Logo
>

Industri Asuransi Tahan Guncangan, Siap Hadapi Era Baru Co-Payment 2026

OJK sebelumnya mencatat bahwa hasil investasi asuransi jiwa syariah per Februari 2025 mengalami rugi sebesar Rp403,36 miliar.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Industri Asuransi Tahan Guncangan, Siap Hadapi Era Baru Co-Payment 2026
Ilustrasi asuransi jiwa. (Foto: Adobe Stock).

KABARBURSA.COM - Meski pasar saham domestik bergerak naik-turun di awal tahun, industri asuransi jiwa menunjukkan kinerja investasi yang cukup stabil. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, hingga April 2025, hasil investasi perusahaan asuransi jiwa mengalami pertumbuhan sebesar 15,75 persen secara tahunan (YoY). Hal ini mencerminkan respons positif atas dinamika pasar yang tidak menentu.

Jumlah total investasi yang dikelola oleh perusahaan asuransi jiwa mencapai Rp550,18 triliun, meningkat 2,42 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini, menurut OJK, menjadi sinyal bahwa pelaku industri berhasil menjaga ketahanan portofolio mereka di tengah gejolak pasar keuangan global.

“Portofolio investasi asuransi jiwa menunjukkan kinerja cukup baik meskipun pasar modal dalam kondisi fluktuatif,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono, dalam jawaban tertulisnya, Senin, 16 Juni 2025.

Namun, tantangan yang dihadapi sektor ini tak bisa diabaikan. OJK mengidentifikasi sejumlah tekanan eksternal yang memengaruhi kinerja investasi industri asuransi, seperti volatilitas pasar global, ketidakpastian ekonomi makro, serta dampak dari fluktuasi suku bunga dan inflasi. 

Di sisi lain, tantangan internal juga turut menjadi sorotan, terutama kebutuhan peningkatan kapasitas pengelolaan investasi dan manajemen risiko yang lebih adaptif terhadap perubahan pasar.

Untuk mengantisipasi potensi tekanan lanjutan, OJK terus menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan aset. Diversifikasi portofolio dan penguatan sistem manajemen risiko menjadi bagian dari panduan yang didorong regulator untuk menjaga keberlanjutan kinerja investasi industri.

“Kami mendorong pelaku usaha agar memperkuat manajemen risiko dan mengedepankan diversifikasi untuk menjaga stabilitas investasi di tengah kondisi dinamis,” tutur Ogi.

Dalam konteks asuransi syariah, tantangan justru lebih nyata. OJK sebelumnya mencatat bahwa hasil investasi asuransi jiwa syariah per Februari 2025 mengalami rugi sebesar Rp403,36 miliar. 

Penyebab utamanya adalah tekanan yang berasal dari fluktuasi instrumen keuangan yang menjadi bagian dari portofolio mereka. Meskipun ada indikasi perbaikan, secara umum sektor ini masih berada dalam fase penyesuaian.

Pemerintah Siapkan Skema Co-Payment

Di samping itu, Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan baru yang akan mengubah wajah industri asuransi kesehatan nasional, yaitu mulai 2026, skema co-payment bakal diwajibkan untuk sebagian besar polis asuransi kesehatan, khususnya yang menawarkan pertanggungan penuh untuk layanan medis kelas menengah hingga atas. 

Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan bisnis asuransi, namun tak luput dari perhatian pasar modal.

Dalam skema co-payment, nasabah asuransi diwajibkan menanggung sebagian biaya layanan kesehatan yang digunakan, berbeda dari sistem saat ini yang membebaskan biaya sepenuhnya bagi pemegang polis tertentu. 

Pemerintah beralasan, kebijakan ini diperlukan untuk mencegah penggunaan layanan secara berlebihan dan menumbuhkan kesadaran finansial di kalangan pasien.

Analis IHSG Harry Suwanda menilai, di tengah tujuan jangka panjang yang masuk akal, implementasi kebijakan ini bisa memicu ketidakpastian jangka pendek, baik dari sisi bisnis maupun psikologis pasar. 

Menurutnya, transisi kebijakan ini kemungkinan menimbulkan resistensi di tahap awal karena adanya penyesuaian premi dan perubahan ekspektasi pelanggan.

“Pasar asuransi bisa terguncang sementara waktu karena nasabah perlu waktu untuk memahami skema baru ini. Apalagi, belum ada kepastian mengenai besaran beban biaya yang akan dibagi,” ujar Harry kepada KabarBursa.com, Kamis, 12 Juni 2025.

Ia menambahkan bahwa dalam jangka menengah hingga panjang, arah kebijakan ini berpotensi meningkatkan efisiensi industri. 

Menurutnya, co-payment akan mengurangi beban keuangan perusahaan asuransi karena rasio klaim menjadi lebih terkendali. Dengan adanya partisipasi pengguna, perusahaan bisa lebih fokus pada penawaran produk dan inovasi layanan, bukan sekadar bertahan dari klaim berlebih.

“Dari perspektif investasi, kalau dilihat dalam horizon lima tahun, kebijakan ini bisa memperbaiki fundamental emiten asuransi. Efisiensi ini penting agar bisnis mereka berkelanjutan, apalagi di tengah tekanan inflasi medis,” jelas Harry.

Skema co-payment juga dianggap sebagai upaya menurunkan risiko moral hazard, di mana pengguna layanan merasa bebas memanfaatkan fasilitas kesehatan tanpa mempertimbangkan urgensi medis. 

“Tanpa co-payment, nasabah cenderung menggunakan layanan kesehatan secara berlebihan (over-utilization), bahkan untuk kasus ringan,” kata dia.

Hal ini selama ini menjadi salah satu penyebab lonjakan biaya klaim yang membebani neraca perusahaan.

“ini (co-payment) memperbaiki rasio klaim dan menjaga kesehatan keuangan perusahaan asuransi,” tandasnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.