KABARBURSA.COM – Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia (BI) Rifki Ismail mengungkapkan hasil survei BI tahun 2022, angka literasi ekonomi syariah hanya 28 persen. Artinya, dari 100 orang, hanya 28 yang memahami keuangan syariah.
Berdasarkan hasil survei yang sama, lanjut Rifki, mengungkapkan bahwa profesi yang paling paham dengan keuangan syariah adalah dosen dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Padahal pegawai non PNS itu jutaan jumlahnya. Tapi, dari hasil survei, mereka ternyata tidak begitu paham ekonomi syariah. Sementara jika berdasarkan wilayah, yang paling banyak memahami ekonomi syariah adalah yang mayoriatas pemeluk Islam dan pesantrennya banyak adalah yang paling paham,” jelas Rifki seperti keterangannya di Jakarta, dikutip Minggu, 29 September 2024.
Ia menyayangkan kondisi ini mengingat potensi ekonomi syariah di Indonesia cukup besar. Berdasarkan data Badan Wakaf Indonesia, total potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp2.050 triliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar masih berupa tanahatau aset yang tidak produktif.
“Nilai ini sangat besar, namun masyarakat Indonesia yang paham tentang kuangan syariah belum merata. Masyarakat hanya menganggap wakaf hanya sebatas untuk masjid, kuburan atau rumah yatim. Padahal di dunia internasional, paradigmanya sudah lebih luas,” ujarnya.
Ia mencontohkan bahwa Harvard University memiliki dana abadi atau endowment fund yang lebih besar dari cadangan devisa Indonesia. Oleh karena itu, ia berharap masyarakat dapat lebih teredukasi untuk bisa memahami ekonomi syariah dan potensinya yang besar.
BI Ambil Peran
Agar pemahaman masyarakat terkait ekonomi syariah dan potensinya meningkat, lanjut dia, BI perlu mengambil peran karena merupakan otoritas moneter di Indonesia dan memiliki kepentingan dengan ekonomi syariah. Karena, menurut dia, aktivitas BI tidak lepas dari kebijakan pemerintah seperti halnya kebijakan fiscal dari pemerintah, kebijakan moneter di BI dan kebijakan jasa keuangan di OJK.
“Jadi, kenapa Bank Indonesia terlibat dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, termasuk keuangan sosial? Karena dalam ekosistem ini, kami mencoba memberikan gambaran yang lengkap tentang ekosistem ekonomi keuangan syariah,” tuturnya.
Sementara peran dalam pembangunan melalui ekonomi syariah adalah tugas bersama. Menurutnya, tidak ada satu pihak atau otoritas yang bisa mengklaim bahwa ekonomi syariah adalah area tertentu.
“Semua terlibat bersama-sama. Bank Indonesia berada di tengah sebagai mitra regulator bersama Badan Wakaf Indonesia, Badan Amir Zakat, dan otoritas lainnya,” jelasnya.
Terkait dengan peran BI, lanjut dia, ada tiga area utama dalam pengambangan ekonomi syariah, yakni industri halal yang mencakup makanan halal, pariwisata ramah muslim dan fesyen Islami. Kedua sektor keuangan syariah, termasuk moneter syariah, pasar uang syariah, dan makroprudensial syariah. Ketiga, literasi masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah.
Terkait dengan industri halal, BI telah memiliki beberapa program seperti halnya Infratani. BI juga melihat banyaknya jumlah pesantren di Indonesia yang mencapai 28 ribu memiliki potensi ekonomi karena di pesantren tersebut punya unit-unit ekonomi.
Menurutnya, di pesantren tersebut pasti ada UMKM, usaha perikanan dan ada kegiatan ekonomi yang dapat dikembangkan agar dapat mendukung kemandirian pesantren dalam hal ekonomi. Oleh karena itu, pihaknya juga mengembangkan platform untuk membantu pesantren berjualan produk halal.
“Kita Bank Indonesia tidak masuk kepada area fikihnya, atau yang diajarkan karena memang bukan keahlian BI di situ, tapi BI mendukung unit ekonominya agar dapat berkontribusi kepada ekonomi syariah secara umum,” ujarnya.
Peran Dana Sosial Islam
Selain dapat membantu kemandirian, ekonomi syariah dapat membantu mengingkatkan inklusi keuangan melalui dana sosial Islam. Menurut Rifki, ada kelompok masyarakat tertentu yang bankable dapat dibiayai oleh bank. Jika digambarkan dengan piramida, kelompok ini berada di bagian puncak piramida.
Sementara kelompok yang berada di bawah piramida, adalah yang tidak dapat dibiayai oleh bank. Jumlah kelompok ini lebih besar dibandingkan dengan yang bankable.
“Di sinilah keuangan sosial Islam, seperti zakat, wakaf, infak, dan sedekah, masuk dan berperan penting. Keuangan sosial Islam mendukung inklusi keuangan, membantu 25 juta orang yang belum bankable,” jelasnya.
Adanya bantuan dari keauangan sosial Islam, lanjut dia, dapat mendukung inklusi keuangan. Karena, dengan mendapat bantuan dari dana-dana tersebut, masyarakat yang pada awalnya tidak bankable menjadi masyarakat dalam kategori bankable.
“Bank Indonesia memiliki beberapa instrumen kebijakan untuk mendukung keuangan inklusif. Misalnya, ada rasio intermediasi makroprudensial dan financial to value ratio yang digunakan untuk menjaga kinerja lembaga keuangan. Ada juga kebijakan insentif bagi lembaga keuangan yang membiayai UMKM dan sektor-sektor prioritas seperti pertanian, peternakan, dan perikanan,” ujarnya.
Dengan instrumen tersebut, lanjut dia, BI juga mendukung pertumbuhankeuangan inklusif termasuk pemberian insentif untuk sektor-sektor produktif dan green finance. Insentif tersebut diberikan kepada lembaga keuangan yang membiayai UMKM.(*)