KABARBURSA.COM - Langkah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk membeli 50 unit pesawat Boeing menuai sorotan tajam dari kalangan ekonom. Di tengah kondisi keuangan yang belum sepenuhnya pulih pascarestrukturisasi, keputusan ini dinilai rawan memicu risiko fiskal baru dan berpotensi menjadi beban bagi keuangan negara.
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, menyebut bahwa pembelian tersebut bukan sekadar aksi korporasi biasa, melainkan kebijakan publik dengan dampak fiskal yang besar.
“Jika salah hitung strategi dan gagal diimplementasikan dengan hati-hati, kita akan menyaksikan bom waktu utang jilid dua di BUMN penerbangan,” ujarnya, Senin 21 Juli 2025.
Achmad mencatat, bila merujuk pada harga rata-rata pesawat Boeing 737 MAX dan 787 Dreamliner yang berkisar antara USD 120–150 juta per unit, maka total belanja investasi Garuda akan mencapai USD 6–7,5 miliar atau sekitar Rp96–120 triliun. Nilai tersebut setara tiga kali lipat anggaran belanja modal Kementerian Perhubungan tahun 2025 dan hampir seperlima dari total belanja infrastruktur transportasi nasional.
Ia menegaskan bahwa pembelian dalam skala jumbo di tengah kondisi finansial Garuda yang belum solid sangat berisiko, terlebih jika dibiayai dengan instrumen utang atau skema leasing agresif. Saat ini, Garuda masih bergulat dengan ekuitas yang negatif dan arus kas operasional yang tipis, sangat bergantung pada harga avtur, nilai tukar, dan tingkat keterisian penumpang.
“Utang baru untuk membeli armada ini berpotensi membawa Garuda masuk ke lingkaran setan leverage tinggi, beban bunga besar, dan risiko gagal bayar,” kata Achmad.
Menurutnya, semua opsi pembiayaan yang tersedia bagi Garuda membawa konsekuensi masing-masing. Operating lease memang menghindari pengeluaran modal di awal, tetapi menciptakan kewajiban tetap yang memberatkan. Sementara itu, skema pembelian langsung atau pembiayaan ekspor akan memperbesar liabilitas dan memperburuk struktur neraca perusahaan.
“Peringkat kredit Garuda yang rendah menyebabkan bunga pembiayaan menjadi tinggi, menekan cashflow perusahaan yang sudah rentan,” tulisnya.
Di sisi lain, kepercayaan terhadap Boeing sendiri tengah berada di titik krusial. Achmad mengingatkan bahwa reputasi Boeing belum sepenuhnya pulih sejak insiden kecelakaan fatal 737 MAX pada 2018 dan 2019, serta insiden teknis terbaru pada awal 2024. Ia menyebut bahwa dominasi varian 737 MAX dalam pesanan Garuda justru akan memperbesar eksposur risiko teknis dan reputasi perusahaan.
“Jika Garuda membeli 50 unit Boeing dengan dominasi 737 MAX, risiko teknis, operasional, dan reputasi akan membayangi siklus hidup pesawat tersebut,” jelasnya.
Dalam pandangan Achmad, semestinya Garuda mengedepankan strategi pemulihan internal, bukan ekspansi agresif yang belum ditopang fundamental kuat. Ia menyarankan fokus pada optimalisasi armada yang sudah dimiliki, perbaikan tata kelola, penataan ulang rute yang menguntungkan, serta penguatan lini bisnis kargo dan layanan berbiaya rendah.
“Kebangkitan Garuda seharusnya dimulai dari restrukturisasi mendalam, penataan model bisnis, dan perbaikan tata kelola, bukan dari belanja jumbo tanpa persiapan,” tegasnya.
Achmad juga memperingatkan bahwa jika investasi besar ini gagal menghasilkan profitabilitas, maka pada akhirnya negara—dalam hal ini APBN—akan kembali menjadi ‘penyelamat’ terakhir. Dan hal itu, kata dia, merupakan skenario terburuk yang harus dihindari.
“Pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung beban bailout jika Garuda kembali gagal mengelola keuangan dan operasionalnya,” pungkasnya.(*)