Logo
>

Saham Blue Chip di Harga Diskon: Kesempatan atau Fatamorgana

IHSG anjlok dan saham blue chip terlihat murah secara historis. Namun, benarkah ini peluang emas bagi investor, atau sekadar fatamorgana di tengah ketidakpastian pasar?

Ditulis oleh Yunila Wati
Saham Blue Chip di Harga Diskon: Kesempatan atau Fatamorgana
Tampilan harga sejumlah emiten di papan chart BEI. Foto: Dok KabarBursa.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan akhir pekan kemarin, 17 Oktober 2025, anjlok tajam hingga -2,57 persen, Penurunan tajam iniseolah membuka “etalase diskon besar-besaran” di lantai bursa. 

    Saham-saham blue chip tampak lebih murah dari biasanya, dengan valuasi yang turun jauh di bawah rata-rata historis lima tahun. Narasi yang kemudian muncul begitu menggoda, inilah saatnya berburu saham unggulan di harga miring. 

    Namun, di balik euforia “diskon” itu, terselip pertanyaan penting, apakah pasar benar-benar sedang menawarkan peluang emas, atau justru sedang memberi sinyal bahaya yang dibungkus dalam tampilan murah?

    Data valuasi per 17 Oktober 2025 yang dikutip dari Stockbit, menunjukkan potret yang menarik. Di permukaan, sektor consumer dan big banks terlihat murah, bahkan sangat murah dibandingkan rata-rata valuasi lima tahun terakhir. 

    Namun, di balik narasi “valuasi menarik” yang begitu menggoda, tersembunyi realitas pasar yang lebih kompleks. Murah belum tentu berarti undervalued, dan koreksi belum tentu berarti peluang emas.

    IHSG yang anjlok -2,57 persen dalam satu hari perdagangan dan mencatat penurunan mingguan hingga -4,14 persen, jelas menandakan tekanan sistemik, bukan sekadar aksi ambil untung biasa. Penurunan lebih dalam pada saham-saham konglomerasi dibandingkan LQ45 yang “hanya” terkoreksi -2,68 persen memang bisa dibaca sebagai tanda investor mulai menyingkir dari saham berisiko tinggi menuju yang lebih defensif. 

    Namun, pergeseran ini lebih menyerupai reaksi panik yang mencari perlindungan, bukan rotasi rasional berdasarkan fundamental.

    Mari bicara soal valuasi yang “terlihat menarik”. ICBP dan INDF, misalnya, diperdagangkan dengan P/E di bawah rata-rata historis mereka, masing-masing di 10,5x dan 5,2x. Di sini ada potensi kenaikan teoretis 20–30 persen jika kembali ke mean. 

    Angka-angka ini menggoda bagi mereka yang percaya pasar selalu kembali ke keseimbangan, namun ekonomi riil tidak sesederhana grafik statistik. Rendahnya valuasi tersebut justru bisa mencerminkan keraguan pasar terhadap prospek pertumbuhan jangka panjang. 

    Tekanan konsumsi masyarakat, ketidakpastian harga bahan baku, dan daya beli yang belum sepenuhnya pulih pasca-kenaikan inflasi tahun sebelumnya, membuat pasar enggan membayar premi yang lebih tinggi untuk sektor consumer.

    Begitu pula dengan KLBF yang terlihat memiliki potensi upside 50 persen, sekilas tampak fantastis. Namun, di dunia pasar modal, upside besar pada valuasi murah sering kali justru menjadi tanda risiko yang tinggi. 

    Investor tidak akan menurunkan valuasi saham hanya karena lupa. Mereka menurunkannya karena ada ketidakpastian yang signifikan terhadap prospek pertumbuhan atau efisiensi operasional di masa depan.

    Sektor perbankan pun mengalami cerita serupa. BBCA, bank terbesar dengan reputasi stabil, kini dihargai P/B 3,04x, jauh di bawah rata-rata lima tahun 4,08x. Narasi yang muncul, “bank premium dengan diskon menarik”. 

    Namun, investor sejati tahu bahwa penurunan valuasi bank besar bukan hanya akibat sentimen negatif sementara, melainkan respons terhadap perlambatan margin bunga (NIM) dan meningkatnya risiko kredit. 

    Proyeksi laba untuk BBRI dan BBNI yang bahkan negatif di 2025F menjadi bukti bahwa optimisme pasar tidak bisa hanya bertumpu pada “valuasi di bawah rata-rata”.

    Adapun langkah BPJS Ketenagakerjaan menambah porsi investasi saham menjadi 10 persen dari total aset yang dikelola memang terdengar bullish. Tetapi perlu dicatat, peningkatan itu masih tergolong konservatif dan tidak serta-merta menunjukkan keyakinan kuat terhadap pemulihan pasar. 

    Institusi seperti BPJS, berinvestasi berdasarkan strategi alokasi aset jangka panjang, bukan karena percaya IHSG sudah mencapai titik dasar. Dengan kata lain, langkah mereka tidak bisa dijadikan indikator kepercayaan pasar secara keseluruhan.

    Sementara itu, dividen yield tinggi di sektor perbankan, seperti BMRI dan BBRI yang mencapai 9 persen, memang memberi kesan defensif. Tetapi jika yield terlalu tinggi karena harga saham jatuh, itu lebih menyerupai alarm daripada peluang. 

    Yield besar yang dihasilkan dari harga saham yang tertekan bisa menjadi sinyal bahwa pasar mulai meragukan kemampuan bank mempertahankan tingkat profitabilitas dan distribusi dividen yang sama di masa mendatang.

    Kesimpulannya, berdasarkan data valuasi bahwa sektor consumer dan perbankan tampak murah secara historis, tetapi tidak otomatis berarti “layak beli”. Diskon valuasi bisa menjadi cermin dari masalah mendasar yang belum terselesaikan. 

    IHSG yang tertekan bukan sekadar hasil aksi ambil untung, melainkan refleksi ketidakpastian makro yang masih membayangi, mulai dari inflasi, arah kebijakan moneter, hingga perlambatan ekonomi global.

    Jadi, ketika narasi “valuasi sudah rendah secara historis” diulang-ulang untuk menenangkan pasar, investor bijak seharusnya bertanya, apakah yang murah ini benar-benar peluang, atau justru sinyal bahwa pasar sedang memberi peringatan keras? 

    Karena dalam dunia investasi, terkadang saham terlihat murah bukan karena pasar bodoh, tetapi karena pasar tahu sesuatu yang belum kita sadari.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79