KABARBURSA.COM – Produksi mobil di Indonesia terus menurun secara signifikan sejak tahun 2022. Penurunan ini terjadi seiring dengan penurunan penjualan mobil baik secara wholesales (pabrikan ke dealer) dan retail (dealer ke konsumen).
Pada tahun 2022, produksi mobil sebesar 1.470.146 unit, pada tahun 2023, produksi kendaraan turun menjadi 1.395.717 unit dan tahun 2024 kembali turun sebesar 1.196.664 unit.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai, penyebab penurunan produksi mobil di Indonesia disebabkan karena penurunan penjualan akibat inflasi global dan ketidakpastian ekonomi pascapandemi.
“Kondisi ekonomi juga diperparah dengan peningkatan tensi geopolitik di Eropa dan Timur Tengah sehingga menekan daya beli masyarakat sehingga permintaan terhadap mobil baru terus menurun,” kata Yannes kepada kabarbursa.com, Rabu, 22 Januari 2025.
Yannes melihat kondisi ekonomi tahun 2025 belum menunjukkan titik terang perubahan industri otomotif ke arah yang lebih baik. Menurutnya, jika kondisi ekonomi terus berlanjut dengan tren yang sama, maka penjualan tidak akan terdongkrak dan secara otomatis pabrikan tidak akan meningkatkan produksinya.
Menurutnya, penurunan penjualan mobil akan terus tergerus ketika jumlah middle income class di Indonesia terus bertambah. Sehingga mobil yang terjual pun lebih banyak didominasi segmen low end.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu melihat berlanjut atau tidaknya tren penurunan produksi bergantung dari pemulihan ekonomi global dan domestik.
“Jika ekonomi global dan domestik pulih lebih cepat dan daya beli masyarakat menguat, permintaan terhadap mobil baru kemungkinan akan meningkat kembali,” ujarnya.
Yannes menjelaskan, jika ekonomi domestik tumbuh akibat rangkaian kebijakan pemerintahan Prabowo dalam 6 bulan ini, maka kecepatan industri otomotif beradaptasi dengan perubahan preferensi konsumen, terutama untuk transisi ke electric vehicle (EV) dapat menjadi penentu apakah produsen mobil ICE lama dapat kembali meningkatkan produksinya.
Menurutnya, kunci dari pemulihan di industri otomotif adalah konsistensi dalam pengembangan ekosistem EV di Indonesia. “Jika pemulihan ekonomi berjalan lancar, masalah rantai pasokan teratasi, dan industri otomotif Indonesia mampu beradaptasi dengan cepat, ada peluang untuk pembalikan tren penurunan dalam 1-2 tahun ke depan,” ujarnya.
Tantangan Industri Otomotif 2025
Yannes mengungkapkan, industri otomotif di Indonesia menghadapi beragam tantangan dari dalam dan di luar negeri. Setelah mengalami penurunan performa penjualan pada 2024, tantangan industri otomotif di Indonesia pada tahun 2025 adalah ketegangan geopolitik.
Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, selain harus membenahi penjualan yang terus merosot, industri otomotif di Tanah Air harus menghadapi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
“Ini dapat mengganggu rantai pasokan global dan memengaruhi ekspor Indonesia yang mengakibatkan kenaikan harga produk otomotif,” kata Yannes beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, masalah rantai pasok yang mengakibatkan kelangkaan komponen semikonduktor juga pernah terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelangkaan semikonduktor ini terjadi akibat perang dagang antara AS dan China.
Perang dagang ini mengakibatkan harga kendaraan meningkat dan memperpanjang waktu tunggu dari pabrikan ke konsumen.
Sementara di dalam negeri, tantangan industri otomotif dari dalam negeri adalah kenaikan tarif pajak dan inflasi. Masalah ini mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan tertier seperti mobil.
“Ketidakpastian kebijakan fiskal yang mulai dipisah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui opsen pajak juga berpotensi semakin menambah beban bagi pelaku usaha dan masyarakat,” ujarnya.
Yannes mengungkapkan bahwa saat ini semua pihak yang terkait dengan sektor otomotif sedang melakukan wait and see. Karena, menurutnya kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran baru dua bulan bekerja sehingga belum dapat dipastikan pemetaannya.
“Kabinet baru bekerja dua bulan untuk memetakan banyak hal di atas dan mencari solusi yang terbaik dalam situasi yang tidak baik-baik saja mas dalam skala global,” tuturnya.
Batalkan Kenaikan PPN
Agar industri otomotif bangkit dari keterpurukan, Yannes mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencananya menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen agar industri otomotif dapat bangkit dari keterpurukan.
“Walaupun sangat sulit dijalankan, tinjau kembali rencana kenaikan berbagai pungutan pajak dan retribusi pusat dan daerah,” ujarnya.
Yannes optimistis industri otomotif akan bangkit dari keterpurukan tanpa PPN dan pungutan. Karena, menurutnya, selama ini PPN dan pungutan hanya menambah beban keuangan masyarakat serta pelaku usaha kelas menengah dan bawah.
Di sisi lain, syarat agar industri otomotif bangkit pada tahun 2025 adalah mengupayakan agar industri otomotif melakukan reinvestasi di industri berbasis otomasi dan robotik yang lebih efisien.
“Kembangkan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan produk yang inovatif dan terjangkau, sesuai dengan kebutuhan pasar domestik,” ujarnya.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah reskilling dan upskilling tenaga kerja industri agar comply dengan industry 4.0 dengan kerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi terkemuka Indonesia.
Kemudian, langkah berikutnya adalah meningkatkan daya beli masyarakat dengan memberikan insentif untuk kelas menengah agar dapat meningkatkan daya beli, mendorong konsumsi domestik serta menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
“Jaga stabilitas ekonomi dengan mengendalikan inflasi, memastikan nilai tukar yang stabil, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif akan memberikan kepercayaan bagi kelas menengah untuk berinvestasi dan berpartisipasi aktif dalam perekonomian,” jelasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.