KABARBURSA.COM - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengumumkan bahwa rencana akuisisi perusahaan bioetanol Brasil oleh Pertamina dibatalkan. Ia menegaskan tidak akan ada akuisisi oleh Pertamina.
Sebagai gantinya, pemerintah akan fokus pada penggunaan sumber bioetanol dari produksi dalam negeri untuk bahan bakar ramah lingkungan rendah sulfur.
“Tidak, tidak ada akuisisi. Kita akan gunakan sumber dalam negeri saja,” kata Arifin usai mengikuti rapat internal tentang bioetanol di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu, 10 Juli 2024.
Namun, Arifin menyebutkan bahwa pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk membeli bioetanol dari Brasil jika diperlukan.
“Kalau itu (bioetanol) bisa, kita bisa membeli barangnya,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah masih mengkaji rencana akuisisi perusahaan bioetanol di Brasil.
“Masih kita kaji,” ujarnya.
Airlangga juga menjelaskan bahwa pemerintah sudah membuat roadmap atau peta jalan produksi bioetanol di Merauke, Papua, di mana terdapat rencana pengembangan food estate tebu.
“Kita sudah punya roadmap untuk memproduksi etanol dari pengembangan etanol di Papua, Merauke,” ungkap Airlangga.
Rencana akuisisi perusahaan Brasil ini awalnya diusulkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut pernah mengatakan bahwa pemerintah mengarahkan Pertamina untuk mengakuisisi perusahaan Brasil yang dapat membantu produksi bioetanol sebagai bahan baku bahan bakar ramah lingkungan.
“Presiden (Jokowi) juga sudah memutuskan bahwa Pertamina akan melakukan akuisisi perusahaan di Brasil yang dapat mensuplai gula dan etanol,” kata Luhut dalam acara HUT HIPMI ke-52 di Hotel Fairmont, Jakarta Selatan, Senin, 10 Juni 2024.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut baik rencana ini, menyatakan bahwa sebagai perusahaan multinasional, ekspansi ke luar negeri adalah hal biasa, terutama jika langkah tersebut dapat menguntungkan perusahaan dan negara.
Ekspansi yang direncanakan Pertamina sejalan dengan masa depan ekonomi dan bisnis yang sedang bergerak menuju ekonomi hijau.
“Ini juga untuk melihat masa depan ekonomi dan bisnis, di mana saya kira proses yang dilakukan Pertamina sekarang menuju ke sana,” jelas Jokowi di tempat yang sama.
Jokowi juga menekankan bahwa langkah akuisisi oleh Pertamina harus dikalkulasi dengan matang, termasuk menghitung seberapa besar keuntungan yang bisa diperoleh negara, mengingat Pertamina adalah perusahaan milik negara.
Gantikan Pertalite, Berapa Harga Bioetanol?
Kementerian ESDM menetapkan harga acuan bioetanol di Indonesia senilai Rp14.528 per liter pada 1 Mei 2024. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menilai jika bahan bakar bioetanol menjadi pengganti Pertalite, maka pemerintah harus melakukan penyesuaian harga. Berapa harga yang pantas?
Saleh Abdurrahman, anggota BPH Migas, menyampaikan penyesuaian harga memang perlu dilakukan oleh pemerintah agar mendapatkan harga sesuai guna mendukung penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan secara massal.
“Untuk membuat harga bahan bakar alternatif seperti yang akan menggantikan Pertalite atau Pertamax menjadi lebih terjangkau, langkah yang bisa diambil adalah dengan menghapuskan cukai untuk etanol, bahan baku dari bioetanol. Dukungan seperti ini penting untuk pengembangan bioetanol sebagai bagian dari energi terbarukan, sebagaimana yang telah dilakukan untuk biodiesel,” kata dia, Senin, 6 Mei 2024.
Perlu dicatat bahwa saat ini harga Pertalite, sebuah jenis BBM khusus penugasan (JBKP), didukung oleh skema kompensasi dari anggaran negara, ditetapkan dengan harga tetap Rp10.000 per liter. Sementara itu, harga Pertamax 92, yang seharusnya mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, sedang tetap pada level Rp12.950 per liter hingga Juni.
Di sisi lain, harga Pertamax Green 95, yang juga dikenal sebagai bioetanol non-subsidi atau non-public service obligation (PSO), telah ditetapkan sebesar Rp13.500 per liter di beberapa SPBU Pertamina. Pertamax Green 95 merupakan proyek pilot uji pasar untuk bioetanol komersial pertama yang dicanangkan oleh pemerintah.
