KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan keyakinannya untuk mencapai target rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) sebesar Rp13,5 triliun pada tahun 2025.
Optimisme tersebut muncul di tengah tren positif likuiditas pasar dalam beberapa pekan terakhir, termasuk dari meningkatnya partisipasi investor domestik.
“RNTH kami sudah naik ke Rp13,19 triliun secara year-to-date, dengan minggu ini sempat menyentuh Rp16,54 triliun. Ini indikasi positif menuju target tahunan,” ujar Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy, melalui keterangan resmi dikutip Selasa, 22 Juli 2025.
Sepanjang pekan lalu, nilai transaksi harian memang tercatat masih sekitar Rp11,08 triliun. Namun secara kumulatif sejak awal tahun, BEI sudah membukukan RNTH Rp13,07 triliun.
Angka itu kemudian meningkat menjadi Rp13,19 triliun pada periode 14 sampai 17 Juli 2025. Tren bulanan juga menunjukkan arah kenaikan konsisten sejak April, bahkan sempat menyentuh Rp13,29 triliun di bulan Juni.
Momentum tersebut didukung beberapa faktor eksternal seperti penurunan suku bunga Bank Indonesia, stabilitas rupiah, serta progres positif dalam negosiasi tarif perdagangan Indonesia-Amerika Serikat.
Terkait dengan dinamika pasar pasca ketegangan dagang global akibat kebijakan tarif Amerika Serikat awal April lalu, Irvan menilai program buyback saham oleh sejumlah emiten terbukti cukup strategis dalam menjaga stabilitas harga saham mereka.
“Buyback memang tidak selalu langsung membalikkan harga saham, tapi sangat membantu menjaga stabilitas dan menunjukkan kepercayaan manajemen terhadap kinerja jangka panjang,” kata Irvan.
Langkah-langkah tersebut turut memperkuat persepsi positif pasar terhadap komitmen emiten menjaga nilai perusahaan di tengah tekanan eksternal.
Sementara itu, jumlah investor pasar modal Indonesia terus mengalami lonjakan signifikan. Hingga akhir Juni 2025, total investor mencapai 16,998 juta, di mana 16,948 juta di antaranya merupakan investor ritel domestik. Dari angka tersebut, sekitar 179 ribu investor tercatat aktif bertransaksi setiap hari.
“Investor ritel sekarang menyumbang 44 persen dari total transaksi, jauh lebih aktif dibanding era sebelum pandemi,” ujar Irvan.
BEI pun terus menggiatkan edukasi kepada investor melalui media sosial, kantor perwakilan, galeri investasi, hingga program duta pasar modal untuk meningkatkan keterlibatan investor yang saat ini masih pasif.
Lonjakan jumlah investor ritel ini juga sejalan dengan peningkatan indikator likuiditas pasar. Jika pada tahun 2019 jumlah investor hanya sekitar 2,5 juta, kini telah tumbuh hampir enam kali lipat.
Dampaknya terlihat pada volume, frekuensi, dan nilai transaksi harian, terutama sejak 2020 hingga pertengahan 2025, meski sempat melandai pada 2023 akibat normalisasi pasca-pandemi.
Jumlah Kepemilikan Asing dan Domestik Berimbang
Mengenai pengaruh investor asing, Irvan menyampaikan bahwa struktur pasar sudah jauh lebih berimbang.
“Kepemilikan asing sekarang 45,91 persen, turun dari 63,79 persen di 2015. Ini artinya pasar lebih tahan guncangan karena dominasi lokal meningkat,” ujarnya.
Per Juni 2025, investor domestik ritel menguasai 18,2 persen dari total kepemilikan saham, meningkat signifikan dari 6,5 persen pada 2015. Sementara investor institusi domestik memegang 38,2 persen, juga naik dari 30,1 persen satu dekade lalu.
Dengan demikian, total kepemilikan investor domestik kini mencapai 56,4 persen, menunjukkan dominasi yang semakin kuat dibanding investor asing.
“Memang investor asing masih besar di saham-saham big cap, tapi peran domestik, baik institusi maupun ritel, makin signifikan. Kita harapkan keseimbangan ini terus meningkat agar pasar lebih resilien,” tambah Irvan.
Untuk terus memperkuat likuiditas dan daya saing bursa, BEI menyiapkan sejumlah inisiatif yang akan dijalankan dalam waktu dekat, termasuk pengaktifan kembali fasilitas short selling pada September 2025, serta penunjukan liquidity provider untuk saham-saham tertentu.
“Short selling akan membuka peluang hedging dan meningkatkan transaksi. Sementara liquidity provider akan membantu menurunkan spread dari rata-rata 3,26 tick menjadi 2 tick,” kata Irvan.
Selain itu, BEI juga menambah jumlah saham yang bisa dijadikan underlying untuk produk single stock futures. Jika sebelumnya hanya tersedia lima saham, kini menjadi sepuluh, yakni Astra International Tbk (ASII), Bank Central Asia Tbk (BBCA), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Kemudian, Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), Telkom Indonesia Tbk (TLKM), Alfamart Tbk (AMRT), Aneka Tambang Tbk (ANTM), Barito Pacific Tbk (BRPT), Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
Penambahan ini diharapkan dapat memperluas opsi strategi investasi bagi pelaku pasar derivatif sekaligus menarik lebih banyak investor untuk berpartisipasi di pasar saham.
“Kami ingin agar pasar kita lebih likuid, lebih efisien, dan lebih kompetitif secara regional. Semua inisiatif ini menuju ke sana,” ujar Irvan.(*)