KABARBURSA.COM - BPJS Ketenagakerjaan menawarkan program Jaminan Hari Tua (JHT) bagi pesertanya, yang memberikan uang tunai saat memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Program ini dibiayai oleh iuran yang dibayarkan oleh pekerja dan perusahaan tempat mereka bekerja.
Setiap bulan, peserta diwajibkan membayar iuran sebesar 5,7 persen dari upah. Perinciannya, 3,7 persen dibayarkan oleh perusahaan dan 2 persen oleh karyawan dari gaji bulanannya. Besaran manfaat JHT yang diterima peserta nantinya akan berbeda-beda, tergantung masa kerja dan besaran gaji bulanan yang diterima.
Untuk memberikan gambaran, bagaimana perhitungan saldo JHT bagi seorang karyawan dengan gaji bulanan Rp5 juta alias Upah Minimum Regional atau UMR yang telah bekerja selama lima tahun? Berdasarkan simulasi yang dilakukan melalui aplikasi Jamsostek Mobile, saldo akhir yang akan diterima adalah sebagai berikut:
- Total Iuran JHT 5 tahun: Rp17.100.000
- Hasil Pengembangan: Rp2.309.470
- Saldo Akhir Tahun ke-5: Rp19.409.470
Perhitungan ini dilakukan dengan beberapa asumsi, antara lain gaji tetap selama lima tahun, iuran perusahaan sebesar 3,7 persen, iuran pekerja sebesar 2 persen, tingkat pengembangan dana 5 persen per tahun, dan iuran dibayarkan tepat pada tanggal 1 setiap bulan.
Hasil simulasi ini memberikan gambaran tentang bagaimana JHT dapat menjadi salah satu bentuk tabungan bagi pekerja untuk masa tua. Namun, perlu diingat bahwa hasil yang didapat bisa berbeda tergantung pada berbagai faktor, termasuk perubahan upah dan hasil pengembangan dana di masa mendatang.
BPJS-TK Belum Beres Iuran Pensiun Tambah Beban
Pemerintah tengah merancang peraturan baru mengenai iuran dana pensiun tambahan yang berpotensi memotong upah pekerja. Namun, rencana ini menghadapi kritik tajam dan penolakan dari berbagai kalangan yang khawatir beban ekonomi mereka akan semakin meningkat.
Para ekonom, ahli jaminan sosial, serta pakar hukum ketenagakerjaan sepakat bahwa penerapan iuran tambahan ini tidak tepat waktu. Tekanan ekonomi yang sudah berat saat ini membuat kebijakan ini menjadi kurang relevan.
Masyarakat kelas menengah, yang diperkirakan akan terdampak oleh kebijakan ini, tengah menghadapi krisis. Selama lima tahun terakhir, sekitar 9,5 juta orang mengalami penurunan kelas sosial.
“Andaikan ada tambahan beban iuran yang harus dipikul pekerja, pemerintah tampaknya mengabaikan laju pertumbuhan upah. Akibatnya, upah riil pekerja akan tergerus dan daya beli pun menurun,” ungkap Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC), Andriko Otang, dikutip Senin 9 September 2024.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa peraturan pemerintah tentang iuran pensiun ini masih dalam tahap perancangan. Dana pensiun tambahan ini direncanakan akan dikelola oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), bukan oleh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK).
Menurut Timboel Siregar, pengamat jaminan sosial, langkah ini mengabaikan fakta bahwa BPJS-TK masih belum optimal. “Kita sudah memiliki jaminan pensiun melalui BPJS-TK yang belum sepenuhnya efektif, namun pemerintah malah menghadirkan program baru yang bersifat wajib,” tegas Timboel.
Bagi beberapa pekerja, penambahan iuran dana pensiun bukanlah prioritas saat ini. Mereka lebih fokus pada masalah yang lebih mendesak seperti kenaikan upah yang tidak sesuai dengan inflasi, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), serta permasalahan jaminan sosial yang ada.
“Potongan-potongan ini semakin menekan kenaikan gaji saya,” keluh Abi, seorang pekerja kelas menengah di Jakarta, yang lebih memilih menyisihkan uangnya untuk dana darurat ketimbang tabungan pensiun.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengingatkan pemerintah agar lebih memperhatikan nasib pekerja.
Kebijakan ini, menurut Esther, mungkin hanya akan memicu spekulasi bahwa pemerintah mencoba meningkatkan pendapatan dengan membebani masyarakat di tengah ruang fiskal yang semakin sempit.
OJK menjelaskan bahwa rencana ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Namun, batas pendapatan yang dikenakan iuran wajib belum ditentukan karena Peraturan Pemerintah (PP) terkait masih dalam proses penyusunan.
Menurut Ogi Prastomiyono dari OJK, manfaat dari dana pensiun tambahan ini akan serupa dengan Jaminan Pensiun (JP) BPJS-TK, yang disalurkan secara rutin setiap bulan setelah pensiun. Ini berbeda dengan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS-TK yang dapat dicairkan secara tunai sekaligus.
Namun, kritikus seperti Andriko Otang dan Timboel Siregar mencatat bahwa jika dana pensiun tambahan dikelola oleh DPPK, maka pekerja mungkin harus membayar iuran ke dua lembaga pengelola yang berbeda. Hal ini bisa menambah beban pekerja dan menimbulkan ketidakpastian dalam pengelolaan dana pensiun.
Timboel juga menggarisbawahi bahwa DPPK lebih berorientasi pada profit, berbeda dengan BPJS yang bertanggung jawab langsung di bawah presiden. Kegagalan investasi di DPPK bisa mengancam kestabilan dana pensiun.
Menurut Andriko Otang, reaksi yang muncul dari kalangan pekerja adalah hal yang wajar mengingat prioritas mereka saat ini adalah kebutuhan jangka pendek. Penerapan iuran tambahan harus mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat.
Secara prinsip, perbaikan dalam iuran pensiun memang diperlukan, namun Andriko dan Timboel sepakat bahwa integrasi dengan sistem yang sudah ada di BPJS-TK mungkin merupakan solusi yang lebih tepat daripada menciptakan program baru yang terpisah. (*)