Logo
>

Menyoal ARII yang Cuan dari Luar Dapur

Laba bersih ARII tampak menggiurkan, tapi sebagian besar bukan dari bisnis inti batu bara. Analis peringatkan potensi ilusi kinerja riil perusahaan.

Ditulis oleh Dian Finka
Menyoal ARII yang Cuan dari Luar Dapur
Aktivitas armada angkut batu bara di salah satu area tambang milik PT Atlas Resources Tbk (ARII). Sumber: Foto: Situs resmi ARII (atlas-coal.co.id)

KABARBURSA.COM – Laporan keuangan PT Atlas Resources Tbk (ARII) mencetak angka mencolok: laba bersih USD38 juta sepanjang 2024 dan USD11 juta pada kuartal I tahun ini. Tapi di balik angka yang tampak menggiurkan itu, ada sesuatu yang janggal. Laba ARII sebagian besar bukan datang dari dapurnya alias bukan hasil jualan batu bara—melainkan dari pos “pendapatan lain-lain” yang nilainya justru melampaui marjin usaha utamanya.

Di tengah tren suku bunga tinggi dan volatilitas harga komoditas, fenomena seperti ini menjadi sorotan analis. Pengamat pasar uang yang juga analis pasar modal, Ibrahim Assuaibi, mengingatkan investor untuk tidak mudah terbuai oleh angka laba bersih ARII. Menurutnya, dari perspektif makroekonomi, laporan keuangan seperti itu perlu dicermati lebih dalam karena bisa menyesatkan persepsi tentang kinerja riil perusahaan.

“Sebenarnya kalau dilihat secara makro, ya ini tidak baik,” ujar analis pasar uang Ibrahim Assuaibi kepada KabarBursa.com, Jumat, 20 Juni 2025.

ARII merupakan pemain lama di sektor tambang batu bara. Bisnis utamanya mencakup ekspor-impor dan perdagangan batubara padat (termasuk briket), serta pengelolaan transportasi pertambangan. ARII memiliki jaringan tambang yang tersebar di enam hub besar: Kukar, Berau, Kubar, Mutiara, Oku, dan Papua, dengan India (26 persen) dan China (23 persen) sebagai pasar ekspor utama. Penjualan domestiknya hanya 10 persen dari total volume.

Perusahaan juga memasok batu bara ke tiga pembangkit listrik milik PLN melalui kontrak jangka panjang. Secara konsesi, ARII menguasai lahan tambang lebih dari 200 ribu hektare. Namun, besarnya konsesi dan skala ekspor tidak serta-merta mencerminkan kekuatan keuangan yang solid.

Dalam laporan keuangan tahunan 2024, ARII membukukan laba bersih hanya sebesar USD816 ribu, atau setara Rp13,3 miliar dengan asumsi kurs Rp16.400. Angka ini jauh lebih kecil dibanding persepsi yang muncul di sejumlah sekuritas yang menampilkan laba bersih hingga Rp21 miliar.

Secara fundamental, data dari laporan keuangan resmi memperlihatkan bahwa sepanjang 2024, ARII meraup pendapatan usaha sebesar USD315 juta, namun justru mencetak rugi kotor dari bisnis batu bara sebesar USD4,78 juta. Untung bersih perusahaan hanya bisa tercapai berkat kontribusi dari segmen “lain-lain” yang menyumbang laba kotor USD21,3 juta dan pos “lain-lain – bersih” senilai USD8,5 juta di laporan laba rugi konsolidasian. Dengan kata lain, bisnis inti perusahaan—yakni penjualan batu bara—tidak menghasilkan margin yang positif.

Hal ini memperkuat temuan bahwa laba ARII tahun 2024 bukan berasal dari kekuatan operasional tambang, melainkan dari aktivitas pendukung dan pendapatan non-operasional. Di tengah beban usaha yang tinggi (USD21 juta) dan biaya bunga yang mencapai USD3,4 juta, keberadaan pendapatan di luar sektor inti menjadi penentu utama selamatnya angka EPS, meski hanya di kisaran USD0,00039 per saham.

Sementara pada kuartal I 2025, ARII mencetak laba bersih sebesar USD11,3 juta atau setara Rp186 miliar. Angka ini melonjak tajam dibanding kerugian USD3,15 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, bila ditelusuri lebih dalam, lonjakan laba ini didorong oleh pendapatan lain-lain sebesar USD12,6 juta, yang bahkan lebih besar daripada laba kotor perusahaan. Tanpa pos ini, kinerja operasional ARII tetap akan mencatat rugi bersih.

Menurut Ibrahim, laporan laba bersih yang tidak ditopang oleh kinerja operasional bisa menciptakan ilusi kinerja yang sehat padahal margin usaha utama sangat tipis.

Ibrahim mencontohkan, kondisi seperti ini pernah terjadi juga di sektor lain seperti perbankan. Tapi setidaknya, kata Ibrahim, “Perbankan hanya fokus terhadap debitur, deposito, dan lain-lain … Kalau bicara soal batu bara, ini sektor berisiko tinggi. Saat harga naik, perusahaan diuntungkan. Tapi saat turun, sangat merugikan. Maka itu, kalau laba besarnya datang dari sumber di luar bisnis inti, investor sebaiknya hati-hati.”

Ibrahim mengakui, praktik subsidi silang antarunit usaha dalam satu grup lazim terjadi di dunia korporasi. Namun, jika kontribusinya terhadap laba terlalu dominan, pasar patut curiga.

Menurut dia, investor ritel kerap terpaku pada angka-angka di permukaan. Selama laba bersih dan EPS terlihat kinclong, banyak yang enggan menyigi lebih dalam—padahal struktur pendapatan dan sumber cuan seharusnya menjadi perhatian utama.

“Investor retail biasanya melihat pergerakan harga saham dan laporan singkat. Kalau EPS bagus, mereka anggap perusahaannya oke. Padahal harus dicek, pertumbuhan kuartalannya bagaimana? Sumber labanya dari mana? Ini penting untuk membedakan yang sehat secara fundamental dan yang hanya kelihatan untung sesaat,” jelasnya.

Menurut Ibrahim, jika fenomena seperti ini banyak ditemukan di emiten-emiten lain, maka kepercayaan investor terhadap transparansi pasar saham Indonesia bisa tergerus. Terlebih jika informasi seperti itu tidak diungkapkan dengan baik atau dibungkus dengan narasi positif yang menyesatkan.

Makro Baik Belum Tentu Mikro Kuat

Ibrahim menekankan pentingnya membedakan kondisi makroekonomi yang kuat dengan fundamental korporasi yang belum tentu selaras. 
Ia mencontohkan, meskipun inflasi terkendali dan pertumbuhan ekonomi stabil, tidak semua emiten mencerminkan hal tersebut dalam laporan keuangannya.

“Jadi jangan terjebak dengan euforia pasar. Satu-satunya cara melindungi diri adalah dengan membaca laporan keuangan secara menyeluruh. Kalau sumber laba bukan dari core business, itu lampu kuning,” ujarnya.

Ibrahim menyarankan agar otoritas pasar dan pelaku industri turut meningkatkan edukasi kepada investor ritel mengenai cara membaca laporan keuangan yang benar. Menurutnya, ketahanan pasar modal tidak bisa hanya bertumpu pada pertumbuhan jumlah investor, tapi juga pada kualitas keputusan investasi mereka.

“Pasar yang sehat itu pasar yang transparan. Kalau banyak investor tidak tahu cara bedakan laba operasional dan pendapatan non-recurring, itu bisa jadi masalah sistemik dalam jangka panjang,” kata Ibrahim.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.