KABARBURSA.COM - Bank Dunia merilis serangkaian pembaruan garis kemiskinan internasional yang secara signifikan mengubah peta kemiskinan global, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan standar tersebut, mayoritas rakyat Indonesia kini masuk kategori miskin, terutama jika mengacu pada garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas (UMIC), kelas yang baru saja disandang Indonesia pada 2023.
Berdasarkan data 2024 yang dihitung menggunakan garis kemiskinan ekstrem internasional baru sebesar USD3,00 per hari atau setara Rp48.810,00 (asumsi kurs Rp16.270,00). Sebanyak 5,4 persen penduduk Indonesia tergolong miskin.
Namun, jika menggunakan tolok ukur garis kemiskinan negara berpendapatan menengah bawah (LMIC) sebesar USD4,20 per hari atau setara Rp68.334,00. Angka tersebut melonjak menjadi 19,9 persen.
Ketika dihitung dengan standar UMIC yang lebih tinggi, yaitu USD8,30 per hari atau Rp135.041,00. Sekitar 68,3 persen penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Bank Dunia menjelaskan bahwa garis kemiskinan ini bukan dimaksudkan untuk menggantikan pengukuran nasional, melainkan sebagai alat untuk membandingkan standar hidup antarnegara.
“Garis-garis ini dirancang untuk membandingkan negara-negara terhadap standar global dan memantau kemajuan pengurangan kemiskinan di seluruh dunia,” tulis Bank Dunia dalam rilisnya, Minggu, 15 Juni 2025.
Meski demikian, realitas bahwa lebih dari dua pertiga warga Indonesia diklasifikasikan miskin menurut standar UMIC menunjukkan tantangan besar yang dihadapi dalam menjaga kualitas hidup masyarakat seiring dengan status baru sebagai negara berpendapatan menengah atas.
Ditegaskan oleh Bank Dunia, sebagian besar negara melihat perbedaan signifikan dalam tingkat kemiskinan mereka berdasarkan definisi yang baru.
Garis kemiskinan internasional ini ditetapkan berdasarkan rata-rata garis kemiskinan nasional negara-negara di kelompok pendapatan tertentu. Untuk UMIC, garis ini dipatok pada sekitar Rp1.512.000 per orang per bulan, jauh di atas garis kemiskinan nasional Indonesia yang hanya Rp546.400 per bulan (mengacu pada ekstrem internasional) atau bahkan lebih rendah untuk wilayah pedesaan.
Pihak Bank Dunia mengingatkan bahwa meskipun metode pengukuran berbeda, keduanya tetap penting. “Garis kemiskinan nasional Indonesia tetap menjadi ukuran yang paling relevan untuk pembahasan kebijakan di tingkat nasional, sementara pengukuran kemiskinan global yang baru dimaksudkan untuk membandingkan Indonesia dengan negara lain,” demikian isi laporan tersebut.
Garis kemiskinan nasional Indonesia yang ditentukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional pada September 2024 sebesar 8,57 persen. Namun, standar ini ditetapkan secara lokal dan bervariasi antara wilayah perkotaan dan pedesaan, dengan tujuan utama untuk perumusan kebijakan dan distribusi bantuan sosial secara lebih tepat sasaran.
Pembaruan garis kemiskinan internasional tahun ini juga dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, adanya peningkatan garis kemiskinan nasional oleh banyak pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, yang mencerminkan ambisi baru dalam menetapkan standar hidup minimum.
Kedua, adanya perubahan kecil dalam biaya hidup global. Kombinasi keduanya mendorong kenaikan signifikan dalam garis kemiskinan internasional.
Bank Dunia menekankan bahwa kemajuan Indonesia yang stabil dalam mengurangi kemiskinan selama empat dekade terakhir tetap terlihat dalam garis kemiskinan terbaru ini menunjukkan bahwa perubahan klasifikasi ini tidak menghapus pencapaian historis Indonesia, namun memperlihatkan tantangan baru yang lebih kompleks.
Bank Dunia juga menyoroti bahwa Indonesia kini berada pada posisi yang sangat awal dalam kelompok UMIC. Dengan pendapatan nasional bruto per kapita sebesar USD4.810 pada 2023, Indonesia masih jauh dari batas atas kategori UMIC yang mencapai USD14.005. Konsekuensinya, ketika dibandingkan dengan sesama negara UMIC, standar hidup minimum yang menjadi tolok ukur kemiskinan akan jauh lebih tinggi dari realita ekonomi domestik.
“Dalam kebijakan nasionalnya, negara-negara UMIC cenderung lebih ambisius dalam mendefinisikan standar hidup minimum,” tulis Bank Dunia.
Hal inilah yang menyebabkan proporsi warga miskin Indonesia melonjak drastis jika memakai standar kelompok UMIC, ketimbang LMIC yang sebelumnya menjadi acuan.
Bank Dunia menegaskan bahwa publikasi statistik kemiskinan berdasarkan ketiga garis—ekstrem, LMIC, dan UMIC—tetap relevan, tidak hanya untuk negara yang berada di kelompok tersebut, tetapi juga untuk melihat posisi relatif terhadap negara lain. (*)