Logo
>

OPEC+ Naikkan Produksi, tapi Pasokan Masih Seret di Pasar Minyak

Lonjakan produksi OPEC+ sejak April belum cukup angkat stok global, tandakan permintaan minyak masih tinggi di tengah tensi dagang AS.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
OPEC+ Naikkan Produksi, tapi Pasokan Masih Seret di Pasar Minyak
Gedung markas Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria. Meski OPEC+ naikkan suplai, pasar minyak tetap ketat. Permintaan global tinggi, China dan AS jadi pendorong konsumsi jelang akhir tahun. Foto: Zamoto Media/Facebook

KABARBURSA.COM – Meski negara-negara OPEC+ terus meningkatkan produksi, cadangan minyak global ternyata tak banyak bertambah. Hal ini menandakan bahwa permintaan dunia masih sangat tinggi terhadap minyak mentah.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya seperti Rusia—yang tergabung dalam kelompok OPEC+—selama beberapa tahun terakhir memang memangkas produksi demi menopang harga. Namun, sejak tahun ini, arah kebijakan itu berbalik. Di tengah tekanan Presiden AS Donald Trump yang meminta harga bensin ditekan, OPEC+ memilih membuka keran produksi demi merebut kembali pangsa pasar.

Langkah itu dimulai sejak April 2025, ketika OPEC+ mencabut pemangkasan sebesar 2,17 juta barel per hari (bph). Produksi pun naik bertahap, dimulai 138 ribu bph di April, disusul kenaikan 411 ribu bph masing-masing pada Mei, Juni, dan Juli. Kenaikan berikutnya, sebesar 548 ribu bph, sudah disetujui untuk Agustus. Sumber Reuters menyebut kelompok ini akan kembali menyetujui lonjakan signifikan pada September.

Namun menurut Menteri Energi Uni Emirat Arab, Suhail al-Mazrouei, lonjakan produksi selama beberapa bulan terakhir tidak menghasilkan kelebihan pasokan. “Tidak ada peningkatan besar di inventori. Artinya, pasar memang butuh tambahan pasokan itu,” ujarnya seperti dikutip Reuters di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2025.

Meski diwarnai tensi perang dagang dan tarif AS, permintaan global tetap solid. CEO raksasa migas Saudi Aramco, Amin Nasser, menyebut permintaan global diperkirakan tumbuh 1,2 hingga 1,3 juta bph hingga akhir tahun. Lonjakan konsumsi bensin di AS serta permintaan sektor petrokimia China menjadi pendorong utama.

Hal senada diungkapkan CEO Kuwait Petroleum Corporation, Shaikh Nawaf Al-Sabah. Ia menyebut pembeli asal China dan Jepang terus meningkatkan permintaan yang mencerminkan tingginya kebutuhan minyak mentah di Asia.

Alasan OPEC+ kembali mendongkrak produksi, menurut sumber Reuters, salah satunya karena mereka ingin merebut kembali pangsa pasar dari pesaing seperti AS.

Namun, ada sinyal produksi non-OPEC bakal mulai stagnan. CEO BP, Murray Auchincloss, menyebut produksi minyak di luar OPEC yang sempat mencapai rekor tahun ini kemungkinan melandai tahun depan. Ia juga melihat pasar fisik minyak saat ini sedang ketat, sementara China justru meningkatkan cadangan nasionalnya.

CEO Shell, Wael Sawan, lebih menyoroti masalah laju penurunan cadangan lapangan minyak yang mencapai 4–5 persen per tahun. Artinya, investasi baru mutlak dibutuhkan untuk menjaga suplai.

Namun tak semua eksekutif satu pandangan. CEO TotalEnergies, Patrick Pouyanne, justru menyebut pasar saat ini masih cukup stabil, mengingat pertumbuhan permintaan China melambat dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan tambahan kenaikan produksi tersebut, OPEC+ kemungkinan akan menuntaskan pencabutan pemangkasan 2,17 juta bph pada September. Selain itu, UAE juga diberikan ruang untuk menaikkan produksi secara terpisah sebesar 300 ribu bph.

