KABARBURSA.COM – Meski mencatat pertumbuhan, laju industri China belum cukup meyakinkan untuk mengangkat optimisme ekonomi secara menyeluruh. Produksi industri China naik 5,8 persen secara tahunan pada Mei berdasarkan data terbaru dari Biro Statistik Nasional.
Dilansir dari Xinhua di Jakarta, Senin, 16 Juni 2025, sektormanufaktur mencatat pertumbuhan 6,2 persen, dengan subsektor manufaktur peralatan dan teknologi tinggi masing-masing tumbuh 9 persen dan 8,6 persen.
Secara kumulatif, sepanjang lima bulan pertama tahun ini, output industri negeri itu naik 6,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka ini mencerminkan aktivitas perusahaan besar dengan omzet tahunan di atas 20 juta yuan atau sekitar USD2,79 juta (setara Rp45,8 miliar dengan kurs Rp16.400).
Namun, meski angka terlihat solid di atas kertas, penguatan industri belum cukup memberi sinyal pemulihan menyeluruh di tengah tekanan konsumsi domestik dan gejolak geopolitik global yang belum reda.
Di sisi lain, penjualan ritel naik 6,4 persen, lebih tinggi dari kenaikan 5,1 persen pada bulan sebelumnya dan melampaui proyeksi pasar sebesar 5 persen. Pertumbuhan ini disebut sebagai yang tercepat sejak Desember 2023.
Lonjakan konsumsi dipicu oleh belanja selama libur Hari Buruh serta program tukar tambah barang konsumsi yang disubsidi pemerintah. Festival belanja daring “618” yang digelar lebih awal dari biasanya juga ikut mendongkrak pembelanjaan.
Kendati begitu, pasar tetap skeptis. Indeks saham unggulan China, CSI300, sempat menguat singkat sebelum kembali melemah. Analis menilai tren konsumsi belum cukup kuat untuk menopang pertumbuhan dalam jangka panjang.
“Gencatan dagang dengan Amerika Serikat belum mampu mencegah pelemahan ekonomi yang lebih luas,” kata Ekonom China dari Capital Economics, Zichun Huang, dikutip dari Reuters.
Ia menilai prospek pertumbuhan China masih dibayangi tarif tinggi, pelemahan dukungan fiskal, dan tekanan struktural yang belum terurai.
Tekanan juga terlihat dari sisi ekspor. Meski ekspor total naik 4,8 persen pada Mei, pengiriman barang ke Amerika Serikat justru anjlok 34,5 persen—terburuk sejak pandemi awal 2020. Sementara itu, tekanan deflasi semakin dalam, mempertegas tantangan yang harus dihadapi Beijing dalam menjaga daya beli dan stabilitas industri dalam negeri.
Investor Indonesia Wajib Waspada Dampak Spillover China
Kelesuan industri di China bukan hanya persoalan domestik Negeri Tirai Bambu. Dampaknya menjalar hingga ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, lewat jalur ekspor, sentimen pasar keuangan, dan ketergantungan pada siklus permintaan global. Bagi investor Indonesia, memahami pola ini menjadi krusial untuk memetakan risiko dan peluang dalam jangka pendek hingga menengah.
Hal ini dapat dijelaskan lewat kerangka Global Spillover Model, yang secara ilmiah dibuktikan dalam studi oleh Hany Abdel Latif dan Adina Popescu dalam makalah kerja IMF Spillovers from Large Emerging Economies:
How Dominant Is China? (2025). Penelitian ini menggunakan model Bayesian Global Vector Autoregression (GVAR) dan menyimpulkan bahwa guncangan ekonomi di China punya dampak luas ke dunia, terutama ke negara berkembang Asia, seperti Indonesia.
Latif dan Popescu dan tim menunjukkan negara-negara yang menjadi mitra dagang utama China lebih sensitif terhadap perubahan permintaan dan produksi China. Efeknya bukan hanya menurunkan volume perdagangan, tetapi juga menjalar ke pasar keuangan lewat sentimen risiko.
Dalam konteks ini, Indonesia masuk kelompok negara yang paling rentan karena tergolong eksportir komoditas yang tergantung pada siklus pertumbuhan China. Emiten-emiten energi dan tambang di Bursa Efek Indonesia seperti AADI, PTBA, TINS, dan MDKA kemungkinan besar terdampak ketika permintaan China menyusut.
Bagi investor ritel maupun institusional, situasi ini menuntut langkah mitigasi yang terukur:
- Lakukan diversifikasi portofolio, hindari ketergantungan pada sektor komoditas tunggal.
- Perhatikan data ekonomi bulanan China, terutama indikator PMI, output industri, dan ekspor-impor.
- Waspadai sentimen jangka pendek di sektor energi dan pertambangan, terutama jika permintaan China belum menunjukkan pemulihan struktural.
- Pantau nilai tukar dan potensi arus keluar modal asing, terutama jika The Fed mempertahankan suku bunga tinggi sementara pasar Asia melemah.
Dalam lanskap ekonomi global yang saling terhubung, perlambatan China bisa menjadi katalis negatif lintas sektor bagi investor Indonesia. Memahami pola dampak spillover seperti yang dijelaskan Latif dan Popescu menjadi kunci untuk bertindak bukan hanya reaktif, tapi strategis.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.