KABARBURSA.COM - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyoroti dampak pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (DP Danantara) terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Menurutnya, sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2025, dividen dari BUMN yang sebelumnya tercatat sebagai PNBP di bawah pos Kekayaan Negara Dipisahkan (KND), kini langsung disalurkan ke Danantara.
Sebagai catatan, aturan tersebut mulai berlaku sejak 24 Februari 2025. Oleh karena itu, satu-satunya pemasukan dividen BUMN dalam bentuk PNBP hanya tercatat pada Januari 2025, yaitu sebesar Rp 10,88 triliun dari dividen interim Bank BRI.
“Jadi 10,9 ini kemarin itu sifatnya dividen intrim, dimasukkan pada bulan Januari, tapi kemudian ada Undang-Undang 1 2025 tentang BUMN, sehingga kita mengantisipasi ini di stop,” kata Suahasil dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, 8 Mei 2025 di Jakarta.
Padahal, dalam APBN 2025, target setoran dividen BUMN dari KND ditetapkan mencapai Rp 90 triliun. Untuk menambal kekosongan penerimaan akibat kebijakan baru ini, pemerintah tengah menyiapkan sejumlah langkah ekstra atau extra effort.
Strategi Pemerintah Tutup Kekosongan PNBP
Suahasil menyebutkan, lima strategi utama. Pertama, pengembangan Sistem Informasi Mineral dan Batubara (Simbara) agar cakupan komoditasnya diperluas ke nikel dan bauksit. Ia berharap langkah ini akan mendorong kepatuhan pelaku usaha dan berdampak positif pada penerimaan negara.
“Extra effort kami ini maksudnya untuk perbaiki kepatuhan juga. Kalau Simabra kita lakukan untuk nikel dan bauksit moga-moga ada peningkatan kepatuhan dan kalau ada peningkatan kepatuhan mudah-mudahan ada dampaknya ke penerimaan," tegasnya.
Simbara juga akan mendukung penguatan proses bisnis dan program kolaboratif untuk menagih piutang PNBP, termasuk melalui automatic blocking system dan pemblokiran Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Ke depannya, sistem ini akan direplikasi di sektor perikanan dan kehutanan.
Strategi kedua yakni dengan menaikkan tarif royalti sektor minerba dan batubara pada IUPK, mengikuti terbitnya PP Nomor 19 Tahun 2025.. “Tarif royalti minerba dan produksi batu bara dengan PP 19/2025 ini sudah keluar dan nanti kita lihat royaltinya bisa meningkat atau seperti apa," tambah Suahasil.
Langkah ketiga adalah optimalisasi penerimaan PNBP dari kementerian/lembaga melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, seperti di sektor imigrasi, pemasyarakatan, perhubungan, dan kepolisian, khususnya untuk layanan plat premium.
"Mereka sedang lihat tapi estimasi-estimasi penerimaannya kaliber-kaliber PNBP ini kaliber ratusan miliar sampai Rp 1 triliun atau Rp 2 triliun, bukan tiba-tiba yang terlalu besar. Tapi moga-moga bisa tingkatkan PNBP kita ke depan," ucapnya.
Keempat, optimalisasi PNBP dari Barang Milik Negara (BMN) minerba, khususnya bauksit di wilayah Kepulauan Riau, serta penegakan hukum di sektor lingkungan hidup non-SDA.
Strategi kelima adalah kolaborasi lintas instansi, termasuk dengan Ditjen Pajak dan Bea Cukai, untuk mengaitkan kepatuhan perpajakan dan kepabeanan dengan kewajiban PNBP, terutama dari eksportir tambang.
"Termasuk joint program kami juga lakukan dengan pajak dan bea cukai, link kepatuhan pajak, kepatuhan di kepabeanan, dengan kepatuhan di PNBP, karena banyak PNBP ini yang eksportir tambang, ini wajib bayar, kalau dia connect kita bisa analisis, ini kita sudah melakukan connecting," tuturnya.
Investor Tunggu Kepastian
Analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai saat ini belum ada guncangan berarti ke pasar saham imbas efek kondisi Danantara. Tapi ia mengingatkan, segala hal bisa berubah cepat tergantung satu hal, yakni soal cara Danantara komunikasi ke publik. Menurutnya, investor sedang menunggu katalis dari Danantara bukan karena santai, tapi karena belum dikasih kepastian.
“Sekarang belum berdampak signifikan. Investor masih wait and see. Yang terpenting adalah bagaimana Danantara menyampaikan informasi yang jelas dan konsisten ke publik,” ujar Ibrahim, kepada KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, 30 April 2025.
Masih menurut Ibrahim, gejolak saham akhir-akhir ini bukan sepenuhnya karena urusan internal. Faktor eksternal seperti geopolitik dan nilai tukar rupiah justru lebih berperan. Tapi jangan salah, kalau direksi Danantara mulai buka suara soal kondisi keuangan dan rencana besar mereka, bisa jadi investor asing bakal balik kanan dan masuk berbondong-bondong.
“Kalau kemarin saham naik, itu lebih karena dorongan eksternal. Tapi ingat, kalau direksi Danantara aktif memberikan informasi tentang kondisi keuangan yang sehat, investor – terutama asing – akan masuk. Mereka pasti buru-buru serbu saham grup Danantara,” katanya.
Tapi kalau duit segede itu cuma mengendap di obligasi, pasar bisa kecewa. Apalagi kalau tak ada proyek riil yang digarap. Harapannya, dana jumbo itu bisa mendorong infrastruktur skala besar, bukan sekadar diputar-putar di instrumen keuangan.
“Kalau dana itu cuma parkir di instrumen keuangan tanpa ada proyek produktif, itu di luar ekspektasi pasar. Padahal harapannya Danantara bisa dorong pembangunan infrastruktur skala besar,” jelasnya.
Satu hal lagi yang jadi sorotan Ibrahim, yaitu soal tekanan ekonomi makro. Nilai tukar rupiah melemah, dolar AS menguat, harga-harga naik. Dan ternyata efeknya bisa sampai juga ke tukang bangun rumah.
“Saya bangun rumah saja, harga seng udah naik 30 persen. Dulu murah, sekarang mahal banget. Artinya, tekanan harga ini bisa mengganggu perencanaan investasi,” katanya.
Di tengah situasi seperti ini, menaruh dana di obligasi bisa jadi solusi jangka pendek yang masuk akal. Tapi tentu jangan lama-lama juga, karena makin lama menganggur, makin berat beban bunga yang harus ditanggung.
“Bisa saja sekarang dananya diparkir dulu buat bayar bunga ke pihak luar, seperti dari Qatar. Toh obligasi juga punya imbal hasil 6 persen-an. Tapi itu harus jangka pendek saja, jangan sampai berlarut,” kata Ibrahim. “Kalau dana sudah masuk tapi belum digunakan, ya malah jadi beban bunga buat Danantara.” (*)