KABARBURSA.COM – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengamankan puluhan ribu speaker aktif yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pengamanan puluhan ribu produk itu dilakukan untuk menegakkan ketertiban dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku dalam rangka keamanan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan hidup (K3L) serta mewujudkan persaingan usaha yang sehat.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, pemenuhan SNI pada produk penting diperhatikan demi menjaga kualitas dalam negeri. Karenanya, dia berkomitmen untuk terus mendorong pelaku industri memenuhi syarat utama produksi dalam negeri.
“Kami akan terus memastikan bahwa produk-produk yang beredar di Indonesia memenuhi standar yang telah ditetapkan,” kata Agus Gumiwang dalam keterangannya, dikutip Sabtu, 20 Juli 2024.
Sebelumnya, Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin telah melakukan pengawasan terhadap produk-produk elektronik yang beredar di Provinsi DKI Jakarta.
Dari pengawasan yang dilakukan Kemenperin, telah diamankan sebanyak 25.257 unit speaker aktif yang tidak memiliki SPPT-SNI dengan nilai mencapai Rp10,2 miliar yang berasal dari tiga perusahaan.
Adapun Ketiga perusahaan tersebut, yakni PT BSR sebanyak 24.099 unit dengan nilai sekitar Rp8,6 miliar, PT SEI sebanyak 353 unit dengan nilai sekitar Rp1,4 miliar, dan PT PIS sebanyak 805 unit dengan nilai sekitar Rp281,7 juta.
“Ketiganya diwajibkan untuk menghentikan kegiatan impor dan dilarang untuk mengedarkan produk tersebut,” ungkap Kepala BSKJI Kemenperin Andi Rizaldi beberapa waktu lalu.
Menurut Andi, temuan ini terkait ketidakpatuhan pelaku usaha dalam memenuhi ketentuan SNI yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan SNI Audio Video dan Elektronika Sejenis secara wajib.
Dari hasil pengawasan terhadap PT BSR, PT SEI, dan PT PIS pada bulan Juli 2024 di Jakarta, tutur Andi, BSKJI menemukan adanya produk speaker aktif hasil importasi dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang tidak memiliki SPPT-SNI.
Andi menuturkan, tidak adanya SPPT-SNI pada produk tersebut dikhawatirkan dapat membahayakan keamanan dan keselamatan pengguna. Di samping itu, dia juga menyebut produk tanpa SPPT-SNI juga dapat menimbulkan kerugian bagi produsen dalam negeri.
"Produk yang tidak memiliki SPPT-SNI ini berpotensi merugikan konsumen dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Kami tidak akan menoleransi pelanggaran semacam ini," jelasnya.
Diketahui, speaker aktif merupakan produk yang termasuk dalam daftar SNI wajib dan larangan terbatas (lartas). Karenanya, proses importasinya mesti melengkapi dokumen SPPT-SNI dengan kode Harmonized System (HS) sesuai ketentuan yang berlaku.
“Kami mengimbau seluruh pelaku usaha untuk mematuhi regulasi yang telah ditetapkan, termasuk keharusan pelaku usaha memiliki SPPT-SNI pada produk yang diwajibkan,” ujar Andi.
Andi menegaskan, Kemenperin berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap produk-produk yang tidak sesuai ketentuan melalui kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait.
”Kami akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memastikan penegakan hukum berjalan efektif,” imbuhnya.
Lebih jauh, Andi menyebut, Kemenperin akan terus bertekad untuk meningkatkan kualitas pengawasan dan memastikan setiap produk yang beredar di pasar memenuhi standar yang telah ditetapkan.
“Pengawasan adalah kunci untuk melindungi konsumen dan industri dalam negeri,” tutupnya.
Produk Elektronik Tidak Melulu Negatif
Meski dikhawatirkan mengganggu pasar domestik, importasi produk elektronik dinilai membawa keuntungan bagi negara. Ekonom dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Fahmi Wibawa menyebut, regulasi impor elektronik dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2024 memiliki peran positif terhadap penguatan industri dalam negeri.
Menurutnya, kebijakan baru yang mengatur prosedur penerbitan pertimbangan teknis impor produk elektronik tersebut secara langsung mendukung perkembangan industri dalam negeri, mencegahnya dari potensi deindustrialisasi, dan memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan.
“Kehadiran regulasi ini memberikan insentif bagi industri lokal untuk terus berkembang, karena jika para importir produk elektronik dari merek luar negeri tidak merespons dengan membuka pabrik di Indonesia, maka harga produknya akan naik. Ini membuka peluang bagi produk elektronik lokal untuk menawarkan produk dengan kualitas yang sama, namun dengan harga yang lebih kompetitif,” ujar Fahmi di Jakarta, Sabtu 27 April 2024.
Menurutnya, industri elektronik dalam negeri harus memanfaatkan peluang ini dengan maksimal mengingat nilai ekonomi yang signifikan dari sektor tersebut. Berdasarkan data statistik, sektor industri komputer, barang elektronik, dan optik memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 68,513 triliun.
Fahmi berharap bahwa regulasi ini akan mendukung target pertumbuhan sektor industri nasional Indonesia yang pada tahun ini ditetapkan sebesar 5,80 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,02 persen.
Selain itu, Fahmi menekankan bahwa aturan mengenai impor elektronik ini juga akan menarik minat investor asing untuk memperluas bisnisnya ke Indonesia. “Hal ini akan mendorong pertumbuhan sektor industri dalam negeri, terutama karena daya beli masyarakat yang masih kuat di Indonesia,” katanya. (and/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.