KABARBURSA.COM – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, menanggapi santai kebijakan Amerika Serikat yang menaikkan tarif impor terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Menurutnya, langkah ini bukan sesuatu yang perlu ditanggapi secara reaktif, tetapi justru menjadi momentum untuk memperkuat strategi ekonomi nasional melalui hilirisasi dan optimalisasi sektor energi.
“Kita tahu, dalam 1-2 minggu terakhir ini hampir setiap hari kita membaca berita soal kenaikan tarif perdagangan oleh Amerika. Dan Indonesia termasuk yang dikenakan tarif sebesar 32 persen. Tapi saya bilang, ini biasa aja. Jangan ditanggapi seperti dunia mau kiamat,” ujar Bahlil saat memberikan sambutan dalam acara halal bihalal Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Rabu, 17 April 2025.
Menurut Bahlil, strategi seperti ini sudah menjadi pola lama dalam diplomasi perdagangan global.
“Kalau kita ingin ajak orang kompromi tapi dia nggak mau datang, ya kita bikin gerakan tambahan. Itu yang dilakukan Amerika sekarang. Dan itu sah-sah saja,” katanya.
Neraca Dagang Defisit, Sektor ESDM Bisa Jadi Penyeimbang
Bahlil menyebut bahwa berdasarkan data BPS yang sudah dikonfirmasi ke Kementerian Perdagangan, neraca dagang Indonesia terhadap Amerika masih defisit sekitar USD14,6 miliar pada tahun 2024.
Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi penyeimbang untuk memperkecil defisit tersebut. Salah satunya melalui sektor ESDM.
“Kami sudah lapor ke Presiden. Kita bisa geser dari sektor ESDM untuk menambah devisa 10 sampai 14 miliar USD, salah satunya dari pembelian LPG dan cloth dari Amerika,” aku Bahlil.
Lebih lanjut, strategi ini bisa dilakukan tanpa harus mengubah regulasi fundamental yang sudah baik, termasuk kebijakan hilirisasi dan industrialisasi.
Menteri ESDM ini juga merespons wacana menjadikan mineral kritis Indonesia sebagai alat tawar dalam kerja sama dagang dengan Amerika. Menurutnya, ini bukan ancaman, tapi peluang.
“Kita harus membuka diri. Critical mineral bukan alat tekanan, tapi bisa jadi bagian dari kerja sama bilateral kita. Kita senang kalau bisa membawa mineral itu ke meja dialog internasional,” jelasnya.
Hilirisasi Tetap Kunci Pertumbuhan Ekonomi
Lebih jauh, Bahlil menegaskan bahwa untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, bahkan hingga 8 persen, Indonesia butuh strategi besar yang komprehensif. Salah satunya adalah hilirisasi.
“Hilirisasi itu jadi program utama Presiden, dan ini bukan cuma soal nilai tambah ekonomi, tapi juga bagian dari strategi besar memperkuat daya saing bangsa di tengah dinamika global,” tegas Bahlil.
Dengan pendekatan yang lebih tenang dan terstruktur, Bahlil berharap pelaku usaha dan masyarakat tidak panik menghadapi gejolak geopolitik dan tekanan dagang eksternal.
“Yang penting, kita tahu arah kita ke mana, dan kita jalankan strategi kita dengan konsisten,” pungkasnya.
Tarif Trump Bikin Ambles Perdagangan
Perdagangan barang lintas negara diprediksi bakal melempem tahun ini. Bukan cuma lesu biasa, tapi bisa benar-benar jeblok kalau Presiden Donald Trump jadi mengeksekusi rencana tarif impor yang sempat ditunda. Badan Perdagangan Dunia (WTO) menyebut ancamannya bukan cuma dari kebijakan Amerika Serikat, tapi dari efek domino ketidakpastian dagang yang bisa menjalar ke seluruh dunia.
Dalam laporan proyeksi semesterannya, WTO menyebut ekspor dan impor barang secara global diperkirakan akan turun 0,2 persen tahun ini akibat lonjakan tarif yang sudah berlaku per 14 April—baik di AS maupun dari negara-negara yang membalas kebijakan itu. Padahal sebelumnya, WTO memperkirakan perdagangan global akan tumbuh sebesar 2,7 persen.
Kalau rencana tarif baru yang diumumkan AS pada 2 April (namun ditunda selama 90 hari) jadi diberlakukan, angka penurunannya bisa lebih dalam lagi: turun 0,8 persen. Dan jika ketidakpastian soal arah kebijakan dagang meluas ke negara-negara lain seperti halnya kepercayaan yang mulai luntur terhadap AS, WTO memperkirakan perdagangan bisa anjlok sampai 1,5 persen.
