KABARBURSA.COM – Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, mengingatkan pemerintah soal potensi masalah tata kelola pembentukan superholding BUMN, Danantara.
Menurutnya, dominasi Danantara dalam investasi bisa mengganggu kemandirian dan tata kelola BUMN yang ada di bawahnya.
“Kalau Danantara terlalu dominan, misalnya dalam investasi bank Himbara atau perusahaan energi, ini bisa mengganggu tata kelola korporasi di BUMN,” ujar Danang kepada kabarbursa.com, Kamis, 24 April 2025.
Ia mempertanyakan kejelasan hubungan struktural antara Danantara dan BUMN anggota. Menurutnya, hingga kini belum ada informasi terbuka tentang batas kewenangan investasi antara induk dan anak usaha tersebut.
“Apakah BUMN masih bisa berinvestasi mandiri? Misalnya Danantara diminta mendanai proyek pemerintah, lalu bank Himbara juga diminta mendanai program seperti koperasi Merah Putih. Bagaimana mengatur ini semua? Harus jelas,” tegasnya.
Danang juga menyoroti potensi tumpang tindih peran antara Danantara dan BUMN yang sudah berjalan, terutama jika masing-masing diarahkan untuk mendanai proyek-proyek negara.
Lebih jauh, ia menyinggung BUMN yang tengah merugi seperti BUMN karya. Jika tetap masuk dalam struktur Danantara, maka publik perlu tahu apakah Danantara juga akan ikut menanggung beban kerugian dan restrukturisasi utang BUMN tersebut.
“Kalau Danantara juga harus menyelamatkan BUMN yang merugi, maka itu harus diatur secara transparan. Jangan sampai justru menjadi beban fiskal tersembunyi,” jelas Danang.
TII menilai, sebelum Danantara menjalankan investasi strategis, harus ada peta jalan dan skema tata kelola yang jelas. Tanpa itu, superholding berpotensi menjadi alat intervensi proyek-proyek elitis yang justru menimbulkan beban baru bagi negara.
“Transparansi sejak awal adalah kunci. Kalau tidak, publik akan terus curiga Danantara hanya jadi instrumen politik ekonomi segelintir elit,” pungkas Danang.
Bos OJK Beri Pesan ini untuk Danantara
Sebelumnya diberitakan, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengingatkan pentingnya praktik manajemen risiko dan tata kelola yang baik dalam pengelolaan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025.
“OJK terus mengharapkan koordinasi dan sinergi baik dengan BPI Danantara maupun pihak terkait lainnya agar BUMN (badan usaha milik negara) sebagaimana dimaksud tetap dapat tumbuh berkesinambungan dengan mengedepankan praktik manajemen risiko dan tata kelola yang baik,” ujar Mahendra.
Mahendra menambahkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), OJK memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan, termasuk BUMN yang bergerak di bidang tersebut atau yang menghimpun dana melalui pasar modal.
“OJK memiliki kewenangan mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan termasuk BUMN yang bergerak di sektor jasa keuangan dan yang menghimpun dana di pasar modal dalam kerangka menjaga stabilitas sistem keuangan nasional,” kata Mahendra.
Sementara itu CIO Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara Pandu Sjahrir, menyebut pihaknya tengah berdiskusi soal Danantara menjadi penyedia likuiditas di pasar modal.
“Kami melihat pasti kalau pasar modal tuh dibagi dua, dari bond sama juga equity, jadi tentu kami melihat dari hasil dividen kami parking dimana, ya bisa saja salah satunya di sana,” ujar dia kepada media di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Rencana Danantara Jadi Liquidity Provider
Rencana Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk berperan sebagai penyedia likuiditas di pasar modal belum cukup untuk membangun kepercayaan investor, baik dari dalam maupun luar negeri.
Menurut analis pasar modal Desmond Wira, langkah Danantara menjadi liquidity provider memang dapat menambah likuiditas di bursa. Namun demikian, ia menilai bahwa hal tersebut bukan satu-satunya elemen penting yang membuat investor merasa nyaman bertransaksi.
"Tetapi soal kepercayaan itu faktor lain, lebih tergantung pada regulasi bursa yang ada, bagaimana regulasi tersebut dijalankan, serta faktor fundamental emiten dan negara, dan lainnya," ujarnya kepada KabarBursa.com.
Lebih lanjut, Desmond menilai bahwa keberadaan Danantara sebagai liquidity provider tidak serta merta mampu menekan gejolak harga saham, termasuk saham-saham milik BUMN. Ia menyebut bahwa biasanya hanya sebagian kecil dari total dana yang digunakan untuk aktivitas liquidity provider, sementara sisanya dialokasikan untuk investasi jangka panjang.
"Selain itu fluktuasi harga saham tergantung pada banyak faktor, termasuk kondisi emosional pelaku pasar," katanya.
Ia menambahkan bahwa dalam situasi pasar yang dipenuhi kepanikan atau euforia, peran liquidity provider cenderung tidak signifikan. Fungsi ini baru terasa ketika kondisi pasar berada dalam situasi yang stabil.
Desmond juga menyinggung potensi risiko yang dihadapi Danantara bila benar-benar terjun sebagai penyedia likuiditas. Ia menyebut risikonya relatif kecil, mengingat hanya sebagian kecil dari dana yang digunakan untuk peran tersebut. (*)