KABARBURSA.COM - Belanja modal dalam Rancangan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 dicanangkan sebesar Rp190,6 triliun. Jumlah tersebut turun 77,81 persendari outlook di tahun 2024 yang sebesar Rp338,9 triliun.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyayangkan terkait menurunnya belanja modal tersebut. Menurutnya, turunnya anggaran belanja modal akan mempengaruhi daya dorong belanja pemerintah ke laju perekonomian.
“Hal ini karena umumnya belanja modal punya dampak lebih langgeng dibanding belanja pegawai,” tutur Eko.
Adapun belanja pegawai direncanakan sebesar Rp 513,2 triliun, naik 11,37 persen dari outlook tahun ini Rp 460,8 triliun. Sementara itu, belanja modal direncanakan sebesar Rp 190,6 triliun, turun 77,81 persen dari outlook tahun ini sebesar Rp 338,9 triliun.
Eko menambahkan, pemerintah nampaknya harus mempertimbangkan penurunan belanja modal yang cukup besar, dengan dampaknya bagi penurunan perekonomian, dalam pembahasan RAPBN 2025 dengan DPR sebelum disahkan menjadi Undang-Undang APBN 2025.
“Karena ini baru RAPBN maka masih ada ruang untuk membahas dengan DPR, dengan harapan belanja modal tetap harus didahulukan dibanding belanja-belanja lain yang bisa bisa diefisienkan,” ungkapnya.
Tahun 2025 pemerintah berencana menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, atau masih sama dengan target tahun ini.
APBN Pengaruhi Pasar Modal?
Selain itu, kondisi APBN mendatang yang menunjukkan peningkatan defisit dapat memicu kekhawatiran di pasar modal. Dampak dari kenaikan ini sangat bergantung pada beberapa faktor, termasuk alasan di balik kenaikan defisit, kebijakan pemerintah, dan kondisi pasar global saat ini.
“Kenaikan defisit APBN memang berpotensi menimbulkan kekhawatiran di pasar modal,” ujar Sukarno kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.
Lanjutnya menurut Sukarno, defisit yang membengkak mengindikasikan bahwa pemerintah perlu menambah utang untuk menutupi pengeluaran. Peningkatan beban utang ini berpotensi menjadi beban jangka panjang bagi negara dan dapat meningkatkan risiko gagal bayar di masa depan.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, belum terlihat tanda-tanda signifikan menuju kondisi tersebut, dan ekonomi negara masih dinilai cukup kuat.
Penting untuk terus memantau perkembangan kebijakan pemerintah dan situasi pasar global guna memahami sepenuhnya dampak dari kenaikan defisit APBN terhadap stabilitas ekonomi dan pasar modal.
“Tapi dalam beberapa tahun ini sepertinya belum ada tanda arah ke situ dan ekonomi masih dinilai masih kuat,” imbuhnya.
Utang RI Makin Meninggi
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama mengungkap, perkembangan utang Indonesia semakin mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kementerina Keuangan, per Juli 2024 utang Indonesia mencapai Rp8,502 triliun.
Sementara bunga utang, tutur Riza, kebutuhan pembiayaan utang Indonesia sebesar Rp775,9 triliun yang jatuh tempo ditambah bunga utang sebesar Rp552,85 triliun yang harus dibayarkan di tahun 2025.
“Yang menjadi permasalahan dari pembiayaan adalah, semakin tingginya pembiayaan utang kita risikonya adalah bunga utang semakin tinggi. Kenapa kita harus perhatikan? Yield-nya, imbal-hasil dari penarikan utang kita itu sangat tinggi,” kata Riza dalam acara diskusi publik bertajuk ‘RAPBN di Masa Transisi: Apa Saja yang Harus Diantisipasi?’ yang diikusi secara daring, Minggu, 18 Agustus 2024.
Dibandingkan negera-negara di Asia, kata Riza, yield 10 tahun Indonesia berada di level 6,705. Adapun angka itu menempati posisi tertinggi kedua setelah India sebesar 6,871.
“Dibandingkan dengan South East Asean, kita itu paling tinggi biaya utangnya,” jelasnya.
Sementara utang jatuh tempo Indonesia di pasar Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun 2025 sebesar Rp705,5 triliun. Sedangkan untuk utang pinjaman internasional sebesar Rp94,83 triliun di tahun 2025.
Selain soal meningkatnya defisit APBN, dalam upaya menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah Indonesia menerapkan strategi stimulus fiskal besar-besaran sebagai counter-cyclical policy.
Namun Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menilai, langkah tersebut membawa risiko signifikan terkait dengan lonjakan utang pemerintah yang dapat berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.
“Dalam paradigma mainstream yang sangat pro-kreditor (investor) namun abai terhadap kondisi debitur,” ujar Yusuf kepada Kabar Bursa, Senin, 19 Agustus 2024.
“Pembayaran bunga utang terus mendapat prioritas tertinggi di atas biaya kemampuan negara yang semakin melemah untuk melakukan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat,” tambahnya.
Strategi stimulus yang melibatkan tambahan utang besar berpotensi mengancam prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Yusuf juga memperingatkan bahwa lonjakan utang publik yang tidak terkendali bisa memicu tekanan inflasi dan merusak fungsi intermediasi keuangan dari sektor perbankan. Selain itu, belanja publik yang semakin tidak pro-poor juga memperburuk situasi. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.