Logo
>

CORE: Koperasi Merah Putih Berpotensi Tumpang Tindih dengan BUMDes

Surat Edaran Menteri Desa dan PDT No. 6 Tahun 2025 yang mewajibkan desa mengalokasikan minimal 20 persen dana desa untuk koperasi Merah Putih.

Ditulis oleh Dian Finka
CORE: Koperasi Merah Putih Berpotensi Tumpang Tindih dengan BUMDes
Ilustrasi Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. (Foto dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com).

KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, menyoroti rencana pemerintah membentuk koperasi Merah Putih di seluruh desa. 

Ia menilai, program ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih fungsi dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah lebih dulu eksis namun belum optimal.

“Alih-alih memperkuat BUMDes yang sudah ada, pemerintah justru menambah struktur kelembagaan baru tanpa kejelasan integrasi. Ini rawan menciptakan kebingungan di tingkat desa,” tegas Faisal kepada media di Jakarta, Sabtu 7 Juni 2025.

Menurut Faisal, banyak BUMDes saat ini masih menghadapi tantangan serius dalam manajemen, kontribusi ekonomi dan keberlanjutan usaha. Menambah koperasi baru justru bisa memperburuk situasi apabila tidak diiringi dengan koordinasi yang jelas dan sistem kelembagaan yang saling melengkapi.

“Ekonomi desa jadi rentan duplikasi. Aparatur bingung, masyarakat bingung. Ditambah lagi, kebijakan pusat yang sering berubah dan cenderung instruktif justru memperlemah gerak lembaga ekonomi lokal,” ujarnya.

Dana Desa Tergerus, Pembangunan Terancam

Faisal juga menyoroti Surat Edaran Menteri Desa dan PDT No. 6 Tahun 2025 yang mewajibkan desa mengalokasikan minimal 20 persen dana desa untuk koperasi Merah Putih, khususnya bagi desa yang belum memiliki BUMDes. Ia menyebut kebijakan ini sebagai bentuk pemaksaan yang kontraproduktif terhadap kualitas pembangunan ekonomi desa.

“Ini bisa menggerus anggaran yang seharusnya digunakan untuk prioritas pembangunan lain yang lebih sesuai kebutuhan lokal. Dana desa bisa tersedot untuk membiayai program yang belum tentu relevan,” katanya.

Lebih lanjut Faisal menegaskan, semangat koperasi mestinya tumbuh dari partisipasi warga, bukan sekadar instruksi dari pemerintah pusat. Bila semangat partisipatif itu hilang, koperasi hanya akan jadi formalitas, sekadar pelengkap struktur tanpa fungsi nyata.

Beban Fiskal dan Risiko Kredit Mengintai

Di sisi pendanaan, Faisal mengungkapkan keprihatinannya terhadap beban fiskal yang akan ditanggung negara akibat skema pembiayaan koperasi Merah Putih. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2025, terdapat dua skema penyaluran dana: channelling dan executing, keduanya dinilai sarat risiko.

“Skema channelling artinya dana APBN disalurkan lewat bank-bank Himbara untuk membiayai infrastruktur koperasi. Estimasinya mencapai Rp400 triliun, dengan asumsi 80.000 koperasi mendapat Rp5 miliar per unit. Ini menciptakan contingency risk terhadap APBN yang tak bisa dianggap remeh,” beber Faisal.

Sementara itu, pada skema executing, dana Koperasi Merah Putih akan mengandalkan pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, Faisal memperingatkan bahwa sebagian besar koperasi yang ditargetkan adalah koperasi baru yang belum punya rekam jejak, sehingga risiko gagal bayar sangat tinggi.

“Kalau tidak hati-hati, skema ini bisa merusak portofolio kredit perbankan nasional, khususnya bank-bank Himbara yang menjadi penyalur utama KUR,” tambahnya.

Persoalan lain yang tak kalah krusial adalah tata kelola. Faisal mengingatkan, banyak BUMDes dan program dana desa sebelumnya gagal lantaran lemahnya manajemen. Tanpa sistem kontrol dan akuntabilitas yang kuat, koperasi Merah Putih berisiko mengalami hal serupa.

“Kita bicara efisiensi rendah, tata kelola lemah, bahkan celah korupsi terbuka lebar jika pengawasan tidak ketat. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi bisa berujung kegagalan sistemik,” katanya.

Adapun Faisal menilai pemerintah seharusnya fokus membenahi kelembagaan ekonomi desa yang sudah ada, seperti BUMDes, sebelum membentuk lembaga baru. Jika tetap dijalankan tanpa perencanaan dan integrasi yang matang, koperasi Merah Putih bukan hanya gagal menjawab tantangan desa, tapi justru bisa menjadi beban fiskal dan sumber masalah baru.

“Pemerintah harus sadar, membangun ekonomi desa bukan sekadar bikin program baru. Yang dibutuhkan adalah penguatan kapasitas lokal dan integrasi kebijakan yang solid. Kalau ini gagal, anggaran jumbo sekalipun tidak akan menghasilkan dampak yang berkelanjutan,” tutup Faisal.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.