KABARBURSA.COM – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) kini sedang berseteru dengan Gunvor Pte Ltd Singapore dalam sebuah sengketa hukum yang berujung pada arbitrase. Masalah ini bukan sekadar cekcok bisnis biasa, tapi melibatkan angka yang tidak main-main. Direktur Utama PGAS, Arief Setiawan Handoko, pun turun tangan dengan strategi baru, yakni mengganti tim hukum yang lebih agresif.
“Sebelumnya, tim hukum kami kurang agresif. Sekarang, kami sudah memiliki pengacara yang lebih berani dalam menghadapi kasus ini,” ujar Arief dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Maret 2025.
Masalahnya bermula dari kewajiban PGAS mengirim tujuh kargo LNG ke Gunvor pada 2024. Pengiriman pertama lancar. Tapi ketika PGAS siap mengirim kargo ketiga hingga kelima, Gunvor malah menolak dengan alasan sudah dapat pasokan dari sumber lain. “Seharusnya, mereka membeli dari kami dan menunjukkan siapa pembeli akhirnya melalui sales purchase agreement. Sampai sekarang, mereka belum bisa memberikan bukti,” jelas Arief.
Yang bikin tambah pelik, dalam perjanjian awal, LNG dari PGAS seharusnya dikirim ke Jepang. Tapi entah bagaimana, Gunvor malah mendistribusikan gas tersebut ke China dan Korea. Hal ini jadi salah satu kartu truf PGAS dalam arbitrase yang tengah berjalan. “Kami masih optimis, peluang kami dalam arbitrase ini 50-50,” ujar Arief.
Lalu, bagaimana dengan klaim kerugian yang disebut-sebut mencapai Rp22 triliun? Arief menegaskan angka itu baru jadi kenyataan jika PGAS benar-benar terbukti lalai dalam menjalankan kontrak. “Sampai saat ini, klaim terbaru dari Gunvor mencapai USD74 juta atau sekitar Rp1 triliun,” tukasnya.
Jadi, kasus ini belum tentu berakhir buruk bagi PGAS. Namun, dengan nominal sebesar itu dan arbitrase internasional di depan mata, pertarungan hukum ini jelas bukan sekadar urusan bisnis biasa.
DPR Soroti Kerugian Negara dari Proyek PGAS
Dengan sengketa PGAS dan Gunvor yang masih bergulir, perhatian DPR juga tertuju pada persoalan proyek infrastruktur gas yang bermasalah dan berujung pada potensi kerugian negara, salah satunya Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung.
Dalam rapat bersama Komisi VI DPR, Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, sebelumnya mengungkap tiga persoalan utama: proyek gas alam cair yang mangkrak, akuisisi migas oleh PT Saka Energi Indonesia yang dinilai terlalu mahal, serta kerja sama kontroversial antara PGAS dan Gunvor Pte Ltd Singapore.
Salah satu kasus yang kembali mencuat adalah proyek FSRU Lampung, yang dianggap gagal beroperasi secara optimal dan justru menjadi beban bagi keuangan perusahaan.
“Saya sudah memperjuangkan pengungkapan kasus FSRU Lampung sejak 2018. Ini bukan masalah baru, tapi sampai sekarang dampaknya masih membebani keuangan perusahaan dan negara,” ujar Rieke dalam rapat yang sama.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2017 hingga semester I 2022 juga menyoroti proyek FSRU Lampung serta terminal gas alam cair di Teluk Lamong, Surabaya. Kedua proyek ini mengalami berbagai kendala serius yang berujung pada potensi kerugian besar. Salah satu masalah utama adalah ketidaksiapan pasar serta manajemen yang dinilai buruk, menyebabkan fasilitas yang sudah dibangun tidak dapat beroperasi maksimal.
FSRU Lampung awalnya dirancang untuk mendukung ketahanan energi nasional, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 2011, yang menugaskan PGAS mengembangkan infrastruktur gas. Namun, proyek ini mengalami perubahan mendadak saat lokasi awal yang direncanakan di Belawan justru dipindahkan ke Lampung atas keputusan Kementerian BUMN. Masalahnya, tidak ada kepastian pasar yang akan menyerap pasokan gas dari fasilitas tersebut. Akibatnya, PGAS harus menanggung biaya operasional besar, sementara utilisasi fasilitas ini sangat rendah.
Masalah ini pun sempat masuk dalam radar penegak hukum. Pada 2016, Kejaksaan Agung mulai menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek FSRU Lampung, bahkan sempat mencekal salah satu petinggi PGN saat itu. Namun, penyelidikan dihentikan setelah Kejagung menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada April 2017, meskipun BPK telah mengungkap indikasi kerugian negara yang signifikan.
Namun, kasus ini tidak berhenti begitu saja. Pada April 2023, BPK kembali menyerahkan laporan audit terbaru ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan tersebut mengungkap 16 temuan dalam pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi PGAS periode 2017-2022. Salah satu poin utama adalah kerugian operasional dari proyek FSRU Lampung serta terminal LNG Teluk Lamong. Meski laporan telah diberikan ke KPK, hingga kini belum ada perkembangan signifikan terkait proses hukumnya.
Selain menyoroti FSRU Lampung, Rieke juga mengkritisi kebijakan akuisisi yang dilakukan PT Saka Energi Indonesia pada 2013-2015. Menurutnya, perusahaan itu membeli blok migas dengan harga yang jauh lebih tinggi dari nilai pasar, sehingga menambah beban keuangan.
“Laporan BPK menyebutkan bahwa akuisisi tiga blok migas—Ketapang, Pangkah, dan Fasken, Texas—dilakukan dengan harga yang lebih tinggi dari seharusnya. Total kelebihan pembelian mencapai ratusan juta dolar,” ungkapnya.(*)
PGAS vs Gunvor, Sengketa LNG yang Bisa Rugikan Rp1 Triliun
PGAS berseteru dengan Gunvor dalam sengketa LNG yang berujung arbitrase. DPR juga menyoroti proyek FSRU Lampung dan akuisisi migas Saka Energi yang dinilai merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Ditulis oleh
Dian Finka
•
