KABARBURSA.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan melanjutkan penguatan menuju level resisten 8.168 pada pekan ini. Penguatan ini didorong kombinasi faktor domestik berupa penguatan data konsumsi, penjualan kendaraan, serta stabilitas cadangan devisa, dan dukungan sentimen global dari potensi pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat (AS).
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, menjelaskan bahwa IHSG masih memiliki peluang menguat setelah pada penutupan perdagangan Jumat, 3 Oktober 2025, indeks ditutup naik 0,23 persen ke level 8.118,30.
“IHSG masih berpotensi melanjutkan penguatan, namun tetap ada risiko koreksi jangka pendek jika data ekonomi tidak sesuai ekspektasi atau The Fed kembali hawkish,” ujar Imam dalam keterangan resmi Senin, 6 Oktober 2025.
Menurutnya, penguatan IHSG pekan lalu ditopang oleh stabilitas ekonomi domestik. Inflasi September 2025 tercatat 2,65 persen secara tahunan (yoy), masih dalam target Bank Indonesia (BI), sementara sektor manufaktur tetap ekspansif dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) sebesar 50,4.
Dari sisi fiskal, pemerintah menyiapkan tambahan stimulus pada kuartal IV 2025 untuk memperkuat daya beli masyarakat. Stimulus ini termasuk program khusus Natal dan Tahun Baru senilai hampir 2 miliar dolar AS, melengkapi total stimulus fiskal yang telah digelontorkan sekitar 4,5 miliar dolar AS sepanjang tahun ini.
“Stimulus fiskal dan stabilitas inflasi menjadi katalis utama bagi sektor konsumsi dan otomotif di kuartal IV,” tambah Imam.
Selain itu, neraca perdagangan Indonesia juga menunjukkan kinerja positif dengan surplus mencapai 5,49 miliar dolar AS pada Agustus 2025, menandakan ketahanan eksternal yang kuat di tengah ketidakpastian global.
Di sisi eksternal, pasar global masih mencermati risiko government shutdown di AS yang berpotensi menekan aktivitas ekonomi, meskipun data pasar tenaga kerja (JOLTs) masih menunjukkan kondisi ketat. Di tengah tensi fiskal tersebut, pasar kini memperkirakan peluang sebesar 96,2 persen bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan mendatang.
Sementara di kawasan Asia, ekonomi Tiongkok masih menghadapi tantangan setelah PMI manufaktur bertahan di zona kontraksi. Pemerintah China pun merespons dengan meluncurkan paket stimulus besar senilai 500 miliar yuan yang difokuskan pada sektor infrastruktur, industri, dan subsidi konsumsi untuk menjaga momentum ekonomi.
Imam menilai pekan ini 6–10 Oktober 2025 pasar akan tetap dibayangi isu ketidakpastian fiskal di AS. “Pelaku pasar akan menyoroti pidato pejabat The Fed seperti Raphael Bostic dan Michelle Bowman, serta rilis FOMC Minutes pada 8 Oktober,” ujarnya.
Investor juga menantikan data Initial Jobless Claims pada 9 Oktober sebagai petunjuk arah suku bunga berikutnya. Dari Asia, perkembangan lanjutan stimulus fiskal Tiongkok akan menjadi perhatian utama karena berpotensi mendukung harga komoditas ekspor Indonesia.
Dari dalam negeri, sejumlah rilis data ekonomi penting juga akan menjadi fokus, antara lain posisi Cadangan Devisa BI pada 7 Oktober, data Retail Sales pada 9 Oktober, serta data penjualan motor dan mobil pada 9–10 Oktober.
“Rangkaian data ini akan memberikan gambaran nyata mengenai kekuatan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat kelas menengah yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi di akhir tahun,” ungkap Imam.
Dalam menghadapi dinamika pasar, IPOT yang kini telah bertransformasi menjadi Wealth Creation Platform, merekomendasikan strategi investasi yang berfokus pada saham-saham penerima manfaat dari stabilitas ekonomi domestik, didukung fitur Booster Modal, Multi-Account, dan Shared Access untuk kolaborasi investasi. (*)