KABARBURSA.COM – Pemerintah menggelontorkan paket stimulus Rp24,44 triliun menjelang libur sekolah Juni–Juli 2025 untuk mengerek konsumsi. Namun anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, menilai langkah itu hanya kebijakan tambal sulam—tak menyentuh persoalan mendasar daya beli dan lonjakan PHK.
Amin mengingatkan, kondisi ekonomi nasional sekarang sedang tertekan dari berbagai sisi: pertumbuhan melambat, konsumsi rumah tangga merosot, serta gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bertambah. Ia menegaskan diskon dan subsidi hanya meringankan sesaat, tanpa menyelesaikan akar masalah.
“Diskon dan subsidi mungkin bisa membantu sesaat, tapi tidak menjawab tantangan utama ekonomi kita hari ini. Kita butuh strategi menyeluruh, bukan solusi tambal sulam,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 12 Juni 2025.
Data Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 hanya menyentuh 4,87 persen, turun dari 5,11 persen setahun lalu. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama perekonomian hanya tumbuh 4,89 persen. Amin menyebut angka deflasi 0,37 persen pada Mei lalu sebagai bukti lemahnya permintaan agregat dan kegagalan stimulus sebelumnya.
Krisis ketenagakerjaan juga terus meruncing. Sejak 2023, lebih dari 470.000 pekerja dirumahkan, dan tambahan sekitar 70.000 harus keluar dalam enam bulan terakhir. Sektor manufaktur dan teknologi jadi yang paling terpukul. “Ini krisis ketenagakerjaan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan diskon tiket pesawat atau subsidi tol,” ujarnya.
Amin menyoroti memburuknya distribusi pendapatan. Koefisien Gini melonjak dari 0,381 pada 2022 menjadi 0,388 di awal 2025, tanda jurang antara si kaya dan si miskin kian melebar. Dampaknya paling dirasakan kelas menengah yang tidak kebagian subsidi namun terus dikepung kenaikan harga dan upah stagnan.
“Kelas menengah itu tulang punggung konsumsi. Kalau mereka tidak dibantu, maka daya dorong ekonomi akan lumpuh,” kata Amin.
Tiga Langkah Strategis
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendesak pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan jangka panjang yang berfokus pada penguatan struktur ekonomi. Ada tiga langkah yang dianggap mendesak
PKS menilai perlu ada sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien. Saat ini, realisasi penerimaan pajak baru menyentuh 14,7 persen dari target. “Reformasi pajak harus diarahkan agar penerimaan negara meningkat tanpa membebani rakyat kecil,” ujar Amin.
Amin menekankan pentingnya investasi besar-besaran pada sumber daya manusia, terutama dalam bentuk pendidikan vokasi dan pelatihan ulang bagi korban PHK. Menurutnya, reskilling adalah kunci menjawab disrupsi ketenagakerjaan.
Pemerintah juga diminta memberikan perlindungan bagi kelas menengah yang selama ini luput dari jangkauan bantuan sosial. “Kelas menengah tidak butuh bansos, mereka butuh stabilitas harga, upah yang layak, dan akses pembiayaan produktif,” tegasnya.
OECD Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI
Organisasi internasional OECD baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,9 persen menjadi 4,7 persen. Lembaga tersebut memperingatkan bahwa tanpa reformasi struktural yang jelas, Indonesia akan semakin rentan terhadap gejolak eksternal dan stagnasi produktivitas.
“OECD sudah beri peringatan. Tapi kita belum lihat peta jalan reformasi yang konkret dari para menteri ekonomi. Apa strategi jangka panjangnya? Masih kabur,” sindir Amin.
Amin juga menyoroti kebijakan moneter Bank Indonesia yang telah melonggarkan suku bunga acuan menjadi 5,50 persen. Namun menurutnya, pelonggaran tersebut belum berdampak signifikan karena bunga kredit di lapangan masih tinggi dan bank-bank belum agresif menyalurkan pinjaman ke sektor riil.
Ia menilai hal ini menunjukkan lemahnya transmisi kebijakan moneter dan perlunya sinkronisasi dengan arah kebijakan fiskal dan ketenagakerjaan. Amin pun menekankan kembali bahwa belanja stimulus saja tidak akan cukup tanpa disertai langkah berani pemerintah dalam merancang cetak biru kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
“Stimulus hanya akan jadi tambal sulam kalau tidak dibarengi dengan reformasi struktural. Pemerintah harus berani membuat cetak biru ekonomi yang terintegrasi dan berpihak pada rakyat, bukan hanya mengejar angka jangka pendek,” katanya.(*)