KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto akan memaksa pengemplang pajak sawit agar menyetorkan uang ke negara sebesar Rp300 triliun.
Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim S Djojohadikusumo mengatakan negara akan mendapat potensi pemasukan hingga Rp300 triliun dari pengusaha sawit, yang mengemplang pajak atau tidak membayar pajak.
Dia memastikan, dalam waktu dekat para para pengusaha pengemplang pajak tersebut akan menyetor Rp189 triliun untuk tahap pertama.
"Sudah dilaporkan ke Pak Prabowo, yang segera bisa dibayar Rp189 triliun dalam waktu singkat. Tahun ini atau tahun depan, bisa tambah Rp120 triliun lagi, sehingga Rp300 triliun itu masuk ke kas negara," kata Hashim di Jakarta, Kamis, 24 Oktober 2024.
Hashim mengungkapkan, para pengusaha yang melanggar pajak tersebut, tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak memiliki rekening di Indonesia.
Lebih spesifik lagi dia menyebutkan, yang tidak memiliki NPWP sekitar 25 pengusaha, dan 15 pengusaha yang tidak mempunyai rekening bank yang berada di Indonesia.
Bahkan, lanjut Hashim, Kejaksaan Agung sudah siap bertindak jika para pengusaha nakal itu menyetorkan uang pajak ke negara.
"Jaksa Agung Muda sudah siap bertindak. Mudah-mudahan para pengusaha nakal itu enggak ada di Kadin. Ada 300 lebih pengusaha yang nakal," ujar adik kandung Prabowo Subianto ini.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) siap memberi penjelasan kepada pemerintahan baru mengenai persoalan industri kelapa sawit hingga duduk persoalan tudingan pengusaha kelapa sawit yang belum membayar pajak.
Ketua GAPKI Eddy Martono berharap pihaknya segera dapat bertemu dengan Presiden Prabowo untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, hingga muncul isu tersebut.
"Bukan hanya persoalan ini saja, kami juga akan menjelaskan kepada bapak Presiden (Prabowo Subianto) secara keseluruhan tantangan yang dihadapi industri sawit baik di dalam maupun di luar negeri," kata Eddy.
Eddy menekankan, GAPKI selalu mendengarkan berbagai masukan dari pemerintah termasuk tudingan adanya pengusaha sawit nakal yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun.
Karena itu, GAPKI berharap segera bisa menghadap Prabowo untuk menjelaskan berbagai potensi strategis, tantangan termasuk tudingan dugaan kebocoran keuangan di industri kepala sawit tersebut.
Menurut Eddy, isu kebocoran ini sebenarnya merupakan kasus keterlanjuran adanya lahan perkebunan sawit di kawasan hutan. Lalu terbitlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan UU tersebut pemerintah akhirnya membentuk Tim Satuan Tugas untuk mempercepat penanganan tata kelola industri kelapa sawit, khususnya yang berada di kawasan hutan.
Dalam UU Cipta Kerja Pasal 110A, disebutkan perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.
Ada pula Pasal 110B berisi ketentuan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.
Program Biodiesel Berpotensi Ganggu Ekspor Sawit
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendorong pengembangan biodiesel, khususnya bahan bakar minyak yang dicampur dengan sawit.
Dalam pernyataannya, Prabowo mengungkapkan bahwa tidak hanya program B35 yang akan dilanjutkan, tetapi juga akan dikembangkan hingga mencapai B50 dan B60.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan bahwa rencana tersebut membuka peluang untuk mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Namun, ia menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam pelaksanaan program biodiesel, terutama jika produksi sawit masih stagnan.
Eddy menegaskan keyakinannya bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru dalam menerapkan B50 jika produksi tidak memadai.
“Pemerintah pasti tidak akan gegabah dalam mengimplementasikan B50 selama produksi sawit stagnan,” kata Eddy dalam konferensi pers di Kantor Pusat Gapki, Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2024.
