KABARBURSA.COM — Pengamat Ekonomi, Mata Uang & Komoditas, Ibrahim Assuaibi, menilai pasar keuangan global sedang berada pada fase penuh kehati-hatian akibat sinyal bahwa Federal Reserve (The Fed) belum akan melonggarkan kebijakan moneternya dalam waktu dekat.
“Investor semakin yakin bahwa Federal Reserve kemungkinan besar tidak akan melonggarkan kebijakan dalam waktu dekat,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Senin 17 November 2025.
Ia menekankan bahwa beberapa pejabat The Fed juga menyampaikan inflasi masih tinggi dan pasar tenaga kerja belum melemah signifikan.
Sentimen pasar tertekan oleh penghentian rilis data ekonomi selama berminggu-minggu akibat penutupan pemerintah AS, yang menunda laporan penting seperti non-farm payroll September. Data tersebut baru akan dirilis pada Kamis. Hari ini, para pedagang juga menantikan isyarat tambahan dari pidato pejabat The Fed: John Williams, Philip Jefferson, Neel Kashkari, dan Christopher Waller.
Gejolak Geopolitik Tambah Tekanan
Di sisi lain, pasar minyak menghadapi ketidakpastian setelah Ukraina menyerang Novorossiysk dan terminal Konsorsium Pipa Kaspia (CPC) yang sempat menghentikan ekspor sekitar 2 persen pasokan global.
Ibrahim menjelaskan situasinya tetap sensitif meski aktivitas pemuatan minyak sudah kembali terlihat. “Meskipun dimulainya kembali pemuatan membantu meredakan krisis pasokan, pasar tetap berhati-hati,” katanya.
Serangan lanjutan Ukraina terhadap kilang Ryazan dan Novokuibyshevsk Rusia turut menimbulkan kekhawatiran gangguan jangka panjang.
BI Proyeksikan Pertumbuhan 2026 di 5,33 Persen
Dari dalam negeri, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 mencapai 5,33 persen, lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN 2026 sebesar 5,4 persen. Proyeksi BI disusun dengan mempertimbangkan kebijakan moneter yang akan ditempuh untuk menjaga stabilitas.
BI tetap optimistis target pemerintah masih mungkin tercapai apabila realisasi belanja negara dapat dipercepat. Sementara itu, BI memperkirakan inflasi 2026 berada di 2,62 persen, masih dalam sasaran bank sentral di kisaran 2,5 persen ± 1 persen, meski sedikit lebih tinggi dari asumsi APBN sebesar 2,5 persen.
Berbeda dengan BI, Menteri Keuangan menyampaikan optimismenya bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2026 dapat mencapai 6 persen (yoy). Optimisme ini didasari pada sejumlah indikator pemulihan ekonomi menjelang akhir 2025. Pemerintah menilai fondasi ekonomi Indonesia mulai membaik, terlihat dari kuartal IV/2025 yang diperkirakan dapat tumbuh di atas 5,5 persen.
Selain itu, indeks penjualan ritel pada September mencatat pertumbuhan 3,7 persen dan diproyeksikan meningkat menjadi 4,3 persen pada Oktober. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur juga berada pada level ekspansif 51,2 pada Oktober, menguat dibanding September yang berada di 50,4. Pemerintah melihat tren ini sebagai dasar bahwa momentum pemulihan makin solid dan dapat mendorong pencapaian pertumbuhan 6 persen pada 2026.
Dari pasar valuta asing, rupiah bergerak terbatas namun masih di zona pelemahan. Pada perdagangan sore ini, rupiah ditutup melemah 29 poin ke Rp16.736, setelah sebelumnya sempat merosot hingga 40 poin dari posisi penutupan kemarin di Rp16.707.
Untuk awal pekan depan, Ibrahim memperkirakan rupiah akan tetap bergerak sensitif terhadap sentimen global.
“Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.730–Rp16.770,” ujarnya.(*)