KABARBURSA.COM – Gejolak harga minyak dunia kembali memanas seiring eskalasi konflik Iran-Israel dan berbagai sentimen pasar yang bertumpuk. Pengamat pasar modal Wahyu Laksono menyebut lonjakan harga minyak saat ini tidak bisa dilepaskan dari kombinasi tekanan geopolitik, pengetatan pasokan, dan sentimen makroekonomi global yang menguat.
“Ketegangan antara Iran dan Israel membuat pasar sangat waspada. Risiko gangguan pasokan dari kawasan Teluk Persia nyata dan sangat memengaruhi pergerakan harga,” ujar Wahyu kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin 16 Januari 2025.
Kawasan tersebut merupakan urat nadi energi dunia. Hampir sepertiga produksi minyak global berasal dari wilayah itu dan sekitar 20 persen dari pengiriman minyak mentah global melalui laut bergantung pada jalur strategis Selat Hormuz.
“Kalau Selat Hormuz sampai terganggu, maka pasar akan benar-benar panik. Itu jalur vital distribusi energi global. Gangguan sedikit saja bisa langsung memicu lonjakan harga secara drastis,” tegas Wahyu.
Menurutnya, pelaku pasar kini semakin memperhitungkan risiko geopolitik sebagai salah satu faktor utama dalam menilai outlook harga komoditas, terutama minyak. Bahkan, kata Wahyu, sekadar spekulasi penutupan Selat Hormuz sudah cukup untuk menciptakan gelombang volatilitas tajam.
Tak hanya faktor geopolitik, Wahyu juga menyoroti laporan dari Administrasi Informasi Energi AS (EIA) yang menunjukkan penurunan persediaan minyak mentah lebih besar dari ekspektasi pasar. Hal ini memberi sinyal bahwa pasokan global mulai mengetat.
“Laporan EIA minggu ini cukup mengejutkan. Turunnya stok minyak AS di luar ekspektasi jadi bukti bahwa pasar sedang menuju kondisi undersupply. Ini menjadi booster tambahan bagi harga minyak,” jelas Wahyu.
Optimisme Ekonomi Dongkrak Ekspektasi Permintaan
Dari sisi permintaan, Wahyu melihat adanya dorongan baru dari perbaikan indikator ekonomi di negara maju. Ia menyoroti data optimisme bisnis di AS yang meningkat serta menghangatnya kembali hubungan dagang antara AS dan China.
“Kalau ekonomi AS dan China membaik, maka demand minyak akan ikut meningkat. Ini tentu menambah tekanan dari sisi permintaan di tengah pasokan yang sudah ketat,” katanya.
Wahyu juga menggarisbawahi pelemahan Dolar AS sebagai faktor signifikan yang turut memicu penguatan harga minyak. Mengingat minyak global ditransaksikan dalam mata uang Dolar, penurunan nilai tukar Dolar membuat harga minyak menjadi lebih murah bagi negara-negara lain.
“Dolar yang melemah bikin minyak lebih terjangkau bagi pembeli global. Ini meningkatkan permintaan secara teknikal, dan itu menambah dorongan ke harga,” jelasnya.
Meskipun belum ada keputusan resmi baru dari OPEC+, Wahyu menyebut aliansi produsen minyak tersebut tetap menjadi aktor utama dalam dinamika harga. Kebijakan pemangkasan produksi yang diambil OPEC+ sebelumnya menjadi katalis positif bagi penguatan harga saat ini.
“OPEC+ punya kendali besar. Kalau mereka kembali pangkas produksi, maka pasokan akan tambah ketat. Dan selama geopolitik belum mereda, harga akan tetap di jalur naik,” tutur Wahyu.
Melihat kompleksitas faktor yang mendukung kenaikan harga, Wahyu memperkirakan harga minyak dunia masih berpeluang bertahan di level tinggi dalam beberapa pekan ke depan. Namun demikian, ia mengingatkan agar pelaku pasar tetap waspada terhadap perubahan cepat di situasi geopolitik.
“Situasinya sangat dinamis. Tapi tren jangka pendek masih bullish. Yang perlu diwaspadai adalah faktor kejutan dari sisi politik dan keputusan OPEC+ selanjutnya,” katanya.(*)