KABARBURSA.COM - Sektor pertanian Indonesia diprediksi masih akan menghadapi tantangan besar sepanjang tahun 2025, yang menjadi ujian bagi ambisi pemerintahan Prabowo Subianto dalam mewujudkan swasembada pangan. Berbagai faktor, baik eksternal maupun internal, disebut akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional di masa mendatang.
Staf Ahli Menteri Pertanian, Suwandi, mengungkapkan bahwa sejumlah ancaman nyata perlu diantisipasi sejak dini agar sektor pertanian tetap produktif dan berkelanjutan.
"Sektor pertanian adalah sektor yang kena dampak, dan sudah kita rasakan," ujar Suwandi dalam Seminar Nasional Outlook Sektor Pertanian 2025 yang digelar oleh INDEF di Jakarta pada Senin 3 Februari 2025.
alah satu tantangan paling krusial bagi sektor pertanian adalah perubahan iklim yang semakin sulit diprediksi. Fenomena seperti El Nino dan La Nina kerap memicu gangguan pada pola cuaca, menyebabkan ketidakseimbangan antara curah hujan dan kekeringan.
Situasi ini berakibat langsung pada kesulitan petani dalam memperoleh air saat musim kemarau dan ancaman banjir yang merusak lahan pertanian ketika musim hujan tiba.
"Jadi iklim ekstrem tidak bisa terkendali secara baik, ter-manage secara global, sehingga tiba-tiba banjir, tiba-tiba kering, dan seterusnya,” terang dia.
Selain faktor cuaca, ketegangan geopolitik global turut berpengaruh terhadap sektor pertanian nasional. Gangguan rantai pasok akibat konflik internasional berdampak pada lonjakan harga bahan baku, termasuk pupuk yang menjadi komponen vital dalam pertanian.
Mahalnya pupuk dan hambatan distribusi semakin menekan para petani yang bergantung pada pasokan ini untuk meningkatkan produksi.
"Geopolitik global yang sekarang terjadi, sehingga waktu lalu dampak ikutannya adalah bahan baku untuk pupuk mahal luar biasa, dan dampaknya pupuk juga naik luar biasa," katanya.
Tantangan lain yang tak kalah serius adalah peningkatan jumlah penduduk yang secara langsung meningkatkan kebutuhan pangan. Konsumsi beras di Indonesia diperkirakan terus bertambah sekitar 1,3 hingga 1,4 juta ton setiap tahunnya. Kondisi ini menuntut sektor pertanian untuk mampu beradaptasi dan meningkatkan kapasitas produksinya.
“Di Indonesia pun juga demikian setiap tahun pertambahan penduduk, sehingga konsumsi beras itu setiap tahun naik,” ungkapnya.
Namun, upaya peningkatan produksi juga terhambat oleh semakin menyusutnya luas lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur lainnya membuat luas area yang tersedia untuk bercocok tanam semakin terbatas.
“Ini juga menjadi tantangan (ahli fungsi tanah), seiring dengan pembangunan sektor-sektor industri, perumahan, infrastruktur jalan, dan seterusnya. Ini mempengaruhi jumlah luas lahan sawah kita,” katanya.
Di tengah berbagai tantangan, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Salah satunya adalah pemanfaatan lahan tidur dan area bekas hutan di luar Pulau Jawa sebagai lahan pertanian baru. Dengan perencanaan yang matang dan pendekatan yang sesuai dengan aspek teknis serta sosial ekonomi, kawasan-kawasan ini berpotensi menjadi sentra produksi pangan baru.
"Pemerintah merancang program perluasan areal tanam, salah satunya melalui cetak sawah, yang merupakan investasi jangka panjang. Kita perlu mencontoh pengalaman masa lalu, seperti di Karawang dan Indramayu yang dulunya rawa, kini menjadi sentra padi yang sangat besar," jelas Suwandi.
Efisiensi Dan Produktivitas Sektor Pertanian
Selain ekspansi lahan, adopsi teknologi pertanian modern juga menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor ini. Metode pertanian presisi dan smart farming mulai diperkenalkan guna mengoptimalkan hasil panen dengan pemanfaatan sumber daya yang lebih efisien.
"Hanya teknologi lah yang mampu menggeser kurva fungsi produksi. Kalau bukan teknologi, paling peningkatan produksinya movement, naik turunnya. Tapi kalau teknologi ada delta shifting yang geser ke atas. Kalau nggak ada teknologi berarti turun, kebalikannya," lanjutnya.
Permasalahan lain yang dihadapi petani adalah akses terhadap permodalan yang masih terbatas. Meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai skema pendanaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Asuransi Usaha Tani, masih banyak petani yang kurang memahami manfaat dari asuransi pertanian sebagai perlindungan terhadap risiko gagal panen akibat cuaca ekstrem atau serangan hama.
Suwandi menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi bagi petani agar mereka lebih memahami keuntungan dari mengasuransikan usaha pertaniannya. Dengan pemetaan wilayah rawan bencana seperti daerah langganan banjir dan kekeringan, pemerintah dapat memperkuat mitigasi risiko dan meminimalkan potensi kerugian yang dialami petani.
"Yang bisa meng-cover itu terhadap dampak yang tidak diinginkan itu adalah asuransi. Setiap tahun sebetulnya sudah ada asuransi pertanian, sudah dituliskan di Indef, perlu ditingkatkan terus-menerus, terutama kita sudah mapping daerah-daerah langganan banjir, langganan kekeringan, langganan serangan hama penyakit. Kita hafal daerah tikus di mana saja pun sudah kita mapping-kan. Nah itulah salah satu untuk meminimalisir kerugian yang dihadapi petani," pungkasnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.