KABARBURSA.COM - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan bahwa dirinya akan mendorong skema pembiayaan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan memperpanjang tenor pinjaman dari yang sebelumnya 15 tahun menjadi 30 tahun.
Langkah ini, kata Erick, diharapkan dapat mempermudah akses masyarakat untuk membeli rumah, terutama bagi mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah.
“Kita akan mendorong skema pembiayaan di mana KPR yang sebelumnya hanya 15 tahun, bisa diperpanjang menjadi 30 tahun,” kata Erick Thohir usai pertemuannya dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis malam, 7 November 2024.
Erick menjelaskan bahwa perpanjangan tenor KPR bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan tertentu agar lebih mudah memiliki rumah. Dengan cicilan yang lebih rendah, diharapkan semakin banyak masyarakat yang dapat membeli hunian.
“Ini bukan hanya untuk rumah rakyat, tetapi juga untuk semua kalangan, baik menengah maupun kelas lainnya,” ujar Erick.
Melalui skema pembiayaan ini, Erick berharap dapat meningkatkan daya beli masyarakat terhadap properti. Perpanjangan tenor KPR, yang berarti cicilan bulanan yang lebih ringan, diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk lebih mampu memenuhi kebutuhan dasar, terutama tempat tinggal.
“Dengan efisiensi yang kita dorong, masyarakat akan semakin mampu menaikkan daya belinya, terutama untuk cicilan rumah yang kini bisa diperpanjang,” tandasnya.
Scheme financing atau skema pembiayaan adalah sistem yang dirancang untuk mempermudah akses masyarakat terhadap pembiayaan, seperti untuk membeli rumah atau kendaraan. Skema ini memberikan fleksibilitas lebih pada syarat-syarat kredit, termasuk jangka waktu pinjaman yang lebih panjang, yang pada gilirannya membuat cicilan menjadi lebih ringan.
Sebagai ilustrasi, jika saat ini seseorang dengan penghasilan sekitar Rp5 juta per bulan ingin membeli rumah seharga Rp300 juta dengan skema KPR 15 tahun, cicilan bulanan yang harus dibayar bisa mencapai sekitar Rp2,8 juta, belum termasuk bunga dan biaya lainnya. Namun, dengan perpanjangan tenor KPR menjadi 30 tahun, cicilan bulanan bisa turun menjadi sekitar Rp 1,6 juta, sehingga lebih terjangkau.
Skema pembiayaan dengan tenor lebih panjang ini diharapkan tidak hanya menguntungkan masyarakat dengan penghasilan rendah, tetapi juga memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat kelas menengah untuk memiliki rumah.
Turunkan Harga Rumah, Menteri PKP datangi BTN
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) bekerja sama dengan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN) dalam rangka menurunkan harga rumah yang dirasa semakin tak terjangkau masyarakat.
Menteri PKP Maruarar Sirait mengatakan langkah ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat.
“Mengenai rincian komponen apa saja yang dikurangi, akan disampaikan di Kantor BTN Jumat (hari ini). Apakah pajak atau pembiayaan, akan kami sampaikan nanti,” kata Maruarar Sirait di acara konferensi pers di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis, 7 November 2024 malam.
Meskipun tidak menjelaskan secara rinci, Ara menegaskan, pemangkasan salah satu komponen biaya ini diharapkan dapat menurunkan harga rumah.
Menurut Maruarar, banyak faktor yang mempengaruhi harga pembelian rumah, seperti harga tanah, bangunan, dan pajak. Dia memastikan kebijakan ini akan mempengaruhi harga rumah ke depannya.
“Seberapa besar pengaruhnya, tentu akan kami evaluasi, namun kebijakan ini pasti akan mengurangi salah satu variabel,” ujarnya.
40 Persen Perumahan Abaikan Fasos-Fasum
Sementara itu, di tengah upaya merealisasikan Program 3 Juta Rumah yang sedang digencarkan pemerintah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkapkan bahwa sekitar 40 persen perumahan di Indonesia masih minim menyediakan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum).
Dengan fakta ini, apakah target membangun rumah sebanyak 3 juta per tahun akan semakin memperburuk persoalan fasos/fasum?
Menanggapi itu, Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menjelaskan bahwa minimnya fasos dan fasum lebih sering terjadi pada perumahan skala kecil yang dikembangkan secara sporadis oleh pihak swasta.
Menurut Bambang, pengembang skala kecil ini seringkali hanya membangun 20 hingga 30 unit rumah, sehingga proses perizinannya tidak sampai ke tingkat kota atau pusat.
“Yang mungkin terkadang yang menimbulkan masalah itu adalah pengembang-pengembang swasta dan sifatnya sporadis. Mereka membangun perumahan dalam skala kecil,” kata Bambang kepada Kabar Bursa, Kamis, 7 November 2024.
Bambang menegaskan, sebagai pengembang besar, REI tidak mungkin mengabaikan penyediaan fasilitas fasum dan fasos.
“Saat kami mengajukan perizinan untuk pembangunan, ada rencana yang harus kami penuhi, termasuk koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), serta sarana fasos dan fasum yang harus dibangun sebagai bagian dari infrastruktur,” jelasnya.
Justru, kata Bambang, program pemerintah yang akan membangun 3 juta rumah sangat relevan dengan kebutuhan pasar yang besar, mengingat backlog perumahan di Indonesia mencapai 9,9 juta unit.
“Artinya, ada jutaan orang yang membutuhkan hunian yang layak huni,” ujar Bambang.
Namun, Bambang mengimbau agar ke depannya pembangunan perumahan harus memperhatikan aspek kenyamanan dan kesejahteraan penghuni di masa depan.
Dia menekankan, dalam membangun perumahan, lokasi yang dipilih harus didukung dengan infrastruktur yang memadai. Katanya, tidak hanya membangun perumahan saja, tetapi juga memperhatikan fasilitas pendukung seperti transportasi, pendidikan, hingga tempat rekreasi dan arena berolahraga.
“Selain itu, fasilitas pendidikan seperti gedung Taman Kanak-kanak (TK), SD, SMP merupakan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi,” tuturnya.
Khususnya, sarana transportasi yang memadai. Dia menilai, tanpa akses transportasi yang baik, penghuni perumahan akan menghadapi kesulitan mobilitas dan harus mengandalkan kendaraan pribadi. Hal ini justru berpotensi menyebabkan kemacetan.
“Itu akan menjadi problem besar. Anda bisa bayangkan, misalnya membangun perumahan di satu wilayah tapi transportasi umum ke wilayah itu belum ada, ini akan memberatkan masyarakat,” ucap Bambang.
Selain itu, Bambang juga menyoroti ketersediaan jaringan air bersih dan listrik. Katanya, pembangunan perumahan di wilayah yang belum didukung oleh pasokan air bersih dan listrik hanya akan mempersulit masyarakat yang menempati.
Perihal adanya kekhawatiran dengan pembangunan properti secara masif yang berpotensi akan memicu munculnya “kota hantu” di Indonesia, menurutnya tidak perlu dikhawatirkan. Dia kembali menegaskan, jumlah masyarakat yang membutuhkan lebih banyak dari ketersediaan rumah.
“Kekhawatiran bahwa properti ini akan dibangun secara masif dan menjadi “kota hantu” seperti di beberapa negara lain belum akan terjadi di Indonesia, karena kebutuhan perumahan kita masih sangat tinggi,” tuturnya.
Justru, katanya, hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk memastikan agar proyek 3 juta rumah ini tidak memperburuk kondisi ketersediaan fasos dan fasum di perumahan, apalagi munculnya “kota hantu”. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.