KABARBURSA.COM - Mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Purnomo, menyampaikan strategi untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan melalui monitoring self-assessment. Sistem ini berfungsi untuk memastikan bahwa seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak (WP) dilaporkan secara benar, lengkap, dan transparan.
Menurut Hadi, monitoring self-assessment adalah kunci dalam menghadapi tantangan perpajakan, karena meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, yang pada akhirnya memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Seperti dalam pernyataan di Jakarta, Jumat 20 September 2024.
Sistem ini mengumpulkan data komprehensif yang membentuk Big Data Perpajakan, mencakup penerimaan pajak dari berbagai sumber, baik legal maupun ilegal, serta memetakan penggunaan dana dalam tiga sektor utama: konsumsi, investasi, dan tabungan.
Hadi menekankan bahwa penghindaran pajak dapat diminimalisir melalui integrasi data WP dalam satu sistem berbasis link and match, yang menciptakan peta penerimaan pajak yang akurat dan menyeluruh. Ini memungkinkan pihak berwenang untuk mencegah korupsi dan meningkatkan transparansi, dengan akses ke data keuangan dan non-keuangan yang sebelumnya dianggap rahasia.
Landasan hukum monitoring self-assessment didukung oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017, yang mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, dan pihak lain untuk memberikan data terkait perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini memungkinkan DJP untuk mengakses seluruh data yang relevan untuk keperluan pengawasan pajak.
Hadi juga menyarankan revisi peraturan yang inkonsisten yang selama ini menghambat efektivitas sistem ini. Dengan penerapan monitoring self-assessment yang baik, ia meyakini bahwa penerimaan pajak dapat meningkat bahkan dengan penurunan tarif pajak, karena pelaporan yang lebih akurat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Penurunan Mulai Melambat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa penerimaan pajak hingga Juli 2024 masih mengalami kontraksi.
Sepanjang Januari hingga Juli, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.045,32 triliun, atau 52,56 persen dari target yang ditetapkan.
Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana penerimaan pajak mencapai Rp1.109,1 triliun, terjadi penurunan sebesar 5,75 persen.
Penurunan ini terutama terjadi pada Pajak Penghasilan (PPh) Non-Migas, yang penerimaannya hingga akhir Juli sebesar Rp593,76 triliun, turun 3,04 persen.
“Penurunan ini mulai melambat, bulan lalu masih berada di angka 7,9 persen. Penurunan negatifnya sudah mulai stabil, tidak sedalam sebelumnya. Kami berharap tren ini akan mulai positif dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Sri Mulyani pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Selain itu, penerimaan dari PPh Migas juga menunjukkan penurunan, turun 13,21 persen menjadi Rp39,32 triliun hingga akhir Juli.
“Penurunan ini disebabkan oleh penurunan lifting minyak. Meskipun harga minyak naik, lifting minyak kita terus menurun dan tidak pernah mencapai target APBN,” jelas Sri Mulyani.
Namun, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM) mencatat pertumbuhan positif, mencapai Rp402,16 triliun, naik 7,34 persen.
“Ini kabar baik. Artinya, ekonomi sedang tumbuh. Aktivitas perdagangan dan manufaktur, meskipun melambat, tetap menunjukkan perbaikan, serta aktivitas ekonomi lainnya juga meningkat,” kata Sri Mulyani.
Penerimaan lainnya yang juga mencatat pertumbuhan positif adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya, dengan total penerimaan hingga akhir Juli sebesar Rp10,07 triliun, meningkat 4,14 persen.
Sektor Hiburan Mengeluh
Penerapan Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) untuk layanan hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa dengan tarif yang berkisar antara 40 persen hingga 75 persen telah memunculkan beragam reaksi di kalangan masyarakat.
Tarif yang cukup tinggi ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai beban yang signifikan bagi para pelaku usaha di sektor hiburan, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, ada juga pandangan bahwa penerapan pajak ini merupakan langkah yang diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pengelolaan sumber daya keuangan yang lebih efisien.
Aturan mengenai PBJT ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dalam undang-undang ini, pemerintah menetapkan pajak hiburan dengan tarif minimum 40 persen dan maksimum 75 persen, memberikan fleksibilitas kepada pemerintah daerah untuk menentukan tarif yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang nantinya bisa digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan di daerah masing-masing.
Meskipun tarif pajak ini tampak tinggi dan bisa berdampak pada kenaikan harga jasa hiburan bagi konsumen, ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari pembayaran pajak ini, baik untuk negara maupun masyarakat.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.