KABARBURSA.COM - Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China ternyata bukan sekadar urusan tarif dan neraca perdagangan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut perang dagang ini sebagai bagian dari strategi besar Amerika untuk mempertahankan posisinya sebagai satu-satunya kekuatan hegemonik dunia sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
“Kalau kita lihat skenario besarnya, sebenarnya perang dagang antara Amerika dan China ini sudah bisa kita prediksi jauh hari,” kata Wijayanto dalam acara KeyPoint Kabar Bursa dengan tema Teka-Teki Tarif Trump: Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan? Senin 21 April 2025.
Dalam pandangannya, langkah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif dagang (termasuk kepada Indonesia sebesar 32 persen) bukanlah tindakan sepihak tanpa alasan. Melainkan, bagian dari agenda besar untuk menghambat akselerasi dominasi ekonomi China di tataran global.
“Sekarang ini China itu merupakan partner dagang penting bagi 120 negara, dan merupakan partner dagang terpenting nomor satu bagi hampir 20 negara di dunia,” tegas Wijayanto.
Di sisi lain, Wijayanto melihat Amerika itu mengalami kemerosotan peran ekonomi globalnya. Sehingga siapapun yang memimpin Amerika pasti berusaha untuk menghentikan China semasa Amerika bisa.
“Karena kalau terlambat, ini betul-betul nggak bisa di-stop. China will be unstoppable,” kata dia.
Wijayanto menegaskan bahwa perang dagang ini bukan sesuatu yang akan selesai dalam waktu dekat. Sebaliknya, konflik tersebut merupakan permusuhan struktural antara dua kekuatan besar dunia yang tidak akan berdamai.
“Saya rasa itu agenda besar,” ujarnya.
Wijayanto merasa Amerika ingin mempertahankan hegemon dunia dan tidak ingin ada hegemon baru muncul menyaingi Amerika.
Sementara negeri Paman Sam tersebut tengah dalam keadaan sulit untuk mengatasi budget defisit pemerintah sebelum terlalu menganga.
“Amerika tidak ingin trade defisit terlalu menganga,” katanya.
Karena itu, ia menilai bahwa langkah-langkah kebijakan tarif AS—yang disebut-sebut sebagai upaya proteksi ekonomi domestik—hanyalah dalih untuk membungkus konflik strategis jangka panjang dengan China.
“Berarti sebenarnya dari awal, Trump memutuskan melakukan langkah-langkah kebijakan tarif ini bukan karena perang global lagi. Ini tuh sebenarnya benar-benar yang diincar tuh China,” tegas Wijayanto.
“Negara-negara seperti Indonesia sebenarnya kena collateral damage-nya aja,” lanjutnya.
Menurutnya, selama Amerika masih melihat China sebagai ancaman eksistensial terhadap dominasinya di panggung global, maka tekanan ekonomi, tarif, hingga kemungkinan konflik di sektor lain akan terus berlanjut.
“Apapun yang dilakukan oleh China, Amerika tidak akan berhenti menekan,” pungkas Wijayanto.
Perlambatan Ekonomi Secara Menyeluruh
Kenaikan tajam tarif sejak awal tahun 2025 ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), bukan cuma bikin dagang makin mahal. Lebih dari itu, dunia sedang memasuki fase baru—semacam zaman pasca-globalisasi—yang bikin mayoritas negara melambat pertumbuhannya. Amerika Serikat, yang mengobarkan perang tarif sejak Donald Trump balik ke Gedung Putih, disebut akan jadi salah satu yang paling babak belur.
Trump sendiri sudah menembakkan gelombang demi gelombang tarif sejak dilantik awal Januari. Tak sedikit negara yang membalas dengan tindakan serupa. Dalam laporan triwulanan terbarunya, IMF menyebut tarif impor Amerika kini sudah melampaui rekor yang tercipta di masa Depresi Besar—sebuah pencapaian suram setelah dunia selama 80 tahun menikmati tarif rendah sejak Perang Dunia II berakhir.
“Sistem ekonomi global yang selama ini kita jalani sedang di-reset. Dunia sedang digiring masuk ke era baru,” tulis penasihat ekonomi IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 22 Apriil 2025.
