KABARBURSA.COM - Ekonom senior Chatib Basri mengingatkan perusahaan financial technology (fintech) untuk menerapkan strategi path to profitability di tengah proyeksi tingkat suku bunga yang diperkirakan tetap tinggi hingga akhir tahun.
“Kita mungkin berhadapan dengan kondisi di mana tingkat bunga masih akan relatif tinggi sampai dengan akhir tahun, dan ini punya dampak kepada industri fintech. Dalam kondisi seperti ini, cost of fund akan menjadi relatif mahal. Maka, mau tidak mau setiap perusahaan fintech harus menerapkan strategi path to profitability,” ujar Chatib dalam keterangan di Jakarta, Minggu 11 Agustus 2024.
Chatib mencontohkan keberhasilan India dalam melakukan technology diffusion yang menjadikan teknologi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Menurutnya, India memiliki kemiripan dengan Indonesia, terutama dalam hal jumlah penduduk yang besar, demokrasi yang dinamis, dan tantangan birokrasi.
“Dalam konteks ini, peran dari Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menjadi sangat krusial untuk meningkatkan produktivitas dan inklusi keuangan,” tambah Chatib, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan periode 2013-2014.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pembiayaan fintech peer-to-peer (P2P) lending pada Juni 2024 meningkat 26,73 persen secara year on year (yoy), dengan total mencapai Rp66,79 triliun. Tingkat risiko kredit macet (TWP90) di industri fintech P2P lending terjaga pada level 2,79 persen, menurun dari posisi Mei 2024 sebesar 2,91 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman menyatakan bahwa pertumbuhan tersebut merupakan hasil kerja keras ekosistem industri dalam menjaga keberlanjutan jangka panjang.
Agusman juga menambahkan bahwa OJK mendukung upaya industri fintech untuk mencari branding baru guna menggantikan istilah "pinjol" yang sering kali dikonotasikan negatif oleh masyarakat. Padahal, fintech berperan penting dalam membantu perekonomian dan sektor keuangan dengan menyediakan akses pinjaman kepada masyarakat akar rumput.
Menanggapi tantangan dan peluang di masa depan, AFPI menggelar “AFPI CEO Forum 2024” pada Selasa (6/8) di Jakarta. Forum tersebut berhasil menjadi wadah bagi para pelaku industri fintech lending untuk membahas berbagai permasalahan, dengan dihadiri oleh pihak regulator serta kementerian dan lembaga terkait.
Dalam forum tersebut, salah satu poin penting yang dibahas adalah komitmen bersama untuk memberantas praktik pinjaman online ilegal serta meningkatkan literasi keuangan di kalangan masyarakat.
Konsumen Fintech Cek Legalitas
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan, berdasarkan Survei CELIOS 2024, mayoritas konsumen fintech masih memeriksa legalitas perusahaan fintech melalui situs web regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Survei tersebut menunjukkan bahwa 40 persen responden mencari daftar platform berizin di situs web regulator, 22,1 persen memeriksa nama perusahaan di cekfintech.id, dan 20,4 persen memeriksa lewat berita.
“Masih ada 17 persen yang memeriksa melalui mesin pencari,” kata Bhima dalam Seminar Nasional ‘Pengembangan dan Penguatan Ekosistem Keuangan Digital Indonesia’ di Jakarta, Senin 22 Juli 2024.
Bhima mengingatkan bahwa pemeriksaan legalitas melalui mesin pencari (search engine) harus diwaspadai. Seringkali, hasil pencarian teratas mengenai fintech yang bermasalah karena didorong oleh optimasi mesin pencari (SEO).
“Top search engine sering kali menampilkan berita negatif tentang fintech. Oleh karena itu, Asosiasi Fintech (AFTECH) perlu memperbanyak berita positif tentang fintech yang produktif. Engangement dengan media massa harus lebih baik,” tegasnya.
Bhima juga menyoroti hasil survei yang menunjukkan bahwa konsumen hanya memiliki waktu kurang dari 2 jam untuk memutuskan melakukan transaksi keuangan melalui fintech, mencerminkan rendahnya literasi keuangan digital.
Sebanyak 31 persen responden membutuhkan waktu analisis 2-4 jam, 12 persen responden lebih dari 9 jam, dan 9 persen responden membutuhkan waktu 4-9 jam untuk memutuskan bertransaksi lewat layanan fintech.
“Bagaimana bisa memahami ketentuan dan mempelajari legalitas jika rata-rata waktu yang digunakan di bawah 2 jam? Promosi menarik seperti tawaran fintech P2P lending dengan bunga rendah sering kali menarik perhatian. Namun, konsumen perlu memahami denda keterlambatan yang mahal atau legalitas yang perlu dipelajari lebih detail. Ini menjadi salah satu tantangan literasi keuangan digital kita,” ungkapnya.
Kredit yang diberikan hanya dalam bentuk pinjaman (loans), dan tidak termasuk instrumen keuangan seperti surat berharga (debt securities), tagihan akseptasi (banker’s acceptances), dan tagihan repo.
Selain itu, kredit yang diberikan tidak termasuk kredit oleh kantor bank umum yang berkedudukan di luar negeri serta kredit yang disalurkan kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk.
Alami Penurunan
Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer to peer (P2P) lending mencatat kerugian Rp27,3 miliar pada Maret 2024. Catatan kerugian ini terus mengalami penurunan sejak Januari.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan kerugian pada Januari (Rp135,57 miliar) dan Februari (Rp97,53 miliar). Ia berharap industri fintech P2P lending dapat kembali mencetak laba pada triwulan II 2024.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyatakan bahwa para pelaku usaha LPBBTI perlu melakukan evaluasi secara berkala agar dapat menerapkan efisiensi serta menekan biaya operasional dan layanan pinjaman. Pihaknya sedang menyempurnakan Peraturan OJK (POJK) Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) agar dapat mewajibkan penyelenggara LPBBTI untuk menjadi pelapor SLIK.
Agusman mengatakan OJK akan terus melakukan monitoring terhadap implementasi beberapa kebijakan yang mulai berlaku sejak awal 2024. Melalui kewajiban tersebut, ia berharap, terdapat peningkatan kualitas penilaian skor pendanaan (credit scoring) sehingga dapat memperbaiki kualitas pendanaan LPBBTI.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.