KABARBURSA.COM - Fenomena lonjakan pinjaman online (pinjol) di Indonesia kini menjadi sinyal peringatan serius bagi ekonomi rumah tangga. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai outstanding pinjol nasional mencapai Rp101,3 triliun per September 2025, tumbuh lebih dari 22 persen secara tahunan.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai kenaikan tajam pinjol bukan sekadar kemajuan teknologi finansial, tetapi cermin melemahnya daya beli masyarakat.
“Pinjol kini menjadi mesin daya beli masyarakat, bukan lagi alat bantu keuangan. Banyak rumah tangga bertahan hidup dengan utang, bukan dengan pendapatan,” ujar Achmad, Rabu, 12 November 2025.
Achmad mengibaratkan fenomena ini seperti generator darurat yang awalnya menolong saat listrik padam, namun berubah menjadi sumber energi utama. “Jika konsumsi terus dibiayai utang jangka pendek seperti pinjol dan paylater, pertumbuhan ekonomi kehilangan basis yang sehat. Kita tidak sedang tumbuh, kita sedang menunda krisis,” tegasnya.
Menurutnya, *lebih dari separuh pengguna pinjol berasal dari generasi muda berusia 19–34 tahun, kelompok produktif yang kini terbiasa dengan utang instan. Akses mudah dan promosi agresif mendorong konsumsi cepat, sementara pendapatan riil stagnan.
Rasio kredit macet (TWP90) juga meningkat menjadi 2,8 persen pada akhir kuartal III 2025, menandakan tekanan finansial di kalangan pengguna muda. “Generasi muda produktif, tetapi hidup dalam tekanan finansial akibat gaya hidup digital yang tak seimbang dengan pendapatan,” ujar Achmad.
Ia memperingatkan bahwa konsumsi berbasis utang menciptakan ilusi kesejahteraan. “Ekonomi tampak tumbuh, tapi sesungguhnya digerakkan oleh utang yang menggerus daya beli masa depan. Pinjol membuat konsumsi hari ini meningkat, tapi menekan konsumsi esok hari,” ujarnya.
Lebih jauh, Achmad menilai solusi bukan dengan melarang pinjol, melainkan mengembalikan fungsinya ke arah produktif. “Jika pinjol diarahkan untuk mendukung UMKM, petani, dan pelaku usaha kecil, maka pinjaman akan menghasilkan pendapatan, bukan sekadar membiayai konsumsi,” jelasnya.
Ia juga mendorong pemerintah menurunkan beban biaya hidup melalui perbaikan harga pangan, transportasi, dan kesehatan agar masyarakat tidak bergantung pada utang konsumtif. “Saat biaya hidup turun dan pendapatan naik, kebutuhan berutang otomatis berkurang,” kata Achmad.
Sebelumnya diberitakan KabarBursa.com, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperketat pengawasan terhadap delapan perusahaan pinjaman online yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp12,5 miliar. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya OJK, Agusman, menyatakan bahwa otoritas kini melakukan pembinaan dan monitoring ketat terhadap rencana aksi pemenuhan modal minimum melalui injeksi modal dari pemegang saham maupun investor strategis.
Langkah pengawasan tersebut bertujuan menjaga keberlanjutan industri fintech lending agar tetap sehat dan berdaya saing, serta memastikan tata kelola dan perlindungan konsumen berjalan efektif.
Dengan kondisi tersebut, pertumbuhan pesat industri pinjol di satu sisi mendorong inklusi keuangan, namun di sisi lain juga menandakan rapuhnya fondasi daya beli dan ketahanan ekonomi rumah tangga Indonesia.(*)