Logo
>

Ujian Berat Kesepakatan Dagang RI ke AS

Pemerintah perlu berhati-hati dalam menyikapi skema perdagangan baru ini

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ujian Berat Kesepakatan Dagang RI ke AS
Ilustrasi Perdagangan Internasional. Foto: dok KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM — Perjanjian Perdagangan Resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan menjelang April 2025 memunculkan kekhawatiran di kalangan ekonom nasional. 

    Di balik janji akses pasar yang lebih luas, kenaikan tarif yang drastis dari semula 0–5 persen menjadi 19 persen justru dapat menjadi pisau bermata dua bagi daya saing ekspor Indonesia.

    Menurut Syafruddin Karimi, ekonom Universitas Andalas, pemerintah perlu berhati-hati dalam menyikapi skema perdagangan baru ini. 

    Ia menilai, tarif baru tersebut berpotensi menekan industri dalam negeri bila tidak disikapi dengan strategi yang tepat.

    “Bila beban tarif ini ditanggung langsung oleh eksportir kita, maka marjin keuntungan akan tergerus dan daya saing menurun,” ujar Syafruddin dalam keterangannya, Jumat 25 Juli 2025.

    Skema tarif 19 persen dinilai cukup tinggi untuk produk-produk utama Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan produk manufaktur ringan. Dalam konteks perdagangan internasional, beban tersebut bisa berdampak pada dua sisi. 

    Jika eksportir menyerap seluruh beban tarif, maka profit akan menyusut. Di sisi lain, jika beban itu dialihkan ke harga jual di pasar AS, potensi penurunan permintaan bisa terjadi karena harga menjadi kurang kompetitif.

    “Namun bila kita alihkan beban itu ke konsumen AS dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi, risiko lain muncul: permintaan bisa turun,” lanjutnya.

    Hal ini sangat bergantung pada elastisitas permintaan pasar Amerika terhadap barang asal Indonesia. Jika konsumen di sana mudah beralih ke produk dari negara lain, maka posisi ekspor Indonesia bisa tergeser. 

    Namun, jika negara pesaing dikenakan tarif lebih tinggi atau justru tidak mendapat fasilitas dagang khusus, Indonesia bisa mendapat peluang lewat mekanisme trade creation.

    Syafruddin menjelaskan, skenario idealnya adalah ketika kenaikan tarif bagi negara lain membuat produk Indonesia menjadi lebih menarik dan mendorong pergeseran permintaan ke pasar kita. 

    Namun ia mengingatkan bahwa semua itu sangat ditentukan oleh efisiensi dan harga akhir produk kita.

    “Dalam skenario terbaik, perjanjian ini akan mendorong ekspor kita karena perubahan tarif relatif. Dalam skenario terburuk, justru akan terjadi trade diversion,” tegasnya.

    Dengan kata lain, jika struktur tarif ini membuat negara lain lebih murah dibanding Indonesia, maka bukan tidak mungkin AS akan mengalihkan permintaannya ke mitra dagang alternatif.

    Karena itu, menurut Syafruddin, titik kritis dari dampak perjanjian ini bukan terletak pada isi teks kesepakatan, melainkan pada respons sektor industri nasional terhadap perubahan peta perdagangan tersebut. 

    Kapasitas untuk menyesuaikan harga, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan nilai tambah produk menjadi kunci.

    “Yang paling menentukan bukan hanya isi perjanjiannya, tetapi bagaimana industri nasional meresponsnya,” tuturnya.

    Syafruddin juga menyarankan agar pemerintah dan pelaku usaha menunggu data resmi ekspor Indonesia ke AS pasca kebijakan tarif ini mulai berlaku. Ia memperkirakan indikasi dampak nyata baru akan terlihat setelah data ekspor bulan September 2025 dirilis.

    “Dampak aktual perjanjian ini—apakah ekspor Indonesia ke AS meningkat atau menurun—baru bisa kita nilai secara pasti setelah data ekspor bulan September 2025 dirilis,” pungkasnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.