KABARBURSA.COM — Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika, Edy Priyono, menilai perekonomian Indonesia tengah memasuki fase involusi, konsep yang dipopulerkan Clifford Geertz pada 1963 untuk menggambarkan kondisi bergerak tanpa kemajuan.
“Involusi dapat dianalogikan dengan jalan di tempat. Bergerak, tapi tidak maju. Tidak juga mundur,” ujar Edy Priyono dalam keterangannya Senin 17 November 2025.
Ia menjelaskan bahwa fenomena tersebut pertama kali dipotret Geertz pada sektor pertanian tanaman pangan di Jawa, ketika produksi meningkat namun produktivitas per pekerja tidak bertambah karena jumlah tenaga kerja yang berlebih.
“Pertanian tidak mampu menyejahterakan pekerjanya, hanya mampu membuat mereka bertahan hidup sekadarnya,” kata Edy.
Menurut Edy, pola serupa saat ini muncul lagi di pertanian Indonesia. Data BPS menunjukkan 82% petani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare, dengan jumlah petani gurem meningkat dari 14,25 juta rumah tangga (2013) menjadi 16,89 juta (2023). Di saat bersamaan, jumlah pekerja pertanian naik menjadi 40,67 juta orang pada Februari 2025, sementara luas baku sawah justru menyusut 79.500 hektare selama 2019–2024.
Akibatnya, kesejahteraan buruh tani tetap rendah. Rata-rata upah pekerja pertanian hanya Rp2,4 juta per bulan, di bawah rata-rata nasional Rp2,84 juta. “Para petani, khususnya tanaman pangan, tetap hidup pas-pasan. Tidak berbeda dengan yang ditemukan Geertz pada tahun 1963,” ujarnya.
Lebih lanjut, gejala involusi kini meluas hingga ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Pada Februari 2025, 59,4% pekerja atau 86,6 juta orang masuk kategori pekerja informal, buruh tani, pedagang kecil, buruh lepas, pekerja rumah tangga, hingga pekerja keluarga.
“Mayoritas dari mereka hanya mampu bertahan hidup, tidak mampu naik kelas menjadi pekerja atau pelaku usaha formal,” kata Edy.
Struktur usaha nasional juga menunjukkan pola involusi yang sama. Data 2024 mencatat UMKM mencapai 64,2 juta unit, dengan 99,9% di antaranya adalah usaha mikro. Kondisi ini memperlihatkan dominasi usaha berskala sangat kecil, sementara usaha menengah nyaris tidak tumbuh (missing middle).
Edy menilai masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mendorong legalisasi usaha. “Memiliki izin usaha tidak lantas usaha mikro meningkat kinerja dan mampu menyejahterakan pekerjanya,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa banyak usaha mikro justru menemui hambatan struktural ketika mulai bertumbuh. “Maraknya pungutan liar sangat membebani usaha mikro,” kata Edy.
Edy menegaskan bahwa esensi pembangunan ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan, baik melalui jalur pekerja maupun jalur usaha. Untuk itu, menurutnya perlu dua langkah besar.
Pertama, memperluas sektor formal melalui penciptaan lapangan kerja baru. “Persentase pekerja formal harus ditingkatkan melalui investasi baru, khususnya di lapangan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja,” tambahnya.
Kedua, mendorong usaha mikro agar benar-benar naik kelas. Edy menilai kebijakan sertifikasi, perizinan, dan kredit usaha rakyat (KUR) perlu dikoreksi.
“KUR harus dievaluasi dan diperbaiki implementasinya agar benar-benar digunakan hanya untuk keperluan usaha, bukan untuk konsumsi,” kata Edy.
Menurutnya, tanpa reformasi struktural tersebut, gejala involusi ekonomi Indonesia akan terus berlanjut, membuat perekonomian tampak sibuk tetapi tidak benar-benar bergerak maju.(*)