Penurunan sebesar itu bukan hal biasa. Menurut WTO, sepanjang abad ini, penurunan tajam dalam skala global hanya terjadi dua kali, yakni saat pandemi Covid-19 tahun 2020 dan ketika krisis keuangan global melanda pada 2009.
“Kami memang memusatkan perhatian pada ketidakpastian hubungan dagang Amerika Serikat. Tapi, bagaimana jika ketidakpastian itu menyebar ke seluruh dunia karena kepercayaan makin tipis?” ujar Kepala Ekonom WTO, Ralph Ossa, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.
Ossa menyebut salah satu ancaman terbesar adalah apa yang disebut trade diversion. Misalnya, kalau produsen China mendapati permintaan dari AS menurun karena barangnya jadi lebih mahal akibat tarif, mereka akan cari pasar baru—kemungkinan dengan menurunkan harga.
Kalau itu terjadi, Eropa dan negara lain bisa jadi bakal membentengi diri dari banjir barang murah asal China, membuka babak baru dalam konflik dagang global. WTO memperkirakan ekspor China ke pasar non-AS bakal naik antara 4 sampai 9 persen tahun ini, dengan ekspor ke Uni Eropa saja diproyeksikan naik 5,8 persen.
Namun lonjakan ini bisa jadi pisau bermata dua. Beberapa industri di negara tujuan ekspor bisa ketiban sial karena persaingan makin sengit, produksi lokal terpukul, dan potensi kehilangan pekerjaan pun membayang. Tekanan ke pemerintah untuk “bertindak” bisa saja makin besar.
Di sisi lain, wilayah yang paling terdampak adalah Amerika Utara. Jika tarif per 14 April tetap diberlakukan, ekspor kawasan ini diperkirakan anjlok 12,6 persen, sementara impor turun 9,6 persen. Kalau tarif dinaikkan lebih jauh, ya siap-siap saja penurunannya makin dalam.
Meski begitu, WTO masih melihat titik-titik cerah di Asia dan Eropa. Tapi, cerahnya tak secerah proyeksi awal. Ekspor Asia tahun ini diperkirakan tumbuh 1,6 persen, padahal sebelumnya diprediksi bisa tembus 3,2 persen sebelum Trump mulai mainkan pedal tarif.
Dampak Besar Terhadap Investor Indonesia
Ketidakpastian arah kebijakan perdagangan internasional, khususnya pasca pernyataan Donald Trump soal tarif impor, membawa implikasi langsung bagi investor Indonesia, terutama yang berfokus pada sektor ekspor, logistik global, dan manufaktur berorientasi luar negeri.
Dalam konteks ini, temuan Kyle Handley (2011) dalam makalah Exporting Under Trade Policy Uncertainty menjadi relevan. Melalui teori Ketidakpastian Kebijakan atau Policy Uncertainty tersebut, Ia menunjukkan bahwa dalam situasi ketidakpastian kebijakan perdagangan, perusahaan cenderung menunda ekspor karena khawatir biaya awal yang dikeluarkan—seperti investasi produksi dan distribusi—akan sia-sia bila kondisi pasar memburuk akibat perubahan tarif mendadak. Dengan kata lain, ketidakpastian itu sendiri menciptakan friksi ekonomi yang membuat pelaku usaha memilih menunggu kepastian, alih-alih berekspansi.
Penerapannya terhadap situasi Indonesia cukup jelas. Emiten-emiten ekspor seperti di sektor tekstil, otomotif, elektronik, dan komoditas primer berpotensi mengalami perlambatan permintaan dari negara mitra, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Tekanan terhadap pendapatan berisiko menurunkan valuasi saham dan memperlemah prospek pertumbuhan emiten tersebut di mata investor.
Di sisi lain, investor institusional yang biasa masuk ke pasar negara berkembang cenderung bersikap defensif saat ketidakpastian kebijakan meningkat. Hal ini dapat mendorong arus keluar dana asing dari pasar modal Indonesia dan menekan indeks harga saham gabungan (IHSG) di sektor manufaktur dan logistik.
Risiko lainnya adalah transmisi tekanan global ke nilai tukar rupiah. Jika eskalasi perang dagang meluas dan memicu kekhawatiran terhadap stabilitas global, investor cenderung memindahkan portofolio ke aset aman (safe haven) yang berdampak pada pelemahan rupiah dan kenaikan biaya lindung nilai bagi investor domestik.
Secara umum, bagi investor pasar modal, ketidakpastian kebijakan perdagangan internasional bukan hanya memengaruhi sentimen jangka pendek, tetapi juga dapat mengubah arah alokasi portofolio, baik dari sisi sektor maupun geografis. Investor yang memegang aset berbasis ekspor perlu mewaspadai risiko penurunan permintaan global dan potensi beban tarif baru di pasar tujuan.(*)