Adapun pemangkasan lain yang masih berjalan saat ini sebesar 3,65 juta bph, terdiri dari 1,65 juta bph pemotongan sukarela oleh delapan negara anggota, serta 2 juta bph dari seluruh anggota. Skema pemangkasan ini akan tetap berlaku hingga akhir 2026.

Emiten Migas RI bida Ikut Panen, Asal Harga Minyak Bertahan

Keputusan OPEC+ untuk kembali menaikkan produksi minyak dunia ternyata belum berdampak pada lonjakan stok global. Justru sebaliknya, permintaan yang tinggi membuat pasokan tambahan itu langsung terserap pasar. Indikasi ini diutarakan Menteri Energi Uni Emirat Arab, Suhail al-Mazrouei, yang menegaskan bahwa tidak ada penumpukan inventori meski OPEC+ telah menambah produksi selama empat bulan berturut-turut.

Kondisi ini memperlihatkan pasar minyak global sedang mengalami keketatan suplai. Apalagi sejumlah analis, termasuk CEO Aramco, Amin Nasser, memperkirakan permintaan minyak akan terus naik 1,2–1,3 juta barel per hari hingga akhir tahun karena didorong oleh konsumsi bensin di Amerika Serikat dan geliat sektor petrokimia di China.

Bagi investor pasar modal di Indonesia, situasi ini menjadi alarm penting. Sebab, harga minyak mentah dunia adalah salah satu penggerak utama saham-saham energi domestik. Emiten seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Elnusa Tbk (ELSA), punya sensitivitas tinggi terhadap fluktuasi harga minyak global.

Secara historis, setiap kenaikan harga minyak berpotensi mendorong perbaikan margin pada emiten eksplorasi dan produksi (E&P). Pendapatan MEDC, misalnya, sangat berkorelasi dengan harga minyak karena sebagian besar revenue mereka berasal dari penjualan minyak dan gas di pasar ekspor maupun domestik.

Hal ini sesuai dengan temuan dari artikel ilmiah berjudul Oil Price Shocks and Stock Market Returns: Evidence from Oil-Exporting Countries karya Mohd Yusuf Abduh, Nur Azura Sanusi, dan Mohd Zubir Embong. Artikel yang dipublikasikan dalam International Journal of Energy Economics and Policy (Vol. 8, Issue 4, tahun 2018) itu menyimpulkan bahwa guncangan harga minyak memiliki dampak positif terhadap return saham di negara-negara pengekspor minyak.

Penelitian tersebut juga menekankan bahwa dampaknya tidak simetris—kenaikan harga minyak punya efek lebih kuat ketimbang penurunannya. Dalam konteks Indonesia, yang meskipun bukan eksportir utama tapi memiliki sektor hulu migas yang besar, teori ini tetap bisa digunakan untuk membaca potensi pergerakan harga saham energi.

Tiga Hal yang Patut Dicermati
 

1. Sentimen Harga Komoditas

Jika tren penguatan harga minyak berlanjut akibat rendahnya stok dan permintaan yang tinggi, saham-saham energi bisa melanjutkan reli. Data OPEC+ menyebutkan tambahan pasokan akan terus terjadi hingga September, namun belum cukup untuk mengimbangi kenaikan permintaan global.

2. Kebijakan Domestik dan Capex

Emiten seperti MEDC dan ENRG juga terdorong untuk memperluas produksi bila harga minyak bertahan tinggi. Namun ini sangat tergantung pada sinyal kebijakan pemerintah dan kemampuan modal ekspansi perusahaan.

3. Risiko Eksternal

Ketegangan geopolitik, perubahan arah kebijakan suku bunga AS, serta potensi lonjakan produksi dari rival seperti AS dapat menjadi faktor pembalik tren harga. OPEC+ sendiri masih mempertahankan pemangkasan sukarela sebesar 3,65 juta barel per hari hingga 2026. Jika relaksasi pasokan makin longgar, potensi koreksi harga minyak bisa terjadi.

Dengan membaca sinyal-sinyal ini, investor perlu lebih jeli menakar timing dan strategi masuk ke saham-saham energi. Yang jelas, selama permintaan dunia tak melandai dan harga minyak bertahan tinggi, emiten migas nasional masih punya peluang besar untuk mencetak laba jumbo.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).