KABARBURSA.COM - Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan bahwa ancaman suku bunga tinggi akibat kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang merespons langkah ekonomi Presiden Donald Trump berpotensi memperlambat investasi di sektor riil pada 2025.
“Kenaikan inflasi global berpotensi mempertahankan suku bunga pada level tinggi. Kondisi ini akan mengurangi insentif untuk berinvestasi di sektor riil, terutama manufaktur dan infrastruktur,” ujar Faisal dalam CORE Economic Outlook 2024 and Beyond di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Sabtu, 23 November 2024.
Selain tekanan eksternal, Faisal menyoroti masalah struktural yang menghambat efisiensi investasi. Indonesia mencatat rasio ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sebesar 6,3, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (2,5) dan Filipina (3,3). ICOR yang tinggi menunjukkan bahwa investasi di Indonesia menghasilkan output yang relatif kecil dibandingkan modal yang digunakan.
“ICOR yang tinggi menjadi bukti bahwa investasi di Indonesia kurang efisien, dan ini adalah hambatan utama menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif,” jelas Faisal.
Lebih lanjut, Faisal mengkritik struktur Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) di Indonesia yang dinilai tidak seimbang. Sebanyak 72 persen investasi domestik masih terfokus pada sektor bangunan, sementara investasi pada mesin dan peralatan hanya mencapai 20 persen, dengan sisanya sebesar 7,7 persen tersebar di sektor lain.
“Dominasi sektor bangunan menunjukkan bahwa pembangunan masih terlalu fokus pada infrastruktur publik. Sebaliknya, investasi pada mesin dan peralatan, yang memiliki dampak langsung terhadap produktivitas, masih sangat rendah,” tambah Faisal.
Sebagai perbandingan, di Filipina, alokasi investasi lebih seimbang, dengan 62 persen pada bangunan dan 27 persen pada mesin. Malaysia menunjukkan struktur investasi yang ideal, dengan 50 persen pada bangunan dan 42 persen pada mesin.
Faisal menegaskan bahwa investasi pada mesin dan peralatan memberikan dampak langsung terhadap efisiensi dan produktivitas ekonomi. Sebaliknya, investasi pada sektor bangunan lebih bersifat mendukung, dengan efek yang baru terasa dalam jangka panjang.
“Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, Indonesia perlu mendorong investasi besar-besaran di sektor manufaktur,” katanya. Langkah ini harus diiringi dengan perbaikan elemen pendukung produktivitas, seperti Total Factor Productivity (TFP).
Faisal juga merekomendasikan berbagai reformasi strategis untuk meningkatkan daya saing investasi. Langkah-langkah tersebut meliputi pemberantasan korupsi, efisiensi birokrasi, peningkatan kualitas tenaga kerja terampil, dan investasi pada penelitian serta pengembangan (R&D).
“Reformasi struktural adalah kunci untuk menciptakan ekosistem investasi yang lebih kompetitif. Tanpa itu, kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi akan tetap terbatas,” tegas Faisal.
Singkatnya, tantangan investasi di Indonesia pada 2025 sangat kompleks, baik dari faktor eksternal maupun internal. Suku bunga tinggi, struktur investasi yang tidak seimbang, dan rendahnya produktivitas menjadi hambatan utama.
Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu melakukan reformasi struktural yang komprehensif, mulai dari perbaikan iklim investasi hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan reformasi yang tepat, investasi dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Masalah Ketenagakerjaan Tahun 2025
Tak hanya soal investasi, Indonesia juga akan menghadapi masalah ketenagakerjaan tahun depan. Hingga kini, pembahasan soal upah minimum untuk tahun 2025 masih berlangsung. Pengusaha dan serikat buruh belum mencapai kesepakatan terkait besaran kenaikan upah, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Cipta Kerja, yang mencakup ketentuan tentang pengupahan.
Pihak buruh menuntut agar kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 tidak lagi mengacu pada rumusan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan.
PP yang diberlakukan sejak 10 November 2023 tersebut dianggap tidak relevan setelah putusan MK yang menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Di sisi lain, kalangan pengusaha berpendapat bahwa penentuan UMP 2025 seharusnya tetap mengikuti ketentuan dalam PP No. 51/2023. Mereka juga menilai bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi, seperti yang diusulkan oleh buruh (8-10 persen), bisa membebani industri, yang masih menghadapi tantangan ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan bahwa pengusaha tidak menolak kenaikan upah. Namun, ia menegaskan, penetapan UMP harus mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kinerja industri.
“Kami berharap penetapan UMP 2025 tetap mengacu pada PP No. 51/2023 karena dianggap lebih adil dalam menentukan upah minimum,” kata Azam, Minggu, 17 November 2024.
Bob mengungkapkan bahwa dengan mengikuti rumusan PP No. 51/2023, kenaikan UMP 2025 diperkirakan mencapai 3,5 persen, berdasarkan proyeksi inflasi sebesar 1,71 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,95 persen pada kuartal III 2024.
Meski kenaikan hanya 3,5 persen, pengusaha harus menanggung beban biaya upah yang lebih besar, sekitar 6 persen hingga 7 persen.
“Tidak hanya pekerja dengan upah minimum yang terdampak, tetapi pekerja dengan gaji lebih tinggi juga akan mengalami penyesuaian,” ujarnya.
Apindo juga menyanggah anggapan bahwa kenaikan upah yang tinggi akan meningkatkan daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Bob berpendapat bahwa inflasi rendah lebih dipengaruhi oleh barang impor yang murah, sementara industri domestik justru mengalami kesulitan karena banjir produk impor.
“Kenaikan upah di satu sisi untuk mendorong daya beli, tetapi di sisi lain industri dalam negeri terpuruk karena produk impor,” keluhnya.
Oleh karena itu, Apindo meminta agar kenaikan UMP disertai dengan pemangkasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), guna memberikan stimulus kepada industri untuk mempertahankan kinerja mereka.
Di sisi buruh, penolakan terhadap formula PP No. 51/2023 tegas disuarakan. Buruh menilai bahwa adanya indeks koefisien dalam rumusan tersebut, yang berada dalam rentang 0,10 hingga 0,30, akan mempertahankan rezim upah yang rendah. (*)