KABARBURSA.COM – Senat Amerika Serikat akhirnya meloloskan RUU yang mengatur stablecoin—aset kripto yang nilainya dipatok ke dolar AS. Dalam pemungutan suara pada Selasa, 17 Juni 2025 waktu setempat, RUU yang diberi nama GENIUS Act itu disahkan dengan dukungan bipartisan: 68 senator menyetujui dan 30 menolak.
Beberapa anggota Partai Demokrat memilih bergabung dengan mayoritas Partai Republik untuk mendukung RUU ini. Selanjutnya, bola panas ada di DPR AS yang kini dikendalikan Partai Republik. Jika lolos dari sana, RUU akan mendarat di meja Presiden Donald Trump untuk ditandatangani.
“Ini adalah tonggak besar,” kata Andrew Olmem, mitra pengelola firma hukum Mayer Brown sekaligus mantan wakil direktur Dewan Ekonomi Nasional di era pertama Trump, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu. “Untuk pertama kalinya, ada rezim regulasi yang jelas untuk stablecoin, produk keuangan yang berkembang sangat cepat.”
Stablecoin sendiri merupakan jenis mata uang kripto yang dirancang untuk menjaga nilai stabil—biasanya dipatok 1:1 terhadap dolar AS. Token ini kerap digunakan para trader kripto untuk memindahkan dana antar aset digital. Popularitasnya melonjak dalam beberapa tahun terakhir,m dan para pendukungnya percaya bahwa stablecoin bisa menjadi sarana pembayaran instan masa depan.
Jika resmi menjadi undang-undang, GENIUS Act akan mengharuskan stablecoin didukung aset likuid seperti dolar AS atau obligasi pemerintah jangka pendek. Penerbit token juga wajib mengungkapkan komposisi cadangan mereka secara publik setiap bulan.
Industri kripto sudah lama mendorong adanya kepastian hukum lewat regulasi. Mereka berargumen, kerangka aturan yang jelas justru akan memperluas penggunaan stablecoin. Sebagai bentuk keseriusan, industri ini menggelontorkan lebih dari USD119 juta untuk mendukung kandidat pro-kripto dalam pemilu tahun lalu—menunjukkan bahwa isu ini mereka dorong sebagai agenda bipartisan.
Sebenarnya DPR sempat meloloskan RUU stablecoin tahun lalu, tapi saat itu Senat masih dikuasai Partai Demokrat dan memilih tidak menindaklanjutinya. Akibatnya, RUU tersebut mangkrak.
Kini, dengan konfigurasi politik baru, Presiden Trump mulai mendorong perombakan besar terhadap kebijakan kripto nasional—terutama setelah dia berhasil menggalang dana besar dari pelaku industri selama kampanyenya.
Penasihat Aset Digital di bawah Presiden Trump, mengatakan Gedung Putih menargetkan agar RUU stablecoin ini disahkan sebelum Kongres memasuki masa reses bulan Agustus.
Namun, ketegangan politik di Capitol Hill sempat mengancam keberlangsungan RUU ini. Sejumlah anggota Demokrat geram dengan keterlibatan Trump dan keluarganya dalam berbagai proyek kripto pribadi yang dianggap sarat konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Dengan meloloskan RUU ini, para legislator melewatkan kesempatan untuk menghadapi skema kripto Trump—bentuk korupsi paling terang-terangan dalam sejarah kepresidenan Amerika,” kata Bartlett Naylor, advokat kebijakan keuangan dari lembaga advokasi konsumen Public Citizen.
Trump diketahui terlibat dalam proyek kripto bernama $TRUMP, sebuah meme coin yang diluncurkan Januari lalu, serta perusahaan bernama World Liberty Financial yang sebagian sahamnya dimiliki langsung oleh Presiden.
Pihak Gedung Putih sendiri membantah adanya konflik kepentingan. Mereka mengklaim bahwa seluruh aset Presiden Trump telah dialihkan ke dalam trust dan dikelola oleh anak-anaknya.
Sementara itu, kritik dari kubu Demokrat belum surut. Mereka menilai RUU ini terlalu lunak terhadap raksasa teknologi, yang membuka celah bagi perusahaan semacam Amazon atau Meta untuk menerbitkan stablecoin versi mereka sendiri.
“RUU ini mempercepat pasar stablecoin, tapi sekaligus memfasilitasi korupsi presiden, melemahkan keamanan nasional, stabilitas keuangan, dan perlindungan konsumen. Ini lebih buruk daripada tidak punya RUU sama sekali,” ujar Senator Elizabeth Warren dalam pidatonya di Senat, Mei lalu.
RUU ini juga masih berpotensi diubah saat dibahas di DPR. Dalam pernyataannya, Conference of State Bank Supervisors (CSBS) menyatakan bahwa rancangan undang-undang ini perlu direvisi untuk mengurangi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan.
“CSBS tetap khawatir dengan perluasan kewenangan bank-bank tak diasuransikan yang terlalu cepat dan tidak didukung data. Mereka kini bisa menjalankan layanan pengiriman uang atau kustodian di seluruh negara bagian tanpa persetujuan pengawas lokal,” tegas Presiden dan CEO CSBS, Brandon Milhorn.(*)