KABARBURSA.COM - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berencana menerapkan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di jalan Jakarta.
Penerapan ERP di Jakarta bertujuan untuk menuntaskan berbagai masalah seperti mengurangi kemacetan lalu lintas, mendorong masyarakat beralih menggunakan transportasi massal sekaligus mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, hingga menambah sumber pendapatan daerah untuk dialihkan ke subsidi transportasi umum.
Wacana ERP di Jakarta didukung sejumlah pihak, salah satunya Pemerhati Transportasi Muhammad Akbar. Ia bilang, ERP sebagai suatu sistem yang sudah diterapkan di negara maju semisal Singapura, memiliki sejumlah manfaat positif.
Selain itu Akbar menilai, ERP punya sistem yang baik dan sifatnya fleksibek, transparan, dan dapat meningkatkan pendapatan fiskal.
"Pertama sistem ini adil dan transparan. Prinsip dasarnya sederhana, siapa yang menggunakan jalan, dia yang membayar. Setiap kendaraan yang melintasi kawasan ERP dikenakan tarif tertentu. Sistem ini berbasis teknologi, menggunakan sensor dan kamera otomatis. Sehingga proses pencatatan dan penarikan tarif berlangsung secara objektif, akurat, dan tidak bisa dimanipulasi secara manual," bukanya dalam keterangan resmi yang dikutip, Kamis 19 Juni 2025.
Hal inilah yang membuat ERP dinilai lebih transparan dibandingkan kebijakan pembatasan lalu lintas konvensional, seperti ganjil genap yang memiliki celah untuk diakali para pemilik kendaraan pribadi.

Kedua, Akbar menyebut bahwa ERP bersifat fleksibel, karena tidak mutlak melarang kendaraan melintas. Artinya pengendara tetap bisa melewati ruas jalan berbayar kapan saja, asalkan bersedia membayar tarif yang ditetapkan.
"Jadi, berbeda dengan sistem ganjil genap yang membatasi berdasarkan hari dan nomor pelat, ERP memberikan pilihan. Dengan cara ini, pengaturan lalu lintas menjadi lebih adil dan tidak kaku. Ini memberi kebebasan sekaligus tanggung jawab pada pengendara," ucapnya.
Berikutnya, pengaplikasian ERP di Jakarta dapat memberikan manfaat fiskal untuk memperluas layanan transportasi publik, menyubsidi tarif angkutan umum agar tetap terjangkau bagi masyarakat, sampai memperbaiki infrastruktur jalan serta halte transportasi massal.
"Dengan begitu, ERP tidak hanya membatasi kendaraan pribadi, tapi juga investasi untuk mobilitas Jakarta yang lebih baik," kata Akbar.
Menurutnya, Jakarta sudah terbilang sangat siap untuk ERP. Namun ia juga melihat masih adanya keraguan akan sistem ini untuk menuntaskan permasalahan di lalu lintas Jakarta. Padahal, jika melihat dari berbagai aspek, wilayah Ibu Kota sudah mumpuni dilaksanakan jalan berbayar tersebut.
Akbar juga menyebutkan setidaknha tiga alasan mengapa Jakarta membutuhkan ERP.
"Pertama, dasar hukum sudah jelas, ERP bukan wacana tanpa payung hukum. Aturannya sudah tercantum dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta diperkuat oleh Peraturan Pemerintah tentang manajemen dan rekayasa lalu lintas. Artinya, secara regulasi, tidak ada lagi alasan untuk menunda," jelasnya.
ERP sendiri, sudah tercantum dalam Raperda Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE) dengan rencana penerapan setiap hari mulai pukul 05.00 WIB sampai 22.00 WIB.
ERP bakal menyasar kendaraan pribadi terkecuali sepeda listrik, kendaraan umum dengan pelat nomor kuning, kendaraan dinas operasional instansi pemerintah, kendaraan dinas TNI atau Polri selain pelat hitam, kendaraan diplomatik negara asing, ambulans, mobil jenazah, sampai mobil pemadam kebakaran.
Berikutnya untuk faktor kedua, infrastruktur transportasi, Jakarta juga dinilai Akbar sudah siap mendukung penyelenggaraan ERP.
"Kota ini telah memiliki jaringan transportasi yang terus berkembang, mulai dari MRT, LRT, TransJakarta, hingga JakLingko. Seluruh moda ini terintegrasi, baik secara fisik melalui titik-titik simpul perpindahan, maupun secara tarif melalui sistem pembayaran yang lebih praktis dan menyatu," paparnya.
"Ketiga, dari sisi teknologi, kesiapan Jakarta juga tak bisa dianggap remeh. Kita sudah terbiasa dengan pembayaran nontunai, baik untuk transportasi umum maupun transaksi harian lainnya. Kamera pengawas dan perangkat berbasis sensor juga sudah mulai digunakan untuk memantau lalu lintas secara real time. Teknologi ini bisa dengan mudah diadaptasi untuk mendukung sistem ERP, mulai dari deteksi kendaraan hingga pencatatan transaksi secara otomatis," sambung Akbar.
