KABARBURSA.COM - Euforia pasar menyambut kabar terbaru soal meredanya tensi dagang antara Amerika Serikat dan China. Pemerintah AS secara resmi memangkas tarif impor terhadap barang-barang asal China menjadi 30 persen dari sebelumnya 145 persen.
Di sisi lain, China pun mengambil langkah serupa dengan menurunkan tarif produk asal AS menjadi rata-rata 10 persen. Langkah timbal balik ini menjadi sinyal positif bahwa kedua negara tengah membuka jalur negosiasi setelah perang dagang mencapai puncaknya.
Meredanya perang tarif global diperkirakan akan mendorong penguatan teknikal jangka pendek pada pasar saham domestik, terutama setelah IHSG kembali dibuka usai libur panjang.
Namun menurut analisis NH Korindo Sekuritas Indonesia (NHKSI), momentum penguatan ini hanya bersifat sementara atau dead cat bounce.
Tekanan teknikal dan kekeringan likuiditas masih membayangi pasar, di mana aksi jual bersih asing (net foreign sell) terus mendominasi dalam beberapa pekan terakhir.
"IHSG berpeluang menguji kembali resisten 7.000 pada pembukaan pasar Rabu, 14 Mei 2025. Tapi kami memandang level ini tidak akan mampu bertahan lama," tulis Ezaridho Ibnutama, analis teknikal NHKSI dalam laporan risetnya, Rabu, 14 Mei 2025.
Menurutnya, euforia global tidak cukup kuat untuk mengangkat IHSG secara berkelanjutan karena faktor domestik masih menunjukkan pelemahan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 hanya tercatat 4,87 persen secara tahunan, jauh di bawah ekspektasi pasar. Angka ini sudah terjadi bahkan sebelum kebijakan tarif global Presiden Trump diumumkan pada 2 April 2025.
Kondisi tersebut menandakan bahwa ekonomi nasional memang telah berada dalam tren perlambatan. NHKSI memperkirakan pertumbuhan kuartal II 2025 akan melambat lebih jauh ke kisaran 4,68 hingga 4,83 persen.
"Meski ada insentif seperti diskon tarif listrik, Indonesia tetap mengalami disinflasi tajam. Kasus PHK dan penutupan perusahaan meningkat, dan arus modal pun mulai bergeser ke negara lain yang menyelesaikan negosiasi dagang lebih cepat atau punya perjanjian dagang yang lebih kompetitif dibanding kita," lanjut Ezaridho.
Ia juga menyoroti bahwa gelembung investasi yang sebelumnya digerakkan oleh dorongan pemerintah melalui proyek hilirisasi nikel dan digitalisasi kini mulai mengempis.
Minimnya imbal hasil historis, lemahnya daya beli masyarakat, dan makin menyusutnya kelas menengah menjadi faktor pembatas utama terhadap potensi euforia pasar.
Per Selasa, 13 Mei 2025, nilai tukar rupiah tercatat di level Rp16.510 per USD, melemah dari posisi sebelumnya yang sempat menguat di Rp16.380.
Ini menjadi penegasan tambahan bahwa ketidakpastian makro masih tinggi dan potensi koreksi pasar tetap terbuka dalam waktu dekat.
IHSG Kuat berkat AS-China
Penguatan jangka pendek pasar modal Indonesia usai tercapainya kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat dan China dinilai belum kokoh secara struktural.
Menurut Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, kesepakatan yang dicapai belum menyentuh akar permasalahan dan hanya bersifat taktis.
“Resistance kuat berada di kisaran 6.970 hingga 7.000, level psikologis yang menjadi ujian besar IHSG dalam waktu dekat. Jika berhasil ditembus, terbuka peluang menuju 7.100–7.150 hingga akhir Mei,” jelasnya dalam riset harian dikutip Rabu, 14 Mei 2025.
Untuk jangka menengah, yakni dalam rentang satu hingga tiga bulan ke depan, peluang lanjutan penguatan tetap terbuka jika The Fed merealisasikan pemangkasan suku bunga 25 basis poin pada FOMC Meeting Juni atau Juli. Ditambah lagi, rilis kinerja kuartal II emiten yang solid dapat menopang laju indeks menuju 7.200–7.250, bahkan mungkin menyentuh 7.300.
Meskipun demikian, Kiwoom tetap mengambil pendekatan konservatif, mengingat pengalaman serupa saat jeda dagang pada 2018–2019 yang tidak menghasilkan perbaikan konkret. Sikap skeptis juga ditunjukkan oleh lembaga internasional lain.
Macquarie menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah taktis bersama”, bukan perdamaian jangka panjang. Bahkan, sebagian besar tarif masih tetap berlaku, termasuk tarif fentanyl dari AS dan balasan dari China.
Sementara itu, analis dari Citi menyoroti bahwa kompromi dagang ini belum tentu mendapat dukungan penuh dari basis politik Donald Trump.
Ketidakpastian terhadap niat strategis AS terhadap China, serta ketidakpercayaan mitra dagang terhadap komitmen jangka panjang AS, menjadi faktor pembatas laju sentimen global.
Potensi Dana Asing dan Tantangan Persaingan dengan China
Dari sisi arus dana, kesepakatan dagang membuka kembali selera risiko investor global terhadap pasar berkembang, termasuk Indonesia. Harapannya, aliran dana asing dapat kembali mengalir ke obligasi dan saham domestik, terlebih jika arah suku bunga global mulai lebih akomodatif.
Namun, kondisi faktual menunjukkan bahwa hingga saat ini, investor asing masih mencatatkan aksi jual bersih yang signifikan. “Foreign net sell year-to-date hampir menyentuh Rp54 triliun,” kata Liza.
Meski terjadi aksi jual atas aset berbasis USD, IHSG belum mendapatkan aliran beli asing yang substansial.
Kiwoom bahkan memperingatkan bahwa IHSG bisa kalah sentimen dari pasar saham China dan AS. Goldman Sachs menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS kuartal IV menjadi 1 persen (dari 0,5 persen), sekaligus menurunkan probabilitas resesi 12 bulan ke depan menjadi hanya 35 persen.
Morgan Stanley melaporkan bahwa hedge fund berbasis AS meningkatkan eksposur ke saham China pekan lalu, seiring optimisme terhadap kelanjutan dialog perdagangan. Indeks MSCI China dan CSI 300 masing-masing menguat 2,4 persen dan 1,9 persen, memperlihatkan daya tarik pasar China di mata investor global. Dengan price to earnings ratio CSI 300 sebesar 12,64 kali, relatif sebanding dengan IHSG di 13,33 kali, kompetisi antar pasar untuk menarik capital inflow kian ketat.
Namun demikian, Indonesia tak sepenuhnya kehilangan peluang. Meningkatnya outlook ekonomi AS dan China bisa menjadi katalis positif bagi pasar komoditas global, sektor yang masih menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Dengan karakteristik bursa yang commodity-driven, investor bisa menanti spill-over effect dari penguatan harga komoditas yang dipicu permintaan global. (