KABARBURSA.COM - Nilai tukar dolar AS bergerak mendekati posisi tertinggi dalam lebih dari dua pekan terhadap yen Jepang pada Kamis dinihari WIB, 10 Juli 2025. Hal ini terjadi seiring meningkatnya kecemasan pasar terhadap arah kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang terus berubah.
Penguatan dolar terjadi setelah Gedung Putih mengumumkan serangkaian tarif baru terhadap tujuh negara tambahan, langkah lanjutan dari keputusan sebelumnya untuk mengenakan tarif 25 persen terhadap Jepang dan sejumlah mitra dagang lainnya mulai bulan depan.
Pada Selasa, dolar menguat terhadap sebagian besar mata uang utama setelah pemerintah AS mengirimkan surat resmi kepada Aljazair, Irak, Libya, Sri Lanka, dan Filipina terkait rencana pemberlakuan tarif hingga 30 persen mulai 1 Agustus.
Meski demikian, Presiden Trump masih membuka ruang negosiasi dengan menyatakan bahwa negara-negara tersebut bisa mengajukan proposal untuk menunda implementasi tarif.
Melalui unggahan di media sosial, Trump juga menyampaikan rencana merilis daftar negara berikutnya yang akan dikenakan tarif, meski belum ada rincian lebih lanjut.
Langkah Trump ini menambah ketidakpastian yang sudah berlangsung sejak kebijakan "Liberation Day" diumumkan pada April lalu. Kala itu, pasar sempat mengalami tekanan hebat sebelum sebagian besar rencana tarif ditangguhkan demi membuka ruang negosiasi bilateral.
Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama, sejauh ini masih tercatat turun lebih dari 6 persen sejak awal April. Meskipun hari ini hanya melemah tipis ke posisi 97,545, investor masih dibayangi fluktuasi tinggi dalam beberapa pekan terakhir.
“Memegang dolar AS saat ini seperti naik roller coaster,” ujar Juan Perez, Direktur Monex USA.
“Arah pergerakannya bisa tiba-tiba berubah. Ketidakpastian ini harus diterima sebagai bagian dari lanskap baru kebijakan ekonomi global,” lanjut dia.
Di pasar valuta asing, dolar sempat menyentuh 147,19 yen sebelum terkoreksi ke 146,35. Dalam sepekan terakhir, penguatan dolar terhadap yen sudah mencapai 1,5 persen, kenaikan mingguan terbesar sejak Desember tahun lalu.
Yen Jepang masih berada di bawah tekanan, tidak hanya karena kebijakan eksternal AS, tetapi juga faktor domestik.
Ketidakpastian menjelang pemilu nasional dan spekulasi bahwa partai oposisi akan mendorong stimulus fiskal baru telah melemahkan harga obligasi pemerintah Jepang (JGB), serta meningkatkan imbal hasil jangka panjang.
Scott Bessent Buka Dialog dengan Tokyo
Dari sisi diplomasi, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dijadwalkan menghadiri World Expo 2025 di Osaka pada akhir bulan ini, yang dipandang sebagai kesempatan untuk membuka jalur dialog baru antara Washington dan Tokyo, meski ekspektasi pasar masih terbatas.
Sementara itu, euro juga ikut tertekan terhadap dolar, melemah 0,09 persen ke posisi USD1,171. Uni Eropa disebut tengah menunggu surat tarif resmi dari AS, dan hingga kini belum jelas apakah mereka akan mendapatkan pengecualian dari tarif dasar sebesar 10 persen.
Beberapa sumber di Brussel menyebutkan bahwa pembicaraan masih berlangsung, namun belum mengarah pada keputusan final.
Kebijakan suku bunga juga turut memengaruhi dinamika kurs. Risalah rapat Federal Reserve periode 17–18 Juni yang dirilis Rabu malam menunjukkan mayoritas pejabat The Fed belum sepenuhnya yakin untuk memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Kecemasan utama datang dari potensi tekanan inflasi akibat kebijakan tarif Trump yang bisa mendorong harga barang impor naik. Hanya sebagian kecil dari anggota dewan yang mendukung pemangkasan suku bunga segera.
Analis Commerzbank Antje Praefcke, menjelaskan bahwa kekuatan dolar terhadap euro saat ini lebih didorong oleh selisih proyeksi suku bunga antara kedua kawasan.
“Pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga dua kali hingga akhir tahun ini, sementara ECB hanya satu kali,” kata Praefcke.
Di sisi lain, poundsterling juga berada di bawah tekanan, turun 0,04 persen menjadi USD1,36. Sementara dolar Selandia Baru bergerak lebih stabil dan terakhir tercatat menguat tipis ke USD0,59, setelah bank sentral negara itu mempertahankan suku bunga acuan sesuai ekspektasi dan menekankan risiko inflasi jangka pendek.
Secara keseluruhan, pasar mata uang global tengah menghadapi situasi yang rapuh. Penguatan dolar AS, meski didorong sentimen jangka pendek dan ekspektasi suku bunga, tetap dibayangi oleh arah kebijakan perdagangan Trump yang sulit ditebak.
Selama negosiasi belum menemukan jalan keluar yang jelas, pelaku pasar masih harus bersiap dengan dinamika tajam dan perubahan mendadak, persis seperti komentar Juan Perez, “roller coaster” yang kini menjadi bagian dari realita baru ekonomi global.(*)