fosil bisa menjadi penghalang utama bagi negara-negara BRICS baru untuk mencapai target dekarbonisasi dan transisi energi yang berkelanjutan. Walaupun China, Brasil, dan India kini tercatat sebagai pemimpin global dalam pengembangan energi terbarukan, situasi ini tidak terjadi di mayoritas anggota BRICS baru yang justru masih mengandalkan batu bara, minyak, dan gas sebagai sumber energi utama.
Meski demikian, secara agregat, blok BRICS tetap mencatatkan pertumbuhan pesat dalam pembangunan energi ramah lingkungan. Total kapasitas pembangkit tenaga angin dan surya yang sedang dibangun dan direncanakan mencapai dua kali lipat dibandingkan kapasitas berbasis hidrokarbon.
Kembalinya harga batu bara ke level USD100 per ton serta dinamika geopolitik dan energi ini akan menjadi faktor penting bagi pasar komoditas energi dan kebijakan energi global. Indonesia sebagai negara eksportir utama batu bara berpotensi kembali mencetak keuntungan ekspor dan menghidupkan kembali saham-saham sektor energi di pasar modal.
Namun dalam jangka panjang, keberlanjutan dan strategi transisi energi tetap menjadi sorotan, terutama bagi negara-negara berkembang yang berada di persimpangan antara kebutuhan energi jangka pendek dan komitmen iklim global.(*)