Ia mewanti-wanti, jika tidak dihitung dengan tepat, program biodiesel berpotensi mengganggu ekspor sawit Indonesia, yang pada gilirannya dapat menurunkan devisa negara.
Eddy merinci bahwa jika B50 diterapkan dalam kondisi industri sawit saat ini, diperkirakan ekspor akan turun sekitar 6 juta ton. Sementara itu, jika B60 diterapkan, penurunan ekspor bisa mencapai 10 juta ton.
"Dengan B40 saja, jika diimplementasikan, ekspor kita bisa turun 2 juta ton. Jika kita memaksakan B50, kita berisiko kehilangan 6 juta ton dari rata-rata ekspor yang mencapai 30 juta ton," jelasnya.
Salah satu dampak yang perlu diperhatikan adalah potensi inflasi yang dapat terjadi akibat berkurangnya pasokan ekspor sawit ke pasar global. Eddy menekankan bahwa Indonesia akan merasakan dampak tersebut, terutama dalam harga produk yang berbahan dasar sawit.
"Jika pasokan kita berkurang, harga minyak nabati di dunia akan naik, dan pada akhirnya akan berdampak pada inflasi domestik, mengingat mahalnya produk sawit," tambah Eddy.
Produksi Crude Palm Oil (CPO) pada bulan Agustus 2024 tercatat mencapai 3.986 ribu ton, meningkat 10,2 persen dibandingkan dengan bulan Juli yang hanya mencapai 3.617 ribu ton. Selain itu, produksi Palm Kernel Oil (PKO) juga mengalami kenaikan, menjadi 391 ribu ton dari sebelumnya 344 ribu ton pada bulan Juli.
Namun, secara keseluruhan, produksi tahun 2024 hingga Agustus menunjukkan penurunan 4,86 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, yaitu dari 36.287 ribu ton menjadi 34.522 ribu ton. Total konsumsi dalam negeri juga meningkat, meskipun angka tersebut masih perlu ditelaah lebih dalam.
Konsumsi dalam negeri pada bulan Agustus 2024 tercatat naik menjadi 2.060 ribu ton, naik 30 ribu ton dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh konsumsi pangan yang meningkat sebesar 88 ribu ton, meskipun konsumsi oleokimia mengalami penurunan sebanyak 2 ribu ton dan biodiesel turun 56 ribu ton dari 1.035 ribu ton menjadi 979 ribu ton.
Secara tahunan, konsumsi dalam negeri pada tahun 2024 mencapai 15.571 ribu ton, lebih tinggi 1,94 persen dibandingkan tahun 2023 yang hanya 15.274 ribu ton. Untuk konsumsi pangan, tercatat sebesar 6.665 ribu ton, turun 4,51 persen dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6.980 ribu ton. Sementara itu, konsumsi oleokimia juga menunjukkan penurunan sebesar 1,85 persen dari 1.512 ribu ton menjadi 1.484 ribu ton. Namun, biodiesel justru menunjukkan pertumbuhan dengan mencapai 7.421 ribu ton, naik 9,42 persen dari tahun sebelumnya.
Dari sisi ekspor, terdapat kenaikan signifikan dari 2.241 ribu ton pada bulan Juli menjadi 2.384 ribu ton pada bulan Agustus, atau meningkat sebesar 6,35 persen. Kenaikan tersebut terutama berasal dari produk olahan CPO yang naik sebesar 79 ribu ton menjadi 1.668 ribu ton. CPO mentah juga mengalami peningkatan sebesar 48 ribu ton, menjadi 222 ribu ton, sedangkan produk oleokimia naik 41 ribu ton menjadi 440 ribu ton.
Secara keseluruhan, GAPKI menegaskan bahwa penting untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan potensi ekspor agar program biodiesel tidak merugikan industri sawit Indonesia. Melalui perencanaan yang matang, diharapkan sektor ini dapat terus berkembang tanpa mengorbankan kestabilan ekonomi. (*)