Namun ia menggaris bawahi, faktor teknis yang telah mendukung ERP di Jakarta tersebut masih memiliki kendala, utamanya dari faktor politik dan sosial. Artinya pihak regulator kudu berani mengambil tindakan pelaksanaan ERP berdasarkan kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan.
Pihak-pihak yang Berpotensi Kontra dengan ERP
Akbar kemudian mencatat sejumlah pihak yang mungkin merasa terberatkan jika ERP terealisasikan di Jakarta.
"Siapa yang Mungkin Menolak ERP? Seperti halnya kebijakan publik lainnya, penerapan ERP tentu tidak bebas dari penolakan. Beberapa kelompok ini mungkin akan paling vokal menyuarakan keberatan," imbuhnya.
Pemilik mobil pribadi dari kelas menengah ke atas, disinyalir jadi salah satu pihak yang mungkin menolak ERP.
"Mereka merasa sudah membayar pajak kendaraan dan BBM. Bagi mereka, tarif ERP dianggap sebagai pajak ganda yang tidak adil, seolah harus membayar dua kali hanya untuk bisa menggunakan jalan yang sama," kata Akbar.
Kedua yakni, pengemudi ojek online (Ojol) dan pengusaha logistik kecil. Akbar memandang, jika ERP juga diberlakukan untuk sepeda motor atau kendaraan niaga ringan, akan memengaruhi biaya operasional. Selain itu para politisi disebutkan juga berpotensi menolak kehadiran ERP di Jakarta.
"Bagi kelompok ini, tambahan beban biaya bisa menggerus profit harian yang sudah tipis.
Ketiga, politisi yang takut kehilangan suara. Penolakan dari kelompok ini biasanya muncul karena kekhawatiran akan risiko elektabilitas, mereka cenderung menghindari kebijakan tidak populer. Mereka khawatir dukungan publik menurun jika terlihat mendukung kebijakan yang dianggap membebani rakyat," ucap Akbar.
"Padahal kebijakan seperti ERP, berpihak pada kepentingan jangka panjang kota dan warganya secara keseluruhan," lanjutnya menambahkan.
Bukan cuma itu, Akbar menyebut bahwa sebagian masyarakat umum yang belum mendapatkan informasi yang utuh tentang tujuan dan mekanisme ERP dinilai akan kontra terhadap kebijakan tersebut.
Alasannya, kelompok ini rentan terpengaruh oleh narasi yang menyesatkan, seperti anggapan bahwa masyarakat sudah bayar pajak kendaraan, jadi tidak seharusnya dikenai biaya lagi saat menggunakan jalan.
"Ada juga yang mengira kebijakan ini akan membuat semua kebutuhan jadi lebih mahal, atau bahkan ini sekadar akal-akalan pemerintah untuk mencari uang dari rakyat. Tanpa edukasi publik yang memadai, kesalah pahaman semacam ini bisa menyebar luas dan memicu penolakan terhadap kebijakan yang sebenarnya dirancang untuk kepentingan bersama," tandasnya.
Maka dari itu, pengamat tersebut mendorong agar Pemerintah hadir untuk lebih menjelaskan bahwa ERP bukanlah pajak tambahan, melainkan mekanisme pengelolaan ruang jalan yang adil, di mana biaya kemacetan tidak lagi ditanggung bersama, tetapi oleh masyarakat yang memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi untuk bermobilitas di Jakarta.
Akbar menambahkan, tindakan kontra yang bisa muncul dari sejumlah pihak tersebut menjadi PR bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Dengan pendekatan komunikasi yang jujur dan empatik, penolakan bisa diubah menjadi dukungan. Pada akhirnya, ERP ini bukan untuk menghukum pengendara, tapi untuk menyelamatkan masa depan kota Jakarta yang kita tinggali bersama. Perubahan selalu ditakutkan pada awalnya, tapi bisa diterima ketika manfaatnya terlihat jelas," pungkasnya.
Dampak ERP Bagi Permintaan Kendaraan
Sementara itu, Budi Darmawan selaku Sales Director PT Chery Sales Indonesia juga telah mengutarakan adanya rencana ERP di Jakarta.
Ia mengatakan, pelaksanaan ERP bakal berimbas dalam permintaan mobil baru bagi konsumen, khususnya kalangan menengah ke atas.
"Kalau hal ini benar diterapkan, mungkin saja tergantung seberapa besarannya. Kalau misalnya cukup signifikan, orang akan berpikir dari sisi ekonomisnya, mana yang lebih efisien. Karena biar bagaimanapun kebutuhan mobil itu bukan semata biayanya tapi kepraktisannya," ucapnya kepada media di Jakarta, Selasa 17 Juni 2025.
Budi beranggapan, dampak ERP di jalanan Jakarta bakal mirip dengan operasional jalan tol yang memiliki biaya untuk bisa mengaksesnya.
"Tentunya kembali lagi kita menyikapi ke pemerintah seperti apa? Itu sebenarnya sama kayak penerapan jalan tol cuma sekarang di jalan-jalan biasa. Jadi tergantung kebutuhannya," tutup Budi.(*)