KABARBURSA.COM - Penjualan kendaraan roda empat pada Maret 2025 tercatat sebanyak 70.892 unit, turun sebesar 5,1 persen dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.
Jika dilihat pada periode Februari 2025, penjualan mobil baru dapat mencapai 72.336 unit. Artinya ada penurunan 2 persen pada Maret tahun ini.
Penjualan mobil baru secara wholesales menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) tersebut, menunjukkan turunnya permintaan pasar di tengah kondisi ekonomi dalam negeri yang kurang stabil yang mempengaruhi daya beli konsumen.
Kemudian, bila menengok capaian retail sales (penjualan dari dealer ke konsumen) dari data GAIKINDO, penjualan mobil baru per Maret 2025, terdapat sebanyak 76.582 unit yang terjual atau menurun 6,8 persen dibanding Maret tahun lalu yang meraih penjualan 82.170 unit.
Secara tahunan, penjualan kendaraan roda empat secara wholesales tahun 2024 mencatatkan angka sebesar 865.723 unit. Jumlah tersebut terpaut jauh jika menengok penjualan sepanjang tahun 2023 yang mencapai 1.005.802 unit.
Pengamat Otomotif, Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, turunnya jumlah penjualan mobil baru bakal berdampak besar apabila terjadi terus menerus secara konsisten di waktu mendatang.
"Untuk memahami keseluruhan dampak, sepertinya perlu kajian lanjutan dari laporan industri dan analisis para pemangku kepentingan. Tapi, secara hipotetis, jika penjualan mobil di Indonesia terus menurun, dampaknya akan meluas ke berbagai aspek industri," ujarnya saat dihubungi kabarbursa.com belum lama ini.
Dampak dari turunnya produktivitas penjualan kendaraan roda empat bakal berpengaruhke tingkat produksi manufaktur otomotif di dalam negeri. Kondisi ini bakal berbahaya bagi para pelaku industri otomotif hingga para pekerja di bidang tersebut.
"Produsen bisa mengurangi volume produksi atau bahkan menutup lini produksi, yang berujung pada potensi PHK, pengurangan jam kerja, dan perekrutan yang tertahan. Selain itu,, investasi jangka panjang juga terancam, termasuk penundaan atau pembatalan ekspansi," jelas Yannes.
Selain itu, industri pendukung otomotif semisal suku cadang juga jelas bakal terancam apabila penjualan kendaraan terus mengalami penurunan.
"Industri komponen tier 1 sampai 3 akan terdampak langsung karena menurunnya permintaan, memicu tekanan finansial. Jaringan dealer juga menghadapi risiko penurunan profitabilitas hingga konsolidasi," kata Akademisi dari Institut Teknologi Bandung tersebut.
Efek lainnya, kata dia, performa kredit kendaraan juga ikut menerima dampak negatif dari berkurangnya penjualan kendaraan di dalam negeri.
"Sektor pembiayaan otomotif pun akan semakin rawan dengan meningkatnya NPL (Non Performing Loan) dan pengetatan kredit. Negara juga dapat kehilangan potensi penerimaan pajak seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan pajak kendaraan lainnya," imbuh Yannes.
Menurutnya, solusi inti atas ancaman bisnis tersebut yaitu perbaikan ekonomi bagi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
"Situasi di atas sangat kompleks. kuncinya saya baru terpikir satu, yaitu pulihkan pertumbuhan ekonomi riil masyarakat," pungkas Yannes.
Di samping itu, masyarakat kelas menengah yang menjadi konsumen terbesar di sektor otomotif juga perlu diperhatikan. Sebab angka kelas menengah kini terus menurun jumlahnya.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia tahun 2019 berjumlah 57,33 juta orang. Sedangkan pada 2024 angkanya merosot menjadi 47,85 juta orang.
Potensi Mobil Listrik
Elektrifikasi kendaraan dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengerek kelesuan di sektor otomotif.
Seperti diketahui, tarif baru yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diprediksi membuat ekspor kendaraan ke AS tersendat karena penurunan demand.
Penurunan permintaan ini terjadi karena harga kendaraan yang dikirim dari Indonesia ke AS melonjak karena tarif tinggi.
Agar dapat menyiasati kelesuan pasar ekspor, pemerintah dan pemain di industri otomotif dituntut mencari alternatif lain, yakni dengan mencari pasar baru yang lebih potensial dibandingkan AS dan menggiatkan elektrifikasi.
Yannes memandang, menggiatkan pasar kendaraan setrum adalah salah satu solusi yang efektif mengingat pasar domestik sedang gandrung dengan mobil setrum karena dinilai lebih irit dibandingkan konvensional.
Ia menyampaikan bahwa apabila ekspor kendaraan hanya bergantung pada pasar Amerika Serikat, maka industri otomotif di Indonesia akan menghadapi tantangan berat.
Penurunan permintaan dari pasar AS dipastikan akan berdampak pada menurunnya angka penjualan.
"Transisi ke EV juga menawarkan peluang pertumbuhan baru. Produsen di dalam negeri yang berfokus pada ekspor ke AS akan menghadapi potensi penurunan permintaan dari importir AS. Ini karena harga yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan volume penjualan,” kata Yannes.
Berdasarkan data GAIKINDO, penjualan mobil listrik nasional mengalami lonjakan sebesar 34,45 persen selama periode 2020 hingga 2024. Pada tahun 2020, hanya tercatat 125 unit mobil listrik terjual, namun meningkat drastis menjadi 43.188 unit pada 2024. Capaian ini membuat mobil listrik menyumbang 4,98 persen dari total penjualan mobil baru di Indonesia.(*)