Saleh mengemukakan bahwa Indonesia bisa mempertimbangkan kebijakan Malaysia dan Thailand yang memberikan subsidi untuk bahan bakar berkualitas tinggi. Bahkan, menurutnya, Thailand juga memberikan subsidi untuk bioetanol.
Di sisi lain, dengan menghilangkan cukai etanol, harga bahan bakar bioetanol dianggap sudah cukup bersaing untuk menggantikan bahan bakar non-subsidi seperti Pertamax.
“Langkah ini akan membantu dalam menstabilkan harga jual produk Pertamina. Dengan Pertamax Green 95 yang menggunakan bioetanol, bahan bakar tersebut dianggap sebagai jenis bahan bakar umum, sehingga harganya mencerminkan kondisi ekonomi. Namun, kita perlu mencari pilihan terbaik untuk pasokan bioetanol, apakah itu dari dalam negeri atau impor yang terbatas, sampai produksi dalam negeri mencukupi untuk mencampur E5 (etanol 5 persen) atau lebih,” ujarnya.
Saleh mengatakan, usulan penghapusan cukai sebelumnya telah disampaikan oleh PT Pertamina (Persero). Pembahasan mengenai cukai etanol sebelumnya pernah disinggung oleh Pertamina. Perusahaan pelat merah itu meminta pemerintah menghapuskan cukai etanol yang akan digunakan sebagai bahan baku bauran bioetanol untuk bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan, termasuk konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengutarakan produksi bensin bauran bioetanol perseroan saat ini bukan ditujukan untuk mencari untung. Sebab, komoditas etanol masih dikenai cukai Rp20.000 per liter lantaran dianggap sebagai produk alkohol.
“Jadi kami minta pembebasan cukai supaya kita bisa dorong karena manfaatnya sangat besar. Kita melihat dari sisi regulasi sebenarnya sudah ada. Mandatorinya itu dimulai dari 2015 dengan E2 (bauran etanol 2 persen), pada 2016 secara aturan harusnya naik jadi E5, lalu 2020 menjadi E10, dan secara gradual meningkat sampai 2025 itu E20,” ujarnya.
Menurut Kementerian ESDM, pembahasan mengenai penyesuaian cukai etanol, yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam campuran bioetanol untuk menghasilkan bahan bakar yang ramah lingkungan sebagai alternatif untuk Pertalite/Pertamax, masih sedang berlangsung.
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian ESDM, menyatakan bahwa permasalahan terkait cukai etanol belum terselesaikan oleh kementerian yang bertanggung jawab, yaitu Kementerian Keuangan.
Eniya menekankan bahwa penyesuaian kebijakan cukai perlu dilakukan karena etanol sebelumnya belum pernah diperdagangkan sebagai bahan baku untuk bahan bakar, melainkan hanya untuk keperluan lain seperti alkohol.
“Pemerintah masih belum menyelesaikan perihal cukai ini. Kami mengusulkan agar cukai tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebelum langkah selanjutnya,” ujarnya.
Pertamina telah mengonfirmasi keterlibatan mereka dalam Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024.
Sementara itu, CEO PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), John Anis, menyatakan bahwa perusahaan akan memainkan peranannya dalam menyediakan etanol sebagai bahan baku untuk bahan bakar bioetanol, yang dikenal dengan nama Pertamax Green.
Meskipun begitu, John menyebut bahwa perusahaan belum menetapkan secara pasti tingkat research octane number (RON) dari Pertamax Green yang diproduksi dari sumber daya di Merauke, yang akan digunakan sebagai pengganti Pertalite atau Pertamax.
“Pemerintah berharap akan ada campuran dengan etanol, dan etanol akan kami pasok. Kami masih mengevaluasi (RON 95 atau 92) mana yang lebih ideal. Namun, yang pasti, campuran akan dilakukan, dan kami masih dalam tahap mempertimbangkan apakah 10, 15, atau 20 persen? Ini masih menjadi bahan diskusi,” ujar John pada awal pekan sebelumnya.
Selain itu, John memastikan bahwa mereka telah mendengar dan berkomunikasi mengenai rencana pemerintah untuk mengganti Pertalite atau Pertamax dengan bahan bakar bioetanol pada tahun 2027.
Dalam konteks ini, Pertamina akan berusaha mencapai target yang ditetapkan pemerintah untuk menggantikan Pertalite atau Pertamax dengan bahan bakar bioetanol pada tahun 2027. (*)