Logo
>

Bank Sentral Dunia Kian tak Percaya Dolar, Emas Jadi Andalan Baru

Survei World Gold Council menunjukkan mayoritas bank sentral global bakal menambah porsi emas dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Bank Sentral Dunia Kian tak Percaya Dolar, Emas Jadi Andalan Baru
Ilustrasi: WGC mencatat bank sentral terus akumulasi emas di tengah krisis global. Ketidakpercayaan pada dolar jadi sinyal arah baru cadangan devisa dunia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Bank-bank sentral di berbagai negara memproyeksikan porsi kepemilikan emas dalam cadangan devisa mereka akan meningkat dalam lima tahun mendatang, sementara cadangan dalam denominasi dolar AS justru diperkirakan menurun. Hal itu terungkap dalam survei terbaru yang dirilis oleh World Gold Council (WGC).

Permintaan emas dari bank sentral global melonjak dalam tiga tahun terakhir, bahkan di tengah reli harga emas yang terus mencetak rekor. Pada April lalu, harga emas menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah di level USD3.500,05 per ons atau naik 95 persen sejak Februari 2022—saat Rusia melancarkan invasi ke Ukraina.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, 17 Juni 2025, survei WGC yang dilakukan antara 25 Februari hingga 20 Mei 2025 ini melibatkan 73 bank sentral. Sebanyak 76 persen responden menyatakan akan menambah cadangan emas dalam lima tahun ke depan. Angka ini naik dari 69 persen pada survei tahun lalu.

Sebaliknya, hanya sekitar seperempat dari bank sentral yang memandang dolar AS masih akan menjadi tulang punggung cadangan devisa. Hampir tiga per empat responden justru memperkirakan porsi dolar akan menyusut dalam lima tahun ke depan, naik tajam dari 62 persen pada tahun lalu.

Dalam siaran persnya, WGC menjelaskan bahwa kinerja emas sebagai aset pelindung di tengah krisis, kemampuannya melakukan diversifikasi portofolio, serta perannya dalam mengantisipasi inflasi, menjadi alasan utama di balik tren akumulasi emas oleh bank-bank sentral.

WGC mencatat bahwa dalam tiga tahun terakhir, bank sentral telah menambah lebih dari 1.000 ton emas per tahun, jauh di atas rerata dekade sebelumnya yang hanya berkisar 400–500 ton per tahun.

“Percepatan akumulasi ini terjadi dalam konteks ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global yang kian tajam,” tulis WGC.

Sebanyak 95 persen responden juga menyatakan bahwa cadangan emas bank sentral secara global akan terus meningkat dalam 12 bulan ke depan. Ini menjadi angka tertinggi sepanjang sejarah survei, dan melampaui rekor tahun lalu yang tercatat di 81 persen. Survei juga menunjukkan bahwa Bank of England tetap menjadi lokasi penyimpanan emas yang paling populer di kalangan bank sentral dunia.

Isu perang dagang dan tarif juga ikut memengaruhi pengelolaan cadangan. Sebanyak 59 persen bank sentral menyebut konflik dagang sebagai faktor penting yang mereka perhitungkan. Persentase ini bahkan lebih tinggi di negara berkembang dan pasar berkembang (emerging markets), yakni mencapai 69 persen, dibandingkan hanya 40 persen pada negara-negara maju.

Goldman Sachs: Harga Emas bisa Tembus USD3.880 per Ons

Kendati harga emas sudah menyentuh rekor tertinggi, Goldman Sachs Research memperkirakan reli emas masih akan berlanjut hingga tahun depan. Dalam proyeksi terbarunya, lembaga riset bank investasi tersebut memprediksi harga emas akan naik hingga USD3.700 per troy ons pada akhir 2025, dari posisi USD3.220 pada 15 Mei lalu.

Lonjakan ini, menurut analis senior Goldman, Thomas, dipicu oleh akumulasi masif dari bank-bank sentral yang terus membeli emas dalam jumlah besar setiap bulannya.

Selain permintaan dari otoritas moneter, investor institusi seperti pemegang Exchange-Traded Fund (ETF) juga diperkirakan akan menambah kepemilikan emas. Mereka bersiap menghadapi potensi pemangkasan suku bunga dan meningkatnya kekhawatiran resesi global. Dalam skenario resesi, Goldman bahkan memperkirakan harga emas bisa melonjak hingga USD3.880 per ons.

Investor ritel dan privat juga mulai melirik emas sebagai alternatif diversifikasi portofolio—terutama dari aset-aset Amerika Serikat, seperti saham dan obligasi pemerintah. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, performa US Treasury sebagai pelindung portofolio saham cenderung melemah.

Thomas menegaskan meski bukan skenario utama, rotasi modal secara moderat dari aset AS ke emas bisa memberi dampak signifikan. Pasalnya, skala pasar emas masih jauh lebih kecil dibanding pasar keuangan AS. Sebagai gambaran, total kepemilikan global ETF emas saat ini hanya mewakili sekitar 1 persen dari nilai obligasi pemerintah AS yang beredar, dan hanya 0,5 persen dari kapitalisasi pasar S&P 500.

“Jika sebelumnya pembelian dari bank sentral menjadi pendorong utama sejak 2022, kini investor ETF juga mulai masuk ke pasar emas,” ujar Thomas dikutip dari laman Goldman Sachs. “Karena keduanya kini berebut emas fisik di pasar yang sama, kami memperkirakan harga emas akan terus naik lebih jauh.”(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).