KABARBURSA.COM - Dolar AS kembali tersungkur pada perdagangan Jumat pagi WIB, 14 November 2025. Pelemahan ini menandai babak baru yang sangat dipengaruhi oleh berakhirnya shutdown terpanjang dalam sejarah pemerintahan AS.
Alih-alih pulih setelah ketidakpastian politik mereda, greenback justru kehilangan pijakan karena pasar kini beralih menghadapi konsekuensi nyata dari berhentinya pemerintahan selama 43 hari, yaitu rusaknya aliran data ekonomi dan pudarnya kepercayaan terhadap kredibilitas indikator makro AS.
Shutdown yang menghentikan layanan vital, mulai dari lalu lintas udara hingga bantuan pangan, dan membuat lebih dari satu juta pegawai federal tidak menerima gaji, menciptakan kekosongan informasi yang membuat analis gelisah.
Indeks DXY turun 0,35 persen ke 99,14, menandai tekanan yang cukup terukur namun signifikan. Euro menguat 0,4 persen ke USD1,1638, menembus tren turun sejak September dan menunjukkan bahwa sentimen terhadap mata uang Eropa mulai membaik di tengah melemahnya dolar.
Yen juga menguat 0,22 persen terhadap dolar setelah sebelumnya sempat mencapai titik terlemah dalam sembilan bulan. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengenai preferensi suku bunga rendah dan koordinasi dengan BOJ sempat mendorong pelemahan yen.
Akan tetapi, intervensi verbal dari Menteri Keuangan Satsuki Katayama, cukup untuk menahan tekanan, setidaknya sementara.
Greenback sejatinya sempat mendapatkan momentum ketika Jerome Powell bulan lalu memberi sinyal bahwa pemangkasan Desember bukan kepastian. Namun dukungan itu cepat memudar karena pasar membaca pesan yang lebih besar.
Namun dinamika yen tetap sensitif. Kombinasi tekanan pasar dan kekhawatiran pemerintah Jepang dapat mendorong BOJ menaikkan suku bunga bulan depan, meski probabilitasnya hanya sekitar 24 persen.
Ketidakpastian ini membuat pergerakan yen terhadap dolar semakin fluktuatif, ditambah fakta bahwa yen menyentuh level terlemah terhadap euro sejak 1999—menandakan terjadinya ketidakseimbangan besar di pasar valuta.
Di Eropa, poundsterling berhasil menguat meski ekonomi Inggris hampir stagnan pada kuartal ketiga. Data yang terdistorsi akibat serangan siber pada September ternyata tidak menghalangi sterling untuk naik 0,47 persen ke USD1,3192.
Di sisi lain, dolar Australia sempat terangkat oleh penurunan tajam tingkat pengangguran, tetapi kemudian melemah kembali menjadi USD0,653 setelah pasar menilai bahwa tekanan kebijakan masih panjang.
Secara keseluruhan, pelemahan dolar kali ini bukan sekadar reaksi spontan terhadap berakhirnya shutdown, melainkan refleksi dari ketidakpercayaan yang terakumulasi. Pasar menghadapi pertanyaan besar mengenai kualitas data ekonomi AS, ketidakselarasan pandangan pejabat The Fed, serta ketidakjelasan arah suku bunga dalam beberapa bulan ke depan.
Sementara mata uang-mata uang utama lain mulai menemukan pijakannya masing-masing, dolar justru memasuki fase di mana setiap reli tampak rapuh dan setiap tekanan eksternal langsung terasa.
Greenback, yang selama berdekade menjadi simbol kestabilan, kini berada dalam situasi paradoks, bahwa shutdown telah usai, tetapi ketidakpastian yang ditinggalkannya justru membuat pasar ragu apakah dolar mampu memimpin kembali.(*)