Dampak langsung dari kenaikan tarif, kata IMF, adalah perlambatan ekonomi secara menyeluruh. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dipangkas dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen. Penurunan ini bahkan sedikit lebih tajam dibanding saat invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022. Untuk 2026, proyeksi juga diturunkan dari 3,3 persen menjadi 3 persen.
Meksiko diprediksi bakal jadi yang paling terpukul di antara negara-negara besar yang datanya dianalisis IMF. Awalnya diperkirakan tumbuh 1,4 persen, kini malah dibalik: ekonomi Meksiko bakal menyusut 0,3 persen pada 2025.
Amerika Serikat juga kena imbas berat. Ekonomi yang sebelumnya diperkirakan tumbuh 2,7 persen pada 2025 kini hanya diproyeksikan naik 1,8 persen. Tahun berikutnya, 2026, hanya naik 1,7 persen—lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar dua koma satu persen.
China tak luput dari dampak, meski skalanya lebih kecil. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini dan tahun depan diturunkan dari empat koma enam dan empat koma lima persen menjadi empat persen untuk keduanya. Sementara zona euro hanya sedikit tergelincir: dari satu persen jadi nol koma delapan persen.
Trump tetap percaya diri. Pemerintahannya berdalih bahwa tarif yang lebih tinggi akan membawa efek jangka panjang yang positif bagi ekonomi AS. Dengan bea impor yang mencekik, industri manufaktur diyakini bakal bangkit kembali, pabrik-pabrik buka lagi, dan lapangan kerja pun kembali ramai.
Tapi Gourinchas punya pandangan lain. Ia mengakui bahwa keresahan publik soal hilangnya pekerjaan di pabrik bisa dimengerti. Namun, menurutnya, biang kerok utama bukanlah globalisasi, dan tarif tinggi bukanlah obat mujarab.
“Kekuatan yang lebih dalam di balik kemunduran ini adalah kemajuan teknologi dan otomatisasi,” tulisnya. “Keduanya pada dasarnya membawa manfaat, tapi juga sangat mengganggu bagi individu dan komunitas.
Selepas 2026, IMF memperkirakan dampak tarif tinggi akan terus negatif bagi AS. Bisnis-bisnis yang dilindungi oleh tarif akan makin malas bersaing dan tidak didorong untuk berinovasi atau meningkatkan kualitas produknya.
Semua proyeksi IMF ini dihitung berdasarkan kebijakan tarif yang diumumkan sampai 2 April 2025—tanggal saat Trump mengumumkan tarif tinggi bagi hampir semua mitra dagang AS. Banyak dari tarif ini kemudian ditunda selama 90 hari. Namun IMF menilai penundaan itu tak cukup meredam dampak global, sebab tarif terhadap China justru dinaikkan lebih tinggi, begitu pula balasan dari Beijing terhadap produk Amerika.
Tak cuma pertumbuhan yang tertekan, IMF juga menaikkan proyeksi inflasi global—meski hanya sedikit. AS jadi salah satu penyumbang utama kenaikan itu. Tingkat inflasi di Negeri Paman Sam diperkirakan akan naik 1 poin persentase dibanding proyeksi sebelumnya.
Kenaikan tekanan inflasi ini bikin bank sentral AS, Federal Reserve, makin hati-hati. Rencana menurunkan suku bunga jadi terhambat, dan Trump tak ragu melontarkan kritik. Namun IMF mengingatkan agar bank sentral dibiarkan membuat keputusan moneter tanpa intervensi politis.
“Kepercayaan pada kebijakan moneter akan sangat penting di mana pun, dan independensi bank sentral tetap menjadi pilar utama,” tulis Gourinchas.
Lembaga itu juga mewanti-wanti, kalau tarif kembali dinaikkan, pertumbuhan global bisa melambat lebih parah dari perkiraan sekarang. Ancaman lain datang dari stabilitas keuangan yang goyah akibat anjloknya harga saham dan obligasi pasca-pengumuman tarif 2 April.
IMF juga melempar peringatan yang lebih besar: era baru ini bisa saja menggeser posisi dolar AS sebagai poros utama sistem moneter global. “Biasanya, dolar AS akan menguat jika kondisi keuangan memburuk tajam. Tapi sistem moneter internasional bisa saja mengalami reset mendadak, dengan dampak besar terhadap peran dolar sebagai pilar utamanya,” tulis IMF.(*)