Logo
>

Peta Tarif Trump Kian Ruwet, Dunia Dagang Terancam Kacau

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Peta Tarif Trump Kian Ruwet, Dunia Dagang Terancam Kacau
Tarif dagang Trump bikin pasar global gelisah. Tenggat 1 Agustus jadi ujian bagi banyak negara untuk hindari lonjakan beban ekspor. Foto: whitehouse.gov.

KABARBURSA.COM – Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali mengubah arah kebijakan tarifnya secara tajam minggu ini. Setelah menunda sejumlah tarif tertinggi selama 90 hari sejak April lalu, Trump kembali memberi tambahan penundaan tiga pekan hingga 1 Agustus. Namun sehari berselang, ia justru mengumumkan rencana tarif 50 persen untuk impor tembaga dan 200 persen untuk produk farmasi.

Di tengah sinyal perundingan dagang yang mulai membaik—misalnya Jepang mengaku ada kemajuan setelah bertemu Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick—ketidakpastian hukum justru membayangi. Sejumlah gugatan hukum diajukan untuk menguji wewenang presiden menetapkan tarif sepihak dan bisa saja berujung pada pembatalan kebijakan tarif yang sudah berjalan.

Tarif Timbal Balik dan Tenggat 1 Agustus

Trump menyebut banyak negara kini menghadapi tarif timbal balik (reciprocal tariffs) jika tidak meneken kesepakatan dagang dengan AS hingga 1 Agustus. Awalnya, tarif baru dijadwalkan berlaku 9 Juli, namun pada 7 Juli, Trump mengumumkan penundaan tambahan tiga pekan.

Lewat unggahan di Truth Social pada 8 Juli, Trump menegaskan tenggat 1 Agustus adalah batas final: “Tidak ada perpanjangan lagi,” tulisnya seperti dikutip dari The Wall Street Journal, Kamis, 10 Juli 2025.

Tarif ini pertama diumumkan pada 2 April dengan besaran hingga 125 persen, khususnya terhadap China, dan berlaku untuk lebih dari 80 negara. Meski hanya sempat diberlakukan beberapa jam pada 9 April, tarif ini berpotensi berlaku penuh kembali dengan besaran lebih tinggi dibanding tarif dasar global sebesar 10 persen yang saat ini sudah dikenakan terhadap hampir seluruh barang impor AS.

Trump mengklaim penangguhan 90 hari sebelumnya diberikan karena 75 negara menunjukkan niat berunding soal perdagangan, hambatan tarif, manipulasi mata uang, dan isu lainnya.

Negara Mana Saja yang Kena Surat Tarif?

Pada 7 Juli, Gedung Putih mengirim surat peringatan kepada lebih dari selusin negara yang berisi ancaman tarif tambahan jika belum mencapai kesepakatan dagang dengan AS hingga 1 Agustus. Tarif dalam surat tersebut berkisar antara 25 hingga 40 persen.

Jepang dan Korea Selatan—dua eksportir besar mobil ke AS—termasuk yang disebut akan dikenai tarif 25 persen. Trump juga mengancam tambahan tarif 10 persen terhadap negara-negara yang berpihak pada BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan).

Surat resmi juga dikirim ke para pemimpin Tunisia, Bosnia dan Herzegovina, Indonesia, Bangladesh, Kamboja, Thailand, dan Serbia. Gelombang surat lanjutan dikirim pada 9 Juli.

Tarif Tambahan untuk Negara Utama Mitra Dagang

1. China

Trump menyebut tarif terhadap barang China kini mencapai rata-rata 55 persen—gabungan dari tarif 30 persen yang diterapkan saat ini dan tarif lama sejak masa jabatan sebelumnya. Beberapa barang dikenai lebih tinggi, meski analis memperkirakan rerata tarif berkisar 40–50 persen.

Pada April lalu, Trump sempat menaikkan tarif hingga 145 persen sebelum dipangkas jadi 30 persen pada Mei, seiring tercapainya kesepakatan dagang awal pada Juni.

2. Meksiko dan Kanada

Tarif 25 persen dikenakan mulai Maret, namun dikecualikan untuk barang yang masuk di bawah perjanjian dagang USMCA. Produk energi seperti minyak mentah dan gas hanya dikenai tarif 10 persen.

3. Uni Eropa

Negosiasi mendekati kesepakatan yang mempertahankan tarif dasar 10 persen. Namun belum jelas apakah mobil dan baja asal Eropa—yang dikenai tarif masing-masing 25 dan 50 persen—akan mendapat kelonggaran.

4. Inggris

Kesepakatan dagang awal tercapai dengan mempertahankan tarif di level 10 persen. Inggris juga sementara dibebaskan dari tarif baja dan aluminium sebesar 50 persen.

Produk Spesifik, dari Tembaga hingga Semikonduktor

Selain tembaga (50 persen) dan farmasi (200 persen), Trump menyebut akan mengumumkan tarif untuk semikonduktor. Departemen Perdagangan tengah menyelidiki sektor ini melalui Section 232 Undang-Undang Ekspansi Perdagangan 1962, yang memungkinkan pengenaan tarif untuk alasan keamanan nasional.

Beberapa tarif sektor lain sudah berlaku:

  • 25 persen untuk kendaraan impor sejak 3 April
  • 25 persen untuk suku cadang otomotif sejak 3 Mei. Namun, produk otomotif yang tercakup dalam USMCA dikecualikan.
  • 50 persen untuk baja dan aluminium sejak 4 Juni, naik dari tarif sebelumnya 25 persen. Inggris tetap dikecualikan dari tarif ini.

Gugatan Hukum Terhadap Tarif

Tarif-tarif ini digugat di beberapa pengadilan AS. Pada Mei, Pengadilan Perdagangan Internasional AS membatalkan tarif 10 persen dan tarif timbal balik yang diumumkan 2 April dengan alasan Presiden tidak memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang Kewenangan Ekonomi Darurat Internasional 1977. Namun pengadilan banding federal mengizinkan tarif tetap berlaku sembari menunggu keputusan final. Sidang lanjutan dijadwalkan 31 Juli.

Putusan ini tidak berdampak pada tarif sektor seperti otomotif, baja, dan aluminium.

Secara terpisah, dua senator—Chuck Grassley (Republikan, Iowa) dan Maria Cantwell (Demokrat, Washington)—mengusulkan rancangan undang-undang yang menyatakan tarif baru dari Presiden hanya berlaku 60 hari kecuali disetujui oleh Kongres.

Trump terlihat terus menggunakan kebijakan tarif sebagai alat tawar strategis untuk mendorong relokasi industri ke AS, menekan mitra dagang, sekaligus memperkuat posisi domestik menjelang pemilu. Namun jalan yang diambil tidak mulus. Di antara ancaman tarif, gugatan hukum, dan negosiasi yang belum tuntas, masa depan kebijakan perdagangan AS tetap diliputi awan